Mohon tunggu...
Francisca Romana Dian Purwati
Francisca Romana Dian Purwati Mohon Tunggu... -

Ketika isi otak tertuang. - Jurnalisme FISIPUAJY2014

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kota Budaya (Masih) Butuh Seni Budaya Tionghoa

15 Juli 2016   14:45 Diperbarui: 23 Juli 2016   11:50 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekali lagi, masyarakat masih menutup mata terhadap kehidupan orang Tionghoa. Seperti suku di Indonesia, masyarakat Tionghoa juga beragam. Mulai dari Hokian sampai Kantonis tinggal di Indonesia. Di Yogyakarta saja, paguyuban Tionghoa ada empat belas kelompok. Adanya paguyuban Hoo Hap Hwee, PUKJ, sampai PITI menjadi contoh keberagaman itu.

Kota Toleransi

       Masyarakat peranakan Tionghoa lahir besar di Yogyakarta. Darah mereka sudah bercampur dengan berbagai suku entah Jawa atau suku lain. Bahkan, bisa jadi identitas oriental mereka sudah hampir hilang. Baik dari warna kulit maupun makanan sudah seperti orang Jawa. Jadi rasanya tidak perlu masih membuat sekat antara pribumi dan non pribumi.

       Kembali lagi ke masalah kebudayaan, keadaan saat ini sudah cukup memprihatinkan. Pemain dan pembuat Barongsai maupun Liong makin sedikit. Terlalu menakutkan membayangkan kepunahan hasil seni seindah itu.

       Perspektif yang terlalu kaku akibat stereotip sudah saatnya ditinggalkan. Kita harusnya membuka mata lebih lebar pada keberagaman di depan mata kita. Sebagai kota budaya, terlebih lagi, keberagaman ideologi, suku, dan agama justru menjadi kekayaan tersendiri.

       Sudah waktunya tagline Kota Yogyakarta sebagai city of tolerance diwujudnyatakan. Salah satunya dengan menerima kebudayaan Tionghoa sebagai bagian dari warisan budayanya. Seni kebudayaan Tionghoa hendaknya bisa meramaikan keistimewaan Yogyakarta ini. Pemerintah bisa memberikan anggaran bagi pengembangan kesenian Tionghoa. Dengan begitu masyarakat akan lebih mengenal kekayaan seni-budaya di Yogyakarta.

       Jika rumit membidik masyarakat luas, kesenian Tionghoa dapat dibawa ke ranah pendidikan. Sebagai sarana edukasi, filosofi dan sejarah kesenian-kesenian ini perlu bagi generasi muda. Dengan menganggap asing seni budaya suatu suku, hal yang seharusnya jadi warisan itu hanya akan punah. Sementara julukan kota toleransi sekadar menjadi omong kosong belaka.

Terima kasih kepada Narasumber :

  • Frista, S.H. (Divisi Research & Development Jogja Chinese Art & Culture Center/JCACC)
  • Ernest Liangga Kurniawan (Ketua Kesenian Perkumpulan Hoo Hap Hwee)

Tulisan lama, tugas Editorial & Penyuntingan Berita semester lalu. Jika ada kesalahan, mohon saran & koreksi. Terima kasih. ^^

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun