Jika tidak disampul dengan baik, cover buku akan cepat rusak karena bahannya yang soft-cover atau kertas, begitu juga dengan halaman-halamannya yang terbuat dari kertas yang tipis. Tiap halaman sangat padat tulisan: bagi yang tidak terbiasa baca bacaan berat, lebih baik menghindar dari buku ini atau tidak ada kemungkinan anda akan cepat bosan karena pacing cerita yang cukup lamban.
Buku banyak mengandung adegan yang cukup detail mengenai kekerasan, adegan seksual yang diimplikasikan, dan tentu saja, topik-topik dewasa lainnya seperti pembunuhan dan bunuh diri; tidak direkomendasikan bagi mereka yang hatinya tidak kuat ataupun dibawah umur 13.
Perbandingan dengan buku “Senja di Jakarta”
Sebenarnya saya sudah menulis beberapa perbandingan ini pada bagian analisa, namun untuk perbandingan yang lebih mendalam, akan dijelaskan pada seksi ini:
Dari segi pacing cerita, “Senja di Jakarta” memiliki alur yang lebih lamban dibandingkan “Tanah Gersang”: sangat dimengerti, mengingat “Senja di Jakarta” memiliki dua kali lipat jumlah halaman dan panjang ceritanya juga lebih panjang dibandingkan “Tanah Gersang”. Selain dari segi pacing, karakter-karakter utama dalam cerita “Tanah Gersang” tidak sebanyak “Senja di Jakarta” yang beragam dari tokoh politik sampai tukang sampah, dimana “Tanah Gersang” hanya mengambil sudut cerita dari 3 pemuda berandalan dan mungkin pasangan hidup mereka. Kalau “Senja di Jakarta” lebih luas meliputi dalam lokasi-lokasi terjadinya peristiwa, “Tanah Gersang” hanya fokus ke kurang-lebih satu tempat utama, yaitu kota Jakarta.
Kalaupun kesamaan yang ada dari kedua novel ini, adalah sebuah fakta bahwa kedua novel ini mengangkat mengenai lika-liku kehidupan sosial masyarakat di Indonesia modern, mulai dari kelas bawah sampai kelas atas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H