Hobbs dan Shaw, begitulah filam itu secara sederhana dikenal. Film aksi Amerika yang tayang di bioskop tanah air pada akhir Juli 2019 itu amat memukau. Banyak penyuka Fast and Furious menantinya. Begitu tayang di layar lebar, banyak orang menyerbunya. Tanpa batas gender dan usia penasaran dengannya.
Dalam pengalaman fenomenologis, film tersebut menyajikan aksi-asksi spektakuler, meski kalau dipikir-pikir, beberapa di antaranya sulit dinalar. Namun, begitulah film itu disaji dan disukai. Beberapa hal dapat dikemukakan di sini perihal nilai-nilai filosofis yang dapat ditarik dari pada film tersebut, Hobbs & Shaw.
Logika Dasar: Kekeluargaan
Seluruh film Hobbs and Shaw dikembangkan atas motif kekeluargaan. Tema ini merupakan karekter utama seluruh seri Fast and Furious. Hobbs dengan keluarga besarnya, demikian juga Shaw dengan keluarganya. Banyak adegan ditampilkan di sana bahwa karena keluarga, para pemeran berkorban. Seperti Shaw yang karena saudarinya dan demi ibunya, ia rela bekerjasama dengan orang yang tak disukainya. Juga Hobbs, keluarga sebagai jalan terakhir segala perkara.
Persaudaraan
Perihal persaudaraan dapat disebut sebuah simpulan yang coba dikembangkan dari logika dasar. Duet Hobbs dan Shaw sejatinya didasarkan pada simpulan ini. Keduanya dengan karakter yang saling berseberangan, merupakan tesis yang didialogkan. Demi humanisme dan persaudaraan, keduanya rela menahan diri dan keegoisan masing-masing.
Persaudaraan yang dijembatani secara jenaka. Lelucon yang kadang kurang sedap kedengarannya, mencairkan kebekuan pribadi mereka masing-masing. Masalah kemanusiaanlah yang mempertemukan mereka dalam misi yang satu.
Persaudaraan mereka berpuncak pada aksi melawan Brixton di akhir adegan. Keduanya menyadari bahwa mereka tak dapat mengalahkan Brixton bila berjuang masing-masing. Mereka butuh saling percaya. Saling percaya untuk melindungi demi mengalahkan manusia super, Brixton. Brixton, perwujudan kecanggihan mesin dan teknologi rekayasa genetika. Karena persaudaraanlah, keduanya berhasil mengalahkan Brixton, manusia yang diklaim di sana sebagai yang tak terkalahkan. Persaudaraan membuktikan bahwa manusia pantas menang, bukan karena apa-apa, melainkan karena hati.
Dialektika Good and Evil: Sebuah Khazanah Nietzschean
Pertentangan antara kebaikan dan kejahatan nyata dalam film tersebut. Kebaikan diperjuangkan oleh pihak Hobbs dan Shaw, sementara kejahatan diupayakan oleh pihak Brixton. Kubu yang memperjuangkan kebaikan mendukung humanisme, sedangkan oposisi mengusahakan genosida dengan dalih menyelamatkan umat manusia. Hobbs dan Shaw ditopang oleh persaudaraan dan kekerabatan bekerja untuk kemanusiaan.
Akhir kisah, kejahatan terbukti belum berhasil di hadapan kebaikan. Dengan kekalahan Brixton, terbukti kebaikan mengatasi kejahatan. Meski untuk dapat sampai pada titik itu, Hobbs dan Shaw beserta keluarga mereka masing-masing dengan tidak mudah berjuang dan bertarung. Banyak waktu dan tenaga, diri tentunya juga dikorban. Segalanya dipertaruhkan demi memenangkan kebaikan.
Pergumulan isu-isu aktual
Kemajuan manusia modern yang kini terbukti dalam sains dan teknologi bukannya berjalan tanpa kendala. Kendala besar yang sungguh dihadapi ialah etika dan hati nurani. Pertanyaan penting yang muncul dalam diri manusia ialah sejauh mana manusia bebas dalam tindakannya. Atau batasan-batasan apa bagi manusia dalam bertindak.
Genosida sebagai contoh yang dimunculkan di sana. Proyek yang dikerjakan Brixton berada dalam koridor genosida. Dengan virus yang dikembangkan, mereka berupaya memusnahkan manusia demi mempertahankan yang kuat. Eddie Marsan sebagai Profesor Andreiko, ilmuwan yang menciptakan Snowflake, dipaksa untuk terlibat dalam proyek Brixton. Sebagai seorang akademisi yang semata berkarya demi sains, ia tetap bertahan pada pendiriannya untuk tidak terlibat dalam proyek pemusnahan manusia. Demi membela kemanusiaan, Hobbs dan Shaw berkarya.
Humanisme
Hobbs ditampikan di sana pada posisi filsafat tertentu. Seperti buku Nietzsche yang dibacanya. Pembacaan ini tentu memberi pemahaman tertentu akan kehidupan. Beberapa kali mengutip Nietzsche, menandakan bahwa Hobbs berdiri pada filsafat tertentu. Bahkan amat nyata dalam seruannya sendiri bahwa ia seorang Nietzschean dalam pemikiran.
Kalimat berkesan yang diucapkan Hobbs perihal humanisme ialah "Kami percaya kepada manusia, bukan percaya kepada teknologi atau mesin, karena hanya manusia yang punya hati." Demikianlah kiranya seruan humanisme Hobbs. Juga sejumlah ucapan lain yang memberi penekanan pada humanismelah yang mendorong ia dan para pejuangnya mempertaruhkan diri. Berjuang demi humanisme.
Teisme
Salah satu adegan penting dan puncak, dibuka Hobbs dengan seruan yang mengindikasikan bahwa manusia memerlukan dimensi lain dari kehidupannya. Manusia masih berpengharapan akan Tuhan. Ia meminta keluarganya, di pulau kediaman keluarganya, untuk berseru dan meminta perlindungan kepada Tuhan agar memberi kekuatan dan keberanian untuk bertarung.
Ini tentu mewakili sebuah keyakinan akan Tuhan. Kemajuan sains dan teknologi masih menyisahkan ruang bagi Tuhan. Hal seperti ini amat menarik untuk ditelusuri. Indikasi yang penting untuk peradaban humanisme. Kemajuan sain dan teknologi tak pernah menuntaskan segala perkara. Selalu ada ruang di mana manusia merasa kosong. Manusia perlu Yang Lebih Besar! Di hadapan yang tak terjawab oleh aneka kemajuan manusia, misteri kehidupan dan kesudahannya, perlu Yang Lebih Besar dari manusia, dirinya sendiri dan segala kapasitasnya. Sebuah kemungkinan yang telah menyejarah mengajarkan akan Tuhan, ruang bagi manusia di hadapan yang tak terjawab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H