Penduduk Indonesia sudah akrab dengan sepak bola. Keakraban itu bukan hal yang lumrah sebab sejak berdirinya Indonesia, sepak bola sudah mulai tertanam. Olah raga sepak bola mulai dikenal oleh rakyat sejak periode imperialisme Belanda. Imperium Belanda-lah yang memperkenalkannya kepada penduduk setempat.
Istilah yang dikenal ialah Voetbal, sebuah term bahasa Belanda yang artinya sepak bola. Salah satu organisasi sepak bola yang terkenal pada waktu itu ialah Nederlandsch Indische Voetbal Bond (NIVB). Organisasi tersebut berdiri sekitar tahun 1930.
Sepak bola Indonesia ternyata berevolusi dari Voetbal. Perjalanan panjang yang ditempuhnya menghantarkan kita pada pengenalan, bahkan keakraban.
Organisai sepak bola yang sekarang dikenal sebagai PSSI merupakan wujud dari evolusi tersebut. PSSI merupakan lembaga yang usianya seangkatan dengan NIVB. Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) didirikan pada tanggal 19 April 1930 di Yogyakarta.
Realitas sepak bola tanah air di era modern ini menampilkan wajah yang kolot. Di tengah modernitas sepak bola dunia, Indonesia justru tampil sama sekali tidak "Modern". Sepak bola Indonesia mencitrakan "Sepak Bola Pertama" (The First Football).
Sepak bola Indonesia tampil seperti permainan Episkyros di Yunani, atau seperti permainan Harpastum khas bangsa Romawi, atau seperti permainan Hurling di Celtic, dan di satu sisi seperti Tsuchu di China, yaitu suatu permainan mirip bola kaki yang dipakai sebagai latihan fisik para tentara Dinasti Han. Perbandingan ini hanyalah cara menyimak realitas sepak bola yang tampil saat ini di Indonesia.
Sepak bola Indonesia sedang dilanda problem "kuno" sepak bola. Masalah yang kurang relevan lagi dengan modernitas sepak bola dunia. Persoalan sepak bola kita kelihatan masih kuno, tetapi hanya ditutupi dengan topeng modernitas.
Para pencinta sepak bola tanah air 'frustrasi' dengan berbagai kegagalan timnas kebanggaannya. Kekecewaan itu membanjiri media sosial saat Timnas Indonesia -- tim senior dan U-19 -- gagal dalam beberapa event. Semua pihak yang terkait dengan timnas dicemooh.
Di samping itu ada juga fenomena kekerasan dalam sepak bola yang 'membunuh' manusia. Perilaku kasar antarpemain, antara pemain dan wasit, dan antarsuporter. Â
Belum lagi kekacauan liga. Carut-marut jadwal dan cara pelaksanaan sepak bola yang melahirkan dualisme. Beberapa lembaga dan organisasi sepak bola berusaha mengklaim diri sebagai yang paling bagus, baik, dan legal.
Bahkan "sepak bola politik" juga terjadi di Indonesia. Di sana ada pengaturan skor, penunggakan gaji pemain dan yang paling fenomenal ialah "Sepak Bola Gajah". Semuanya ini hendak menunjukkan bahwa sepak bola Indonesia tidak berdiri di atas SISTEM. Oleh sebab itu, revolusi voetbal menjadi sangat penting di sini.
Revolusi yang dicanangkan di sini semata-mata demi SISTEM. Melihat realitas sepak bola tanah air yang hadir sebagaimana adanya saat ini di Indonesia, semua orang menghendaki suatu wujud sepak bola yang lebih baik dan akhirnya terbaik.
Untuk mencapai harapan itu, jalan pertama dan utama yang harus ditempuh tidak lain dan tidak bukan hanyalah SISTEM. Kata revolusi yang dipakai di sini secara etimologis sebenarnya kurang tepat untuk konteks sepak bola.
Sepak bola bukan soal mengedipkan mata atau membalikkan telapak tangan. Sepak bola dalam dirinya sendiri tidak dapat direvolusi karena ia sendiri berjalan dalam evolusi. Pencapaian saat ini adalah evolusi masa lampau.
Oleh sebab itu, penggunaan kata revolusi di sini mempunyai arti menciptakan sesegera mungkin sistem sepak bola. Kemajuan dunia sepak bola universal yang pesat saat ini menuntut kecepatan kita mengejar ketertinggalan. Dalam hal itulah letak urgensinya sistem.
Sistem adalah keutuhan, kesatuan, dan kesempurnaan. Sistem yang dimaksud di sini bukan hanya soal cara kerja untuk mencapai tujuan, tetapi jauh lebih esensial dari itu ialah soal prinsip ketunggalan. Maksudnya ialah bahwa sistem itu merupakan dasar atau kerangka yang dengannya sesuatu dapat berdiri atau terwujud.
Dalam konteks sepak bola, sistem ialah prinsip keutuhan dan kesatuan yang dengannya orang mampu menerima (masuk akal: intelligible) apa yang disebut dengan sepak bola itu. Sederhananya, yang dimaksud dengan sistem dalam sepak bola ialah segala aspek yang berkaitan dengan sepak bola. Di sini akan diuarikan lebih lanjut beberapa contoh dari apa yang disebut dengan sistem dalam sepak bola.
Sepak bola: sebuah keindahan dan seni
Pada dasarnya sepak bola merupakan salah satu jenis olah raga. Olah raga itu sendiri merupakan pengolahan tubuh demi mencapai kebugaran dan kesehatan. Ini merupakan pencapaian pertama dari olah raga, demikian pun dengan sepak bola.
Namun, konsep sepak bola modern ialah keindahan dan seni. Tim-tim terbaik dunia sudah menerapkan 'sistem' ini. Bermain bola bukan hanya olah raga (bermain dengan otot tanpa otak dan rasa), tetapi sekaligus seni yang menampilkan keindahan, sehingga orang-orang yang menonton dibuatnya kagum dan memperoleh kepuasan.
Karena itu, ketika kita menyaksikan tim-tim terbaik dunia bertanding, sebenarnya kita menyaksikan suatu keindahan, suatu 'perang' strategi, itulah keindahan. Bukan sebaliknya perang otot.
Tujuan suatu pertandingan sepak bola adalah kemenangan. Tak seorang pun atau tak satu tim pun yang menginginkan kekalahan. Jika terjadi, ini melawan kehendak dan akal budi. Setiap tim dalam suatu pertandingan mengharapkan kemenangan. Masing-masing mereka akan melakukan yang terbaik.
Kemenangan hanyalah salah satu sisi dari pertandingan. Kemenangan dan kekalahan adalah bagian dari pertandingan. Kemungkinan lain ialah seri poin.
Sepak bola itu butuh idealitas dan realitas. Apa yang ditampilkan dalam permainan sepak bola di tanah air sungguh jauh dari 'sistem' ini. Tidak jarang pemain 'diteror' suporter, wasit ditekan pemain, dan pemain sendiri ditindas oleh konsep "takut kalah" dari luar atau dalam dirinya.
Hal interior kurang diperhatikan, sehingga ada seperti demam panggung dan emosional. Sepak bola itu proses kegembiraan menuju kegembiraan sesungguhnya, yaitu kemengan. Bergembira untuk menang.
Sepak bola: dari idea menuju realitas
Realitas sepak bola yang dimainkan di tanah air kelihatan kekurangan idea, atau bahkan dapat disebut 'ketiadaan' idea. Sepak bola kita bergerak dari realitas menuju realitas. Ini merupakan suatu gerak horisontal perpindahan. Artinya sepak bola kita hanya mengamati setiap pertandingan ke pertandingan berikutnya. Hal ini bukan kekeliruan, tetapi kekurangan pengertian.
Apologi (argumen pembelaan diri) yang sering diberikan ialah "belajar dari pengalaman". Oleh karena perspektif ini, pelaku-pelaku sepak bola meninggalkan atau mungkin tidak mengenal idea sepak bola. Kurangnya pemahaman yang mendalam dan holistik serta terbaru, orang memainkan sepak bola subjektif.
Segala peraturan dan kriteria sepak bola 'diberlakukan' menurut pengetahuan dan kehendaknya. Hal ini berlaku bagi setiap orang yang memasuki koridor sepak bola. Hanya dengan idea, orang dapat bergerak vertikal mencapai 'sistem'.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H