Pertama, Indonesia bukan ateis.
Indonesia mendasarkan diri pada ketuhanan yang unitas. Perlu kejelian di sini. Di abad ke-20, di Indonesia telah berkembang pengaruh agama mondial, termasuk monoteisme. Para bapa pendiri bangsa Indonesia kala merumuskan fondasi pertama ini tentu sudah terpengaruh paham monoteisme. Ketuhanan mana yang dirujuk. Perkara itu tak dikatakan. Kita dapat menduga atau menilainya.
Menurut penilaian saya, Indonesia, perkara ketuhanannya, tak dapat dirujuk pada salah satu agama mondial yang ada di Indonesia. Bila tidak, itu akan menimbulkan kesulitan. Bukan hanya monoteisme yang ada dalam agama mondial. Lagi pula indonesia, pada hakikatnya punya kepercayaan tradisional, khas tanahair nusantara, yang beraneka ragam itu.
Bila diterima yang satu, jelas mengabaikan yang lain. Oleh sebab itu, ketuhanan dirujuk pada nilai asli kultural bumi nusantara, yakni Realitas Transendental. Secara ontologis, unitasnya dapat diterima semua pihak. Problem ketuhanan menjadi ringan di satu sisi, secara konseptual. Namun, secara praktis akan rumit bahkan akan amat berat, yaitu soal hukum. Kita dalam kerangka agama mondial.
Kriteria hukum kita pun terpola di situ. Padahal, ini tak asali nusantara. Yang asali ialah kita di mana-mana di bumi nusantara ini berkeyakinan atau percaya, dan menghidupi dengan sunggu-sungguh, akan Realitas Nan Transendental. Bermacam nama dan cara menghormatinya. Itu tak soal karena pengalaman akan Yang Nan Transendental itu unik bagi manusia atau kelompok manusia.Â
Perihal ketuhanan, dalam pengamatan dan penilaian saya, sepanjang sejarah keindonesiaan kita, terlalu dangkal bahkan terapung. Banyak orang dalam tata hidup bersama sibuk dengan ketuhanannya. Ini sebenarnya tak soal. Soalnya itu ialah keyakinan yang mati, yang tak dihidupi secara sungguh-sungguh dalam hidup sehari-hari.Â
Tampaknya berkeyakinan, dalam kartu identitas, dalam cara sembahyang, dalam cara berbusana, namun di atas semua itu sikap hidupnya amat jauh atau berseberangan dengan keyakinannya. Tak ada Kebaikan-kebenaran yang ditunjukkan dalam praktek hidup sama sekali. Apalagi hanya mematikan dan mencelakakan sesama, merancang jerat bagi sesama, memanipulasi, mengorupsi, dan banyak keburukan atau kejahatan lainnya.
Pada titik ini adalah tak pantas menyebut diri berkeyakinan atau beragama. Itu hanya menodai citra dan kesucian agama atau kepercayaan tertentu. Itu yang saya sebut keterapungan religiositas.
Bila itu yang terjadi, lebih pantas seorang yang tak mengakui Tuhan tapi berbuat kemanusiaan dan kebaikan serta kebenaran dengan sungguh dalam keseharian hidupnya dalam tata hidup bersama. Bila keterapungan religius terus terjadi, dasar pertama keindonesiaan kita adalah tak bermakna.
Kedua, peradaban humanis yang adil.
Manusia karena peradabannyalah mengungguli mahkluk hidup lain. Apa itu peradaban? Peradaban itu ialah budaya, yakni hasil terap olah pikiran-hati dalam menjalani kehidupan sebagai manusia. Manusia disebut beradab kala mewujudkan peradaban tersebut. Banyak aspek atau segi kehidupan yang dapat dijadikan kriteria peradaban. Kriterium dasar dari peradaban ialah kemanusiaan atau humanis.