Guru itu seharusnya dihormati. Akan tetapi, guru juga dapat diperlakukan sebagai seorang teman dengan etika, kaidah, dan sopan santun.
Saya masih ingat pengalaman ketika masih duduk di bangku SD-SMA tentang guru. Waktu itu, guru amat sangat ditakuti, disegani, dan dihormati.
Sebelum masuk ruangan kelas dan begitu pula ketika hendak pulang dari ruang kelas, setiap murid mesti mencium tangan bapak/ibu guru yang mengajar di awal dan akhir jam pelajaran. Barisan pun harus rapi, kalau tidak bapak/ibu guru akan memukul dengan penggaris kayu ukuran 1 meter. Murid tak boleh berkomentar.
Di luar kelas pun, guru amat disegani dan ditakuti. Makanya, sebisa mungkin saya dan teman-teman tidak bertemu dengan guru di luar kelas. Takut kalau-kalau ada yang salah, itu akan dibawa di ruang kelas besoknya atau kapan guru yang bersangkutan mengajar.
Menurut saya, inilah satu faktor yang menyebabkan semua guru itu begitu dihormati bahkan ditakuti di dalam maupun luar kompleks sekolah. Mereka serasa punya privilese.
Memasuki bangku kuliah, rasanya pengalaman di atas berbeda. Apalagi jika itu berlangsung di lembaga pendidikan kaum religius, biarawan, dan biarawati (Katolik). Para dosen biasanya sudah lebih bersikap dewasa dan sungguh bersahabat.
Dosen di kelas
Seorang pastor, suster, atau awam yang bertugas menjadi dosen, tentu harus tetap menjalankan tugasnya dengan displin, tegas, dan sekaligus kreatif. Ini merupakan tanggung jawab yang tidak boleh dilalaikan. Karena, menyangkut suara hati dan tuntutan moral.
Maka, mereka akan berusaha menuntaskan tanggung jawab itu (pertemuan+ujian) dengan seoptimal mungkin. Agar, terbentuklah bibit religius yang sungguh berilmu, berakhlak, dan punya daya juang yang tinggi.
Wajar saja mereka marah, jika ada murid/mahasiswa-inya yang kurang mengikuti mata kuliah dengan serius, atau mengatuk, atau tidak mengerjakan tugas dengan mantap. Dosen juga manusia, toh. Punya rasa, punya hati, punya emosi, dan punya ekspektasi terhadap para mahasiswanya.
Bisa menjadi teman
Akan tetapi, di luar ruangan kelas, para pastor bisa menjadi teman sekaligus seperti saudara sebaya. Mereka hadir lewat pembicaraan dan relasi sehari-hari dengan humor, pengertian, dan kebaikan.