Mohon tunggu...
Frainto Julian Kalumata
Frainto Julian Kalumata Mohon Tunggu... Freelancer - Halmahera Utara - Salatiga

Frainto kalumata adalah seorang penulis lepas. Kini ia juga sedang kuliah Bisnis Digital di Politeknik Bhakti Semesta. Ia aktif menulis tentang topik-topik ekonomi, teknologi dan sosial.

Selanjutnya

Tutup

Money

Bagaimana Pemberdayaan Ekonomi bagi Mileneal Menjelang Bonus Demografi?

12 April 2021   21:16 Diperbarui: 13 April 2021   17:13 370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Generasi milenial merupakan generasi pertama dari generasi digital yang lahir di dunia teknologi, maka tidak heran jika mereka diberkahi pengetahuan tentang dunia teknologi. Generasi ini dikelompokan berdasarkan usia antara 17-37 tahun. Istilah milenial pertama kali dipopulerkan oleh william strauss dan neil howe pada tahun 1987, di saat anak-anak yang lahir di tahun 1982 masuk pra sekolah, dan saat itu media mulai menyebut sebagai kelompok yang terhubung ke milenium baru di saat lulus SMA di tahun 2000.

Generasi ini umumnya ditandai dengan keakraban mereka dengan media komunikasi dan teknologi digital. Hal ini membuat mereka sangat dekat dengan perangkat teknologi seperti smartphone dan laptop, yang sudah menjadi bagian dari aktivitas sehari-hari. Generasi ini menyadari bahwa internet telah menciptakan kemudahan bagi mereka.

Generasi milen1al akan menjadi generasi penentu saat bonus demografi. Bila dilihat dari populasi milenial Indonesia jumlah penduduk usia produktif (15-64) akan lebih besar dibandingkan penduduk usia tidak produktif (<15 tahun dan >64 tahun) pada 2030 (Lokadata, 1 April 2020).

Pada tahun 2017, survei Centre Strategic And International Studies (CSIS) menunjukan bahwa milenial indonesia mengalami tiga kesulitan utama, yakni terbatasnya lapangan pekerjaan (25%), tingginya harga sembako (21%) dan tingginya angka kemiskinan (14%). Untuk itu, sebagai penunjang kemandirian dalam menciptakan lapangan pekerjaan dan peningkatkan standar hidup, sangat diperlukan pemberdayaan ekonomi sebagai upaya menciptakan daya saing untuk berkontribusi langsung terhadap pembangunan nasional.

Pada dasarnya kemajuan teknologi telah menawarkan manfaat berdaya guna dalam rangka menciptakan peluang ekonomi bagi milenial. Namun kondisi ekonomi yang tidak merata kerap menyebabkan tidak teraksesnya sumber daya oleh sebagian  milenial berkalangan menengah kebawah.

Tujuan pemberdayaan adalah memampukan dan memandirikan masyarakat terutama yang masuk dalam kategori miskin, keterbelakangan, kesenjangan, dan ketidakberdayaan. Kemiskinan dapat dilihat dari indikator pemenuhan kebutuhan dasar yang belum mencukupi/layak (Neila Susanti & Marliyah, 2018).

Maka diperlukanlah pemberdayaan ekonomi bagi para milenial, terutama yang berkalangan menengah kebawah. Karena pada dasarnya konsep pemberdayaan muncul sebagai reaksi dari model pembangunan ekonomi yang kurang berpihak pada sebagian besar masyarakat, terutama masyarakat (milenial) lemah yang tidak mempunyai sumberdaya.

Persoalan Milenial Saat Ini

Menurut data Mckinsey Global Institute (2019), menunujukan bahwa indonesia membutuhkan 113 juta tenaga kerja terampil pada tahun 2030. Sehingga mileneial dalam bekerja harus membekali dirinya dengan ketrampilan agar bonus demografi dapat dimanfaatkan dengan baik. Tetapi apabila tidak berketrampilan maka bonus demografi akan dapat menimbulkan ancaman bagi milenial.

Ketrampilan kerja dapat membantu milenial memperoleh pekerjaan yang layak, tanpa ketrampilan milenial bukan hanya akan kehilangan kesempatan mengakses papan yang layak, tapi menjalar ke kebutuhan-kebutuhan pokok lain. Karena persoalannya, dunia kerja kini juga diancaman oleh robotisasi dan otomatisasi kerja.

Berdasarkan riset organisasi buruh internasional (ILO) di 2016 menyebutkan bahwa fenomena otomatisasi industri memberikan ancaman bagi 242,2 juta (56 persen) buruh di asia tenggara yang merentang di bidang industri otomotif, garmen, retail, hingga outsourcing (Tirto, 4 Januari 2017).

Selain itu, Pertanian sebagai salah satu sektor paling menjanjikan bagi milenial juga perlu menjadi perhatian bersama, mengingat masih minimnya keterlibatan milenial di sektor pertanian. Hal ini sejalan dengan Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Pertanian (BPPSDMP) yang mencatat bahwa petani muda di indonesia yang berusia 20-39 tahun hanya berjumlah 2,7 juta orang. Lebih lanjut, Menurut Dedi Nursyamsi, kepala BPPSDMP (2020) bahwa hanya sekitar 8 persen dari total petani kita 33,4 juta orang. Sisanya lebih dari 90 persen masuk petani kolonial, atau petani yang sudah tua (Tempo, 13 April 2020).

Peluang lain yang perlu dimanfaatkan ialah entrepreunership. Generasi Milenial harus meningkatkan jiwa kewirausahaannya dalam menyambut bonus demografi. Milenial harus mengambil peran serta berkontribusi bagi perekonomian nasional. Karena sebuah negara dapat dikatakan sebagai negara maju salah satunya apabila pelaku entrepreneur harus lebih dari 14 persen dari rasio penduduknya. Namun, di indonesia saat ini pelaku entrepreneurnya baru 3,1 persen (Okefinance, 9 April 2019).

Disisi lain, tentang keuangan milenial yang pernah sadurkan oleh Tirto dari IDN Research Institute. Dalam laporan bertajuk indonesia millenial report 2019, tercatat bahwa hanya 10,7% dari pendapatan yang ditabung oleh milenial. Sedangkan 51,1% pendapatan habis untuk kebutuhan bulanan para milenial. Laporan ini juga memaparkan bahwa minat generasi milenial terhadap investasi masih rendah dengan persentase hanya sebesar 2%. Artinya, kaum milenial juga cukup konsumtif menggunakan uangnya dan masih minim terkait literasi keuangan.

Persiapan Menyambut Bonus Demografi 

Dalam menyambut bonus demografi sangat diperlukannya ketrampilan di dunia kerja, membangun mindset pertanian dan entrepreunership, serta pendidikan literasi keuangan. Keempat hal ini sangat diperlukan bagi milenial, guna meningkatkan daya saing dan membebaskannya dari belenggu kemiskinan.

Persoalannya cukup kompleks bila menilik lebih jauh soal kemiskinan. Hakekatnya ialah bekerja dan pengembangan diri. pada satu sisi, bonus demografi tidak hanya soal mengisi lapangan pekerjaan, namun juga harus disertai pengembangan diri. Melalui pengembangan diri, generasi milenial diaharapkan mampu membaca peluang yang ada.

Pendidikan formal adalah instrumen penting yang berkontribusi terhadap pembentukan hingga pengembangan diri milenial. Namun, pendidikan formal tidak menjamin bahwa milenial akan bebas dari belenggu kemiskinan. Maka pengembangan diri milenial harus diarahkan sacara mandiri dalam kerja-kerja yang menghasilkan nilai ekonomi.

Tantangan-tantangan terbesar menjelang bonus demografi adalah tantangan eksternal. Dalam era pasar bebas yang disertai pesatnya perkembangan teknologi. Generasi milenial harus menerima kenyataan bahwa persaingan akan semakin sengit dalam dunia pekerjaan. Hal ini menandakan bahwa akan semakin kompleks dinamika dalam dunia kerja. Maka dari itu, milenial harus mencipatkan kondisi bukan mengikuti kondisi yang ada. Misalnya, menciptakan usaha mandiri dan menciptakan lapangan pekerjaan bagi banyak orang.

Tawaran Model Pemberdayaan

Model pemberdayaan ekonomi masyarakat dapat dilakukan melalui membangun kesadaran ekonomi masyarakat, dengan memberikan pencerahan kepada target yang akan diberdayakan. Misalnya memberikan penyadaran kepada kelompok ekonomi rendah di masyarakat tentang pemahaman bahwa mereka dapat menjadi berbeda dan dapat dilakukan jika mereka mempunyai kapasitas untuk keluar dari kemiskinannya (Whritnolo, 2007).

Hal utama yang perlu dipersiapkan adalah pemetaan sumber daya manusia milenial berdasarkan empat (4) persoalan yang dialami oleh generasi milenial, yakni: ketrampilan di dunia kerja, mindset pertanian dan mindset entrepreunership, serta pendidikan literasi keuangan. Tujuannya adalah untuk mengelompokan milenial berdasarkan minat. Hasil pemetaan tersebut sangat berpengaruh terhadap efektivitas pemberdayaan.

Tawaran model pemberdayaan menggunakan pendekatan bottom up (dari desa ke kota) melalui sekolah latihan pengembangan diri berbasis ekonomi. Pelatihan didesain bertahap dalam kurun waktu tiga semester sesuai kelompok masing-masing dan satu semester dilakukan secara menyeluruh untuk pendidikan literasi keuangan. Sekolah latihan dilakukan selama satu tahun (tiga bulan dalam satu semester). Pasca pelatihan, perlu juga dipersiapkan rencana tindak lanjut (RTL). Berbagai sumber daya harus dihimpun agar pelatihan mampu berwujud praktik. Dalam hal ini, melalui pemerintah daerah dapat diupayakan penyaluran tenaga kerja yang sesuai kelayakan, penyediaan subsidi untuk kelengkapan pertanian, penyediaan insentif dan modal usaha, serta pengadaan event-event terkait literasi keuangan.

Referensi:

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun