Mohon tunggu...
Fahmi Rahman
Fahmi Rahman Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Penggemar Beatles, Naif, om Bob dan mas Pram.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Selaras? Tanya Saja Pak Menteri

24 Maret 2013   20:47 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:17 12
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Opini ini saya tulis semata-mata untuk mengikuti "Club Blog Competition".

Agak bingung sebenarnya saat membaca tema blog competition ini "Bagaimana Menyelaraskan Dunia Pendidikan dan Dunia Kerja". Dua hal yang menjadi pertanyaan besar saya, yaitu menyelaraskan dan dunia pendidikan. Apalagi latar belakang saya yang bukan pemerhati pendidikan di negeri ini, praktisi pendidikan pun bukan. Namun tak ada salahnya kan saya ber-opini, apalagi kalo si untung lagi deket, bisa dapet hadiah. Lumayan buat tambah-tambah biaya sekolah anak, anak bapak saya.

Saat kita mendengar kata pendidikan, yang pertama muncul di kepala biasanya adalah sekolah formal. Dunia pendidikan akan identik dengan TK-SD-SMP-SMA-Perguruan Tinggi. Kita agak susah untuk mengidentifikasikan bahwa pendidikan bukan semata-mata sekolah formal saja. Dan, biasanya kita akan berfikir, saat tingkat pendidikan kita makin tinggi, maka akan makin mudah pula kita mendapatkan pekerjaan. Pada akhirnya, mindset kita, pendidikan untuk bekerja. Seorang anak berfikir, sekolah untuk bekerja. Dan seorang ayah berfikir, bekerja untuk sekolah anak.

Saat mindset tentang pendidikan sudah terbentuk seperti itu, lalu kenapa tidak dari mulai pendidikan dasar saja keselarasan antara pendidikan untuk pekerjaan itu diterapkan. Anak-anak SD sudah diajarkan bagaimana untuk menjadi seorang ekonom, insinyur, dokter, politikus, dan lainnya. Bukankah ada pepatah yang mengatakan saat sesuatu itu bagus, mending diterapkan sejak dini, meskipun sulit. lebih baik melukis di batu daripada melukis di air, begitu kalau tidak salah pepatahnya. Daripada kita pendidikan dasar 9 tahun (atau sudah 12 tahun?), belajar macam-macam, apa tidak lebih baik kalau fokus dari awal saja? Apakah kita tidak menjadi lebih matang tentang ekonomi saat belajar ekonomi selama 17 tahun(SD-PT), dibandingkan hanya 5 tahun saja? Apakah kita tidak lebih mudah mencari pekerjaan saat sudah menguasai betul ilmunya itu?

Beberapa waktu lalu saya kebetulan hadir dalam sebuah kegiatan pelatihan, temanya ESD, Education for Suatainable Development. Bahwa dalam konsep pendidikan untuk pembangunan yang berkelanjutan, ada tiga hal yang menjadi landasannya, ekologi, ekonomi dan sosial. Salah satu pemateri, seorang praktisi psikologi anak dan remaja mengatakan bahwa selama ini dunia pendidikan di Indonesia kurang memperhatikan soal psikologi ini. Anak dijejali mata pelajaran, ditekan dengan ujian-ujian, tak peduli dia suka atau tidak, mau atau tidak. Bahwa psikologi merupakan satu hal yang sangat penting diperhatikan dalam sistem pendidikan kita, saya setuju.

Lalu apa sebenarnya esensi dari pendidikan itu? Khususnya pendidikan formal.

Saya berpendapat mungkin yang seharusnya diutamakan dalam sistem pendidikan kita adalah pembentukan karakter. Sistem pendidikan yang memperhatikan faktor psikologis dan sosial anak didiknya, sehingga apa yang harus mereka terima, bisa tersampaikan dengan baik. Idealnya pendidikan seperti ini akan berjalan dua arah, jadi tidak hanya guru berdiri di depan, menyampaikan pelajaran, dan murid duduk di bangku, mencatat dan mendengarkan. Dan mungkin bisa dikurangi juga jumlah mata pelajaran dan PR yang harus dikerjakan, supaya anak juga mempunyai waktu lebih banyak untuk mendapatkan pendidikan dari orang tuanya. Bukankah pendidikan itu seharusnya lebih banyak di rumah, dari orang tua sendiri daripada dari guru di sekolah?

Saat karakter itu sudah terbentuk dengan baik, apakah tidak lebih menjadi lebih mudah untuk menyelaraskan dengan dunia kerja? terlepas dari jurusan yang diambil pada akhirnya. Banyak kan pekerja yang bekerja tidak sesuai dengan keahlian yang didapatnya semasa sekolah?

Pada akhirnya si anak tetap sekolah untuk kelak bisa bekerja,

Dan si ayah tetap bekerja untuk bisa biayai sekolah anak..

Lalu siapa yang menyelaraskan dunia pendidikan dan dunia kerja?? tanya saja Menteri Pendidikan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun