Setiap ada kesempatan cuti atau libur ke kampung halaman, saya secara pribadi selalu berusaha untuk dapat live in, ada bersama dengannya. Dia adalah Piet Meran Roma atau yang dikenal dengan Sang Komdan (baca: komandan) Abadi Linmas.
Bersama dengannya adalah sebuah kesempatan terhormat bagi saya karena bisa melihat, mengalami dari dekat diri Sang Komdan bersama sejuta kisah; suka duka, susah senang, serta pahit manisnya kehidupan yang tergambar dengan jelas pada kerutan dahi, pada kulit berurat yang gosong, pada rambut yang sudah mulai memutih. Gambaran fisik ini sekali lagi menegaskan diri Sang Komdan sebagai lelaki kuat pantang menyerah, tak kenal lelah.
Dalam 'ada' bersama itu, apalagi jika 'anggur nenek moyang' (baca: tuak) sudah membasahi tenggorakan, Sang Komdan selalu akan melantunkan syair adat berikut. Tetapi terlebih dahulu saya mohon maaf jika terdapat kesalahan tulisan kata dalam syair ini karena saya coba menulis apa yang saya dengar dari rekaman video pribadi.
Pada video tersebut terdapat bagian yang kurang jelas pengucapannya karena Sang Komdan sudah dikuasai tuak dan organ pengunyah yang semakin berkurang. Kira-kira seperti ini syairnya:
Ei tèlè ata wuri bo hele//Ama orem bo sarè roi// be lau mai ere mo be ake dere// lalan ole go gewayo//lalan ole go gewayo oooooo.
Izinkan pula saya untuk mencoba mengartikan syair tersebut sesuai pemahaman saya secara harafiah dan dengan rendah hati saya mohon maaf bila arti syair di atas kurang tepat dan hati ini pun selalu terbuka untuk dikoreksi. Kira-kira demikian artinya:
Ama, hatimu sudah senang karena pertemuan dan kebersamaan ini. Sekarang engkau akan pamit pulang. Bila ada kesempatan, kembalilah lagi ke sini untuk bersama lagi. Ini sudah sebuah jalan yang harus dilewati, pulang dan pergi.
Melalui lantunan syair ini Sang Komdan dengan sadar menyampaikan sebuah petuah yang bermakna untuk kita semua bahwasannya pertemuan, perjumpaan, dan kebersamaan adalah sebuah kebahagiaan sangat mahal sebagai penawar rindu.
Ia menyadari bahwa karena tugas, pekerjaan, dan tanggung jawab dari masing-masing kita, maka pertemuan ini harus berakhir dengan perpisahan namun tidak untuk selamanya. Sebuah perpisahan sementara.
Sang Komdan mengikhlaskan perpisahan itu seraya mengingatkan bahwa kita yang jauh dari kampung halaman, pergi mengadu nasib dan mengais rejeki di tanah orang untuk tetap ingat kampung halaman, rumah kita. Bila ada waktu jangan lupa untuk tengoklah 'dia'.
Betul bahwa di rantau kita berhasil, memiliki tanah, rumah, harta, dan lain-lain tetapi di sana kita hanya 'tule tuak nawu manuk', tempat hanya untuk mengiris tuak dan pelihara ayam. Ini mengandaikan bahwa perantauan adalah seperti sebuah kebun, oring (pondok di kebun) yang mana di tempat itu orang hanya melakukan aktivitas sementara dan setelah menyelesaikan aktivitasnya orang akan beranjak pulang ke rumah.
Sang Komdan yang bijak itu tidak memiliki pendidikan yang tinggi, dia hanyalah seorang Komdan Linmas di wilayah yang jauh dari jantung kota, jauh dari hiruk pikuk android, seorang anak kampung. Ia mengenal strategi pengamanan Linmas melalui pendekatan persuasif. Ia hidup membaur dengan masyarakat tempat ia berada, tanpa batas, tanpa tirai pemisah antara dirinya sebagai pemimpin Linmas dan yang dipimpin, entah anggota Linmas atau pun warga.
Baginya jabatan bukan kekuasaan tetapi pelayanan dalam semangat solidaritas. Sang Komdan meretas pemodelan pendekatan ini sebagai langkah untuk mencoba membangun dan memperkuat ikatan kekeluargaan; siapa saja adalah keluarga dan saudara, sekaligus membangun kekuatan berbasis warga masyarakat dengan semboyan 'keamanan; dari, oleh, dan untuk masyarakat'.
Melalui modal dan moďel kepemimpinan seperti itu Sang Komdan semakin belajar kebijaksanaan. Ia mendengar, melihat, mengalami segala dinamika hidup di sekitarnya.
Orang-orang di sekitarnya adalah guru yang mengajarinya banyak hal namun ia tidak serta merta menelan bulat-bulat setiap pengetahuan dan ajakan yang ia terima. Filtrasi diperlukannya sehingga tidak menimbulkan aneka perspektif dan sudah tentu hal menyangkut kebaikan hidup bersama menjadi fokus pilihan hidupnya.
Petuah yang ia berikan merupakan hasil belajarnya melalui mendengar dan mengalami. Ia tidak mencoba menggurui, ia hanya melakukan apa yang bisa ia lakukan. Ia memilih jalan kerendahan hati, menunjukkan dan mempertahankan jati dirinya sebagai manusia yang berbudaya.
Jika mau jujur, generasi muda kita saat ini banyak yang tidak bisa atau jika boleh dikatakan tidak tahu melantunkan syair petuah adat. Ada tetapi tidak banyak, satu dua saja. Ini sebagai sebuah dampak modernisasi yang telah menggeser pola pikir dan corak hidup.
Sebagai contoh, jika ada pesta/hajatan, orang lebih suka modern dance ketimbang tradisional dance. Apalagi kalau menyinggung uri sele (pantun tradisional berisi petuah yang dibawakan secara bergantian oleh orang-orang tua laki-laki) yang semakin langka.
Saya ingat, kalau dulu ada pesta sambut baru, perkawinan, uri sele ini selalu memainkan peran penting dan menjadi utama dalam pesta tersebut. Sekarang semakin terhimpit dan jika tidak segera disadari pelan-pelan akan menghilang. Ini peringatan!.
Nah, Sang Komdan dengan segala keterbatasannya berusaha mempertahankan warisan luhur ini. Ia sadar betul bahwa desa kita telah diwacanakan sebagai desa tujuan wisata budaya dan religi maka hal baik ini perlu terus dihidupkan agar api budaya dan identitas kita tetap bernyala.
Sang Komdan menegaskan bahwa para wisatawan yang masuk ke desa kita bukan saja untuk wisata mata tetapi benar-benar masuk dalam budaya yakni melihat, mendengar, merasakan, mengalami karena mereka dan kita semua tinggal dalam budaya itu.
Oleh karena itu ia akan terus melantunkan syair petuah itu agar semua kita boleh kembali lagi ke 'rumah' kita. Artinya, kita yang jauh maupun yang dekat dengan selalu ingat dan berusaha terus menerus untuk menghidupi tradisi dan budaya sebagi 'rumah'kita bersama.
Terima kasih kepada Sang Komdan yang selalu mengajak untuk pulang dan yang setia menjaga tradisi luhur warisan leluhur. Salam Hormat Komdan. (Fradj)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H