Mohon tunggu...
Fradj Ledjab
Fradj Ledjab Mohon Tunggu... Guru - Peziarah

Coretan Dinding Sang Peziarah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Petuah Sang Komdan

2 Juni 2021   06:30 Diperbarui: 2 Juni 2021   06:33 302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap ada kesempatan cuti atau libur ke kampung halaman, saya secara pribadi selalu berusaha untuk dapat  live in, ada bersama dengannya. Dia adalah Piet Meran Roma atau yang dikenal dengan Sang Komdan (baca: komandan) Abadi Linmas. 

Bersama dengannya adalah sebuah kesempatan terhormat bagi saya karena bisa melihat, mengalami dari dekat diri Sang Komdan bersama sejuta kisah; suka duka, susah senang, serta pahit manisnya kehidupan yang tergambar dengan jelas pada kerutan dahi, pada kulit berurat yang gosong, pada rambut yang sudah mulai memutih. Gambaran fisik ini sekali lagi menegaskan diri Sang Komdan sebagai lelaki kuat pantang menyerah, tak kenal lelah.

Dalam 'ada' bersama itu, apalagi jika 'anggur nenek moyang' (baca: tuak) sudah membasahi tenggorakan, Sang Komdan selalu akan melantunkan syair adat berikut. Tetapi terlebih dahulu saya mohon maaf jika terdapat kesalahan tulisan kata dalam syair ini karena saya coba menulis apa yang saya dengar dari rekaman video pribadi. 

Pada video tersebut terdapat bagian yang kurang jelas pengucapannya karena Sang Komdan sudah dikuasai tuak dan organ pengunyah yang semakin berkurang. Kira-kira seperti ini syairnya:

Ei tèlè ata wuri bo hele//Ama orem bo sarè roi// be lau mai ere mo be ake dere// lalan ole go gewayo//lalan ole go gewayo oooooo.

Izinkan pula saya untuk mencoba mengartikan syair tersebut sesuai pemahaman saya secara harafiah dan dengan rendah hati saya mohon maaf bila arti syair di atas kurang tepat dan hati ini pun selalu terbuka untuk dikoreksi. Kira-kira demikian artinya: 

Ama, hatimu sudah senang karena pertemuan dan kebersamaan ini. Sekarang engkau akan pamit pulang. Bila ada kesempatan, kembalilah lagi ke sini untuk bersama lagi. Ini sudah sebuah jalan yang harus dilewati, pulang dan pergi.

Melalui lantunan syair ini Sang Komdan dengan sadar menyampaikan sebuah petuah yang bermakna untuk kita semua bahwasannya pertemuan, perjumpaan, dan kebersamaan adalah sebuah kebahagiaan sangat mahal sebagai penawar rindu. 

Ia menyadari bahwa karena tugas, pekerjaan, dan tanggung jawab dari masing-masing kita, maka pertemuan ini harus berakhir dengan perpisahan namun tidak untuk selamanya. Sebuah perpisahan sementara. 

Sang Komdan mengikhlaskan perpisahan itu seraya mengingatkan bahwa kita yang jauh dari kampung halaman, pergi mengadu nasib dan mengais rejeki di tanah orang untuk tetap ingat kampung halaman, rumah kita. Bila ada waktu jangan lupa untuk tengoklah 'dia'. 

Betul bahwa di rantau kita berhasil, memiliki tanah, rumah, harta, dan lain-lain tetapi di sana kita hanya 'tule tuak nawu manuk', tempat hanya untuk mengiris tuak dan pelihara ayamIni mengandaikan bahwa perantauan adalah seperti sebuah kebun, oring (pondok di kebun) yang mana di tempat itu orang hanya melakukan aktivitas sementara dan setelah menyelesaikan aktivitasnya orang akan beranjak pulang ke rumah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun