Mohon tunggu...
Fathurohman
Fathurohman Mohon Tunggu... Editor - Peneliti Pusat Riset Kajian Ketahanan Nasional Universitas Indonesia

Gado-gado pemikiran | Penikmat film serial action

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Quo Vadis Masjid Jami Nurul Islam Koja?

6 April 2023   21:29 Diperbarui: 6 April 2023   22:15 540
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Masjid Jami Nurul Islam Koja. Foto: pribadi

Kita sepakat bahwa masjid adalah rumah Allah yang mejadi sarana ibadah umat muslim. Selain itu, fungsinya juga sebagai pusat dakwah, pengajaran agama, pembinaan moral serta menjadi sentrum peradaban Islam. Tentu implikasinya kewajiban kita menjaga puritansi masjid itu sendiri dari segala aspek yang bersifat merusak bahkan ketika kita ingin mendapat predikat "beriman" kita wajib memakmurkan masjid tersebut.

Pengejawantahan beriman pada konteks memakmurkan masjid harus diinterpretasikan secara proporsional. Konsepsi bahwa beriman bukan hanya berkutat pada lingkup teologis (sholat dan ngaji di masjid) karena itu sudah jelas makna dari memakmurkan. Namun yang terpenting bahwa memakmurkan itu menyentuh dimensi realitas fisik masjid itu sendiri seperti membangun masjid, memperindah masjid, menambah fasilitas masjid. Orientasinya membuat kenyamanan seorang beribadah di dalam masjid.

Berbicara soal pembangunan masjid, tak terlepas dari awal mula perencanaannya, mulai pemilihan lahan yang akan dibangun, status lahan, proses pengalihan lahan dari pribadi menjadi wakaf serta rencana pengadaan material melalui sumbangan donatur dan swadaya masyarakat, biasanya dalam pembangunan masjid ini dikordinir oleh panitia. Tak ayal juga sebagian donatur menjadikan porsi prioritas dalam pembangunan masjid karena ini sebagai media untuk mendermakan hartanya yang dinilai akan menjadi penolong kelak pada hari akhir nanti.

Sebagai makhluk sosial, tak jarang kita temukan dinamika pada proses pembangunan masjid seperti kekurangan biaya yang berdampak lamanya target pembangunan hingga adanya konflik internal yang menyebab terbengkalainya pembangunan dan segudang problematika lain yang muncul sebagai wujud dari perbedaan kepentingan dalam relasi antar individu, akhirnya berdampak pada instabilitas sosial, terganggunya ketenangan umum hingga konflik horizontal.

Dalam hal ini, saya ingin menyoroti kasus masjid Jami' Nurul Islam Koja yang terletak di Jalan Cipeucang II Kelurahan Koja Kecamatan Koja Jakarta Utara dengan problematikanya menjadi perhatian serius berbagai stakeholder karena konflik yang usianya hampir 12 tahun lebih sejak penyerahan status bangunan kepada jemaah agar dikelola bersama hingga saat ini belum menemukan titik solusi yang jitu justru perkembangan perkara ini makin meluap ketika bulan Ramadhan tiba.

Bahkan saat mau tiba bulan Ramadhan tepatnya tanggal 14 bulan Maret kemarin, publik sontak menjadi heboh dan viral di media sosial lantaran pemilik tanah atas nama Haji Nur Alam diduga hendak melakukan penutupan akses masjid bahkan sudah menurunkan material bangunan di lokasi masjid dan melakukan pengukuran yang menandakan proses penutupan akan dilaksanakan. Adanya rencana penutupan ini yang membuat warga dan jamaah geram hingga melakukan pengusiran terhadap tukang bangunan.

Tak lama, haji Nur Alam pun datang pada saat keributan berlangsung yang semula ingin mendudukkan persoalan namun malah memaki-maki jamaah dan percekcokan dengan jemaah tak terhindari karena sama-sama mengunggulkan pandangan egosentrisnya. Fenomena ini menjadi sorotan publik bahkan pejabat kelurahan dan aparat penegak hukum tiba dilokasi untuk menenangkan situasi dan melakukan mediasi antar jamaah dan haji Nur Alam, namun tak kunjung terlaksana. 

Berawal dari kasus tersebut, saya ingin mengurai secara objektif histori problematika yang terjadi dari awal pembangunan hingga saat ini yakni konflik antar jamaah dan haji Nur Alam karena bagaimanapun implikasinya bukan hanya menyangkut hubungan sosial warga (jamaah) dengan pemilik tanah tetapi hubungan vertikal dengan Tuhan YME, agar momentum ritual ibadah di dalam masjid terlepas dari bayang-bayangan konflik.

Quo Vadis masjid Jami Nurul Islam ini atau mau dibawa kemana konflik masjid ini, atau sampai kapan konflik ini mencapai tahap ending, dapatkah terjadi ishlah antara haji Nur Alam dan Jamaah. Pertanyaan ini yang perlu didesak untuk menemukan jawabannya dan perlu juga strategi resolusi yang tepat agar konflik antar jamaah dengan Haji Nur Alam dapat terurai menjadi solusi bersama.  

Rangkaian Histori Awal Pembangunan

Sebelum kita lebih jauh mendapatkan jawabannya, perlu kiranya flashback mulai dari urutan awal tahun pembangunan masjid jami Nurul Islam Koja, hingga mulanya muncul ketegangan antara panitia-jemaah dengan haji Nur Alam.

Rencana pembangunan masjid ini berawal pada 15 Maret 2005 silam ketika warga gabungan RW 012 (pengelola musholla Nurul Islam) meminta ke Haji Rawi (tokoh masyarakat) untuk mewakafkan tanahnya untuk dibangun masjid Jami Nurul Islam, dan sepakat musholla dibongkar untuk dijadikan halaman parkir masjid, namun haji Nur Alam meminta pembangunan masjid Nurul Islam Koja dipindah ke tanah miliknya, padahal tadinya pembangunan masjid sudah disepakati warga dan donator untuk dibangun di atas tanah wakaf haji Rawi.

Permintaan tersebut diterima warga dan donator karena haji Nur Alam beralasan tanah miliknya yang sebelahnya lagi akan dijual untuk kantor Kelurahan Koja meskipun pada akhirnya tidak jadi dan haji Nur Alam berjanji bahwa Musholla yang posisinya dekat tanah wakaf haji Rawi akan dibongkar untuk dijadikan halaman bersama antara Masjid dan kantor kelurahan.

Pembangunan masjidpun dimulai dan haji Nur Alam yang meletakaan batu pertama, memberikan sambutan, memberikan tambahan nama "jami" dan menyumbang Semen sebagaimana video sambutan yang beredar di Youtube. Atas dasar itu warga dan donator ikut menyumbang pembangunan tersebut.


Setelah pembangunan masjid selesai dan ditempati oleh jama'ah, pada tanggal 03 mei 2011, haji Rawi menyerahkan pembangunan masjid kepada jama'ah dan warga RW.012 melalui haji Nur Alam untuk difungsikan sebagai sarana ibadah sholat lima waktu dan kegiatan keagamaan lainnya. Setelah diserahkan ditunggu beberapa bulan ternyata haji Nur Alam tidak mau masuk kedalam masjid dan tidak mengadakan rapat dengan jama'ah, maka 15 orang setelah selesai sholat subuh silaturrahmi ke rumah haji Nur Alam dengan tujuan untuk menindaklanjuti penyerahan pengelolaan Masjid Jami' Nurul Islam, sekaligus memintanya untuk memimpin jama'ah namun ditolak.

Setelah rapat tanggal 23 Nopember 2011, warga dan Jam'ah dipimpin oleh H. Saba'i, Ketua RW.012 dan Ketua RT.001 sampai RT.013 dan juga Ketua LMK, datang kerumah haji Nur Alam untuk menyerahkan 3 Sertifikat Asli atas nama keluarga haji Rawi, untuk digabung dengan tanah milik haji Nur Alam untuk diwakafkan menjadi tanah wakaf Masjid Jami' Nurul Islam, namun ditolak.

Pada tanggal 01 Desember 2011, haji Nur Alam meminta agar nama masjid diganti menjadi Masjid Al-Islah, diganti lagi menjadi Masjid Al-Muhklisin yang disaksikan oleh Walikota Jakarta Utara, dan jajaran pimpinan Muspiko Jakarta Utara. Tindakan kesewenangan itu yang dianggap mulai mencederai perjanjian awal pembangunan. Akhirnya karena merasa ditipu dan dibohongi oleh haji Nur Alam, para donator dan jamaah minta bangunan masjid dipindah ke tanah wakaf haji Rawi yang merupkan lokasi awal yang diplot untuk pembangunan masjid Nurul Islam dan Masjid jami' Nurul Islam dibangun diatas tanah wakaf keluarga haji Rawi, sertifikat Wakaf No. W.32, dan telah diresmikan pada tahun 2018, oleh Ketua Umum MUI Pusat Prof. Dr. (H.C) KH. Ma'ruf Amin yang saat ini menjadi Wakil Presiden RI.

Pro-Kontra Opini Publik Sebabkan Probabilitas Konflik

Fenomena sosial berupa konflik berawal dari pro-kontra yang abstrak diperparah egosentris komunal yang menghambat komunikasi yang baik juga. Isu soal konflik masjid jami Nurul Islam ini sebenarya merupakan kuatnya egosentris dari haji Nur Alam tidak mau menerima informasi yang baik, secara eksplisit bisa divalidasi. Bahkan terkesan mengelak dan membuat opini masyarakat yang justru menyesatkan.

Habituasi yang buruk ini memperparah konflik berkepanjangan tidak kunjung selesai, bahkan ini sengaja dimunculkan seolah-olah ini konflik antara haji Rawi dan haji Nur Alam nyatanya secara de jure jelas sekali tidak ada kaitannya dengan haji Rawi karena sudah menyerahkan sepenuhnya ke jamaah melalui haji Nur Alam. Muncul pertanyaan, kenapa jamaah masih tidak setuju haji Nur Alam menaruh material di masjid bukankah sudah diserahkan ke haji Nur Alam ? pertama kita harus memahami narasi penyerahan pengelolaan masjid dari haji Rawi (sebagai donator dan panitia) kepada jamaah dan warga, penyerahan melalui haji Nur Alam yang dianggap sebagai tokoh. Artinya yang punya kewenangan adalah warga dan jamaah (takmir masjid) dan haji Nur Alam hanya mediasi dan penerima pelimpahan yang diminta juga untuk terlibat dalam pengelolaan masjid. Jadi porsinya kolektif kolegial, bersama-sama membangun dan memakmurkan masjid, dan urusan kebijakan apapun harus melaui musyawarah.

Dilain pihak, justru haji Nur Alam malah berencana mengambil kembali hak atas tanah masjid yang sebelumnya sudah diwakafkan, dan semenjak itu sering melakukan sewenang-wenang dengan melakukan pemutusan aliran listrik ke masjid hingga mengganggu jalannya ibadah dengan tumpukan material dan membuat kegaduhan dengan isu bahwa orang yang salat di masjid Nurul Islam ini tidak sah. Bahkan yang lebih parah melaporkan marbot dan dewan pengurus masjid ke Polres karena melakukan penyerobotan.

Rekonsiliasi Menuju Ishlah

Dalam proses menuju Islah antara jamaah dan haji Nur Alam harus dilakukan adanya interaksi yang dibangun di atas fondasi rekonsiliasi sosial, setidaknya dapat mengatasi disparitas perbedaan pemahaman dan peleburan nilai keihklasan dalam diri serta membuka lebar-lebar bilik keterbukaan antar haji Nur Alam dan warga. 

Praktik pada proses ishlah ini sudah beberapa dilakukan upaya rekonsiliasi bahkan sempat meminta mediasi oleh Pengurus Pusat Majelis Ulama Indonesia dan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, rekomendasinya harus legowo salah satunya. Namun menilik persoalannya, yang harus legowo adalah haji Nur Alam karena problematika ini berawal dari ulah dia sendiri, sementara jamaah dan warga yang sudah lama mengurus kemakmuran masjid ini merasa terusir-teraniaya akibat ulahnya haji Nur Alam.  

Menilik lebih jauh lagi proses ishlah, yaitu membuka ujung tombak atau poros pertama diskusi soal kemungkinan upaya peralihan tanah dari pribadi menjadi wakaf dengan cara haji Nur Alam ikhlas melepas status tanah tersebut menjadi wakaf yakni kembali pada perjanjian pertama. Bila hal ini tidak memungkinkan karena kuatnya egosentris, poros kedua menyiapkan opsi agar para donatur siap membeli lahan pribadi tersebut untuk kemudian dijadikan wakaf masjid. Poros ketiga meminta pejabat terkait untuk membeli masjid yang dibangun pertama agar dijadikan pusat peradaban dan studi keagamaan Islam atau kalau tidak, dijadikan cagar budaya.  

Terakhir persoalan ini harus dibawa ke meja pejabat Gubernur DKI bersama aparat penegak hukum paling tidak merespon kejadian tersebut untuk melakukan dan mendiskusikan semua kemungkinan agar tidak terulang kembali dan agar terciptanya keamanan ketertiban masyarakat di area Masjid Nurul Islam.[fr]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun