[caption id="attachment_317929" align="aligncenter" width="193" caption="http://freshlynewman.blogspot.com/"][/caption]
Apa itu politik? Mengapa politik maupun politisi busuk sangat familiar didengar di republik ini? Apa penyebabnya? Mungkinkah politik busuk dapat dihilangkan dari negeri ini? Bagaimana caranya?
Secara etimologis, politik berasal dari kata Yunani "polis" yang berarti kota atau negara kota. Pengertian tersebut berkembang menjadi polites yang berarti warganegara, politeia yang berarti segala sesuatu yang berhubungan dengan negara, politika yang berarti pemerintahan negara, dan politikos yang berarti kewarganegaraan. Umumnya dapat dikatakan bahwa politik merupakan bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik (atau negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dalam sistem itu serta melaksanakan tujuan-tujuannya. Untuk melaksanakan tujuan-tujuan tersebut perlu ditentukan kebijakan-kebijakan umum yang menyangkut pengaturan dan pembagian atau alokasi dari sumber-sumber yang ada. Untuk dapat berperan aktif dalam dalam melaksanakan kebijakan-kebijakan itu, dibutuhkan kekuasaan dan kewenangan yang akan digunakan untuk membina kerjasama maupun menyelesaikan konflik yang akan timbul dalam proses tersebut.
[caption id="attachment_317930" align="aligncenter" width="169" caption="http://www.tribunnews.com"]
Politik tidak bisa dipisahkan dari kekuasaan karena politik adalah alat untuk mencapai kekuasaan itu sendiri. Hampir semua orang tentunya ingin memiliki kekuasaan sedangkan ketersediaan ruang untuk menjadi penguasa terbatas. Jika semua orang menjadi penguasa tentu tidak ada lagi yang akan dikuasainya, bukan? Atas dasar itulah setiap orang yang ingin berkuasa di negara dengan sistem demokrasi cenderung akan melakukan cara apa saja untuk dapat terpilih, salah satunya adalah politik uang. Politisi yang mengandalkan materi yang berlimpah serta tampil kapabel agar menarik simpati dari masyarakat merupakan salah satu dari ciri politisi busuk. Dengan membagi "rejeki" kepada masyarakat, harapan mereka sangat besar untuk meraih dukungan sebanyak-banyaknya walaupun modalnya dari dana hutangan. Hanya ada 2 (dua) opsi yang akan mereka hadapi setelahnya. Jika gagal mereka akan stres karena banyak hutang, dan jika sukses harus berupaya keras untuk menutupi hutang.
Parahnya, masyarakat kurang peduli dengan politik uang, bahkan terkesan malah mengharapkan sesuatu dari tokoh yang akan bertarung dalam proses demokrasi rakyat seperti pemilu. Hal ini dapat dibuktikan oleh survei dari Lembaga Survei Nasional (LSN) yang dilakukan pada 5 sampai 15 Maret 2014 di 34 provinsi di seluruh Indonesia. Survei tersebut menyatakan pemilu 2014 rawan politik uang karena 69,1 persen mengaku bersedia menerima uang dari calon legislatif atau partai, sedangkan 30,9 persen menyatakan akan menolak pemberian uang dari calon legislatif atau partai manapun. 30,9 persen itu yang masih mengaku akan menolak uang, belum lagi banyak yang tidak jujur tentunya dari sebagian mereka. Ini terjadi karena masyarakat belum menyadari akan bahayanya politik uang dan malah menganggapnya sebagai hal yang lumrah. Masyarakat juga cenderung apatis terhadap pemilu karena pengalaman dari pemilu-pemilu sebelumnya yaitu perhatian calon legislatif ataupun calon presiden setelah menjabat tidak seperti ketika prapemilu. Setelah berkuasa, para penguasa tersebut seakan-akan tidak tampak lagi dan menghilang ditelan bumi.
Manifestasi yang dibawakan oleh politisi sebenarnya hanya mengincar dan menumpuk investasi materi. Saat tampil sebagai orang yang berkuasa, mereka akan duduk sebagai orang terhormat. Di sisi lain, mereka tetap harus mengembalikan modal yang keluar saat kampanye pada prapemilu. Tidak ada lagi didapati politisi yang mengartikan kekuasaan sebagai manajerial yang akan selalu memperhatikan aspirasi dari bawah sebagai sumber masukan dan komponen manajemen itu sendiri. Yang ada adalah politisi busuk yang meraup materi sebanyak-banyaknya untuk menutupi modal dan menambah kekayaan sehingga terjadilah korupsi.
Ini adalah salah satu kelemahan di negara yang menganut sistem demokrasi. Rakyat yang memilih pemimpinnya. Untuk dapat terpilih, calon pemimpin tersebut akan melakukan caranya masing-masing untuk merebut simpati. Cara kotor ataupun cara yang bersih. Cara kotor seperti politik uang akan lebih efektif di negara yang memiliki sebagian besar masyarakat yang bermental materialistis seperti di Indonesia.
Hal tersebut sebenarnya dapat diminimalisir jika negara tegas melakukan pengawasan dan memberikan sanksi berat terhadap calon legislatif dan partai yang melakukan politik busuk seperti politik uang sehingga negara dapat dikatakan mengarah kepada penciptaan kaderisasi suci. Hal tersebut sangat mudah dilakukan jika pemerintah bekerja sama dengan masyarakat kecil seraya memberikan mereka stimulus agar tidak tergiur dengan politik uang. Cara itu jika terealisasi akan meminimalisir adanya politik busuk di Indonesia. Meminimalisir, bukan menghapus samasekali, karena memang politik akan selalu busuk di negara demokrasi.
Atas dasar itulah agama seharusnya dipisahkan dari politik. Memasukkan agama ke dalam politik sama artinya dengan memasukkan agama ke dalam wadah yang kotor maupun busuk. Ibaratnya air sejernih apapun jika dimasukkan ke dalam wadah yang kotor, air tersebut akan ternoda dan ikut kotor.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H