Mohon tunggu...
Freshly Silalahi
Freshly Silalahi Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Pejuang Pemikir-Pemikir Pejuang\r\n\r\nhttp://freshlynewman.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Sistem di Indonesia Memaksa untuk Korupsi, Jangan Bermimpi Korupsi Dapat Diberantas

5 April 2014   18:05 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:02 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_318631" align="aligncenter" width="300" caption="http://freshlynewman.blogspot.com/"][/caption]

Korupsi banyak macamnya. Setidaknya begitu menurut orang-orang. Ada korupsi waktu, korupsi janji, korupsi uang, korupsi tenaga, dan masih banyak lagi. Walau sama-sama tidak akan bisa diberantas di muka bumi khususnya di Indonesia, artikel ini tidak membahas hal-hal tersebut melainkan membahas korupsi dalam pengertian sebenarnya yaitu dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pengertian tindak pidana korupsi terkandung dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi: Setiap orang (termasuk korporasi) yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Unsur utamanya adalah merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Itu artinya penggunaan kata korupsi waktu, korupsi janji, korupsi uang, korupsi tenaga, dan korupsi lainnya adalah tidak tepat jika tidak mengakibatkan kerugian pada keuangan negara atau perekonomian negara. Kata-kata tersebut dapat masuk ke dalam kategori tindakan penipuan.

Kembali ke pokok permasalahannya. Korupsi di Indonesia, dapatkah diberantas? Atau pemberantasan korupsi di Indonesia hanyalah sebatas retorika?

Akhir-akhir ini media sering mengabarkan tentang KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian yang gencar menindak pada pelaku korupsi. Wacana tentang pidana mati bagi koruptor juga semakin menguat. Pertanyaannya adalah: sejauh manakah usaha-usaha tersebut akan berperan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi? Banyak kalangan yang optimis korupsi dapat diberantas dengan adanya sanksi yang tegas bagi para koruptor. Pendapat saya pribadi, pemberian sanksi yang tegas bagi para koruptor tidak akan banyak membantu dalam mengurangi ataupun memberantas korupsi di Indonesia. Untuk menanggulangi sebuah akibat, tidak akan banyak membantu jika dilakukan tindakan terhadap pelaku perbuatan yang menimbulkan akibat tersebut. Akan lebih bermanfaat jika penanggulangannya adalah dengan mencari apa penyebab sebuah perbuatan itu dilakukan. Penyebab dari perbuatan tersebutlah yang harus ditanggulangi seperti dirubah, dihilangkan, ataupun diperbaiki.

Saya berpendapat bahwa penyebab korupsi terjadi karena adanya sistem yang membuka peluang terhadap seseorang untuk melakukannya. Salah satu contoh adalah wewenang banggar (Badan Anggaran) yang terlalu besar dalam menentukan jumlah besaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta sifatnya yang tertutup sehingga memperbesar kesempatan anggota banggar untuk melakukan korupsi. Untuk mengatasinya diperlukan transparansi dalam banggar DPR, yaitu sidang pembahasannya harus dilakukan secara terbuka dan mudah diakses oleh publik sehingga publik dapat mengkritisi dan berpartisipasi dalam pembuatan anggaran. Artikel ini tidak akan panjang lebar membahas hal tersebut melainkan mengerucut pada masalah yang lebih sederhana namun berdampak besar yaitu Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Membayar puluhan hingga ratusan juta untuk menjadi PNS itu sudah menjadi paradigma dan sebuah kesalahan yang berulang-ulang, tahun menahun, hingga menjadi sebuah kebenaran publik. Anda ingin menjadi PNS tapi tidak punya uang, maka bersiaplah ditertawakan semua orang! Memang ada juga yang menjadi PNS tanpa membayar sepeserpun namun itu hanyalah satu dari sejuta pelamar yang berusaha mendapatkan pekerjaan abdi negara tersebut. Sangat lucu mendengar Wakil Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara Reformasi dan Birokrasi, Prof. Dr. Eko Prasojo, S.Ip mengatakan "Siapa yang percaya kepada oknum-oknum yang menjamin akan mampu memasukkan PNS dengan syarat-syarat nominal tertentu itu tandanya Anda telah tertipu." (sumber) Ah, sudahlah... Ingin menjadi PNS, bayar! Anda tidak ingin tertipu seperti yang wakil menteri PANRB katakan itu? Silahkan jangan bayar, dan Anda dijamin tidak akan dapat menjadi seorang PNS. Ini sudah menjadi rahasia umum sehingga jika ada masyarakat yang membaca pernyataan wakil menteri tersebut, saya bisa membayangkan bagaimana raut wajah dan kata-kata apa yang akan terlontar.

[caption id="attachment_318632" align="aligncenter" width="300" caption="http://freshlynewman.blogspot.com/"]

1396670334237166062
1396670334237166062
[/caption]

Seseorang yang ingin menjadi PNS tentu harus mengorbankan sesuatu untuk dapat memiliki nominal uang yang akan dipergunakan sebagai alat untuk menjadikan dirinya PNS. Orangtua berhutang ke bank, menjual ataupun menggadaikan rumah, tanah, maupun ternak. Ingat! Orang yang ingin menjadi PNS bukanlah orang kaya. Jika dia orang kaya, dia tidak akan mau menjadi PNS. Kalimatnya sesederhana itu saja, maka tidak dapat dipungkiri cara-cara tersebut tadi memang hal yang lumrah dilakukan agar seseorang dapat menjadi seorang PNS. Salah satu teman saya pernah berkata, tidak apalah menggadai tanah untuk menjadi PNS. Toh nanti ketika SK PNS keluar, itu saja dibuat menjadi agunan untuk berhutang ke bank dan tanah dapat ditebus. Ironis sekali, namun itulah realita.

Apa yang terjadi setelah seseorang menjadi PNS? Mengabdi kepada negara? Melakukan pekerjaan yang ditugaskan dengan sungguh-sungguh? Tidak lain tidak bukan, jawabannya adalah TIDAK! Dalam fikiran pasti adalah bagaimana cara mengembalikan uang puluhan bahkan ratusan juta yang telah digunakan untuk dapat menjadi seorang pegawai negeri. Dasar itulah yang membuat seseorang menjadi koruptor. Kasus ini tidak berbeda dengan legislatif yang telah menghabiskan banyak dana selama masa kampannye yang telah saya ulas di sini. Uang dipinjam, tentu diperlukan cara untuk mengembalikannya. Itu adalah logika matematika sederhana.

Negara seharusnya memberantas keanehan yang telah menjadi sebuah kebenaran dalam masyarakat ini. Bekerja itu harusnya dibayar, bukan untuk membayar. Pemerintah ingin mengeluarkan statement bahwa tidak pernah ada pungutan untuk menjadi PNS? Sudahlah... Sepertinya memang korupsi di negara ini tidak akan pernah dapat diberantas. Jadi janganlah pernah bermimpi, hai bangsa Indonesia.

Merubah sistem adalah usaha yang paling ampuh dalam pemberantasan korupsi nomor dua, setelah merubah pribadi yang bersih dan jujur sejak dini. Walaupun ada peluang untuk korupsi namun jika manusianya telah memiliki mental jujur dan bersih, tidak akan terjadi apa yang disebut dengan korupsi itu. Namun membina pribadi yang jujur dan bersih sangatlah sulit dilakukan terlebih sifat seseorang dapat saja berubah dipengaruhi oleh waktu dan lingkungan sekitarnya.

my blog

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun