"Mengapa memilih belajar di Swedia?" Ini pertanyaan yang awam dilontarkan orang-orang sekitar saya, baik oleh kerabat dan teman-teman di Indonesia maupun oleh dosen dan rekan-rekan saya di Swedia.
Banyak sekali alasan saya memilih negara ini, di antaranya karena Swedia sangat maju dalam bidang riset sains, karena saya suka udara dingin, dan karena sebelum ini saya belum pernah ke Eropa. Namun, di antara semua alasan itu, ada salah satu yang paling membuat saya mantap memilih melanjutkan studi di Swedia: saya ingin tahu seperti apa hidup keseharian negara pengimpor sampah terbesar di dunia.
Impor sampah? Ya. Di saat negara-negara lain mengimpor minyak dan batu bara untuk energi, Swedia mengimpor sampah—dan tidak tanggung-tanggung, sebanyak 800.000 ton dalam setahun! Sampah itu merupakan ekspor dari negara-negara Eropa lain seperti Norwegia, Inggris, dan Italia. Untuk apa?
Swedia memiliki satu misi yang disebut 'toward zero waste' — 'menuju sampah nol.' Setiap tumpukan sampah di Swedia punya dua pilihan nasib: untuk didaur ulang atau diubah menjadi energi. Dari seluruh sampah di Swedia, sekitar 50% didaur ulang, 49% diolah menjadi energi, dan kurang dari 1% sisa dari pembakaran energi yang kemudian dikuburkan kembali dalam tanah. Energi yang dihasilkan dari sampah ini digunakan untuk pemanas bagi 810.000 rumah di Swedia dan listrik bagi 250.000 rumah. Ternyata, sampah yang dihasilkan dari orang Swedia saja belum cukup untuk memenuhi kebutuhan energi sehingga negara ini perlu mengimpor sampah dari negara lain sebagai bahan energi.
Efisiensi ini akan sulit terwujud tanpa sistem penyortiran sampah Swedia yang dimulai dari dalam rumah masing-masing penduduk. Untuk mempermudah pembuangan sampah bagi masyarakat, pemerintah mewajibkan ketersediaan pusat pembuangan sampah setiap 300 meter di perumahan atau apartemen. Di setiap pusat pembuangan ini, tersedia bermacam-macam tempat sampah berbeda yang harus dibuang sesuai tandanya, yaitu sampah organik, plastik, kaleng, kertas dan karton, koran, kaca bening, kaca berwarna, bohlam, baterai, dan alat-alat elektronik.Â
Sistem ini merupakan sistem yang sudah sangat baik, tapi rupanya Swedia belum puas. Mereka berencana untuk menaikkan persentase daur ulang menjadi 60 persen. Hal ini karena pengolahan barang bekas menjadi barang baru hasil daur ulang lebih hemat energi daripada mengolah barang bekas menjadi energi lalu membuat barang baru dari energi itu. Semakin tinggi angka daur ulang semakin baik bagi lingkungan.
Namun tetap saja, menurut negara ini, akan lebih baik lagi kalau kita mengurangi produksi sampah untuk mengurangi barang-barang yang harus diolah. Pemerintah Swedia telah menghimbau perusahaan untuk membuat barang-barang yang lebih tahan lama, dan juga sedang mempertimbangakan untuk mengurangi pajak untuk reparasi beberapa jenis barang.
Kepedulian Swedia terhadap sampah dan daur ulang tidak hanya datang dari pemerintah, tapi juga dari perusahaan dan masyarakat umum. H&M, misalnya, menerima baju bekas untuk ditukar dengan kupon belanja. Selain itu, di tahun 2014, McDonald's Stockholm menerima pembayaran dalam bentuk sampah kaleng untuk pembelian beberapa burger.
Di masyarakat, selain toko barang bekas, juga bermunculan pelayanan 'klädbibliotek', yang secara harfiah berarti 'perpustakaan baju.' Sistem perpustakaan ini adalah dengan membayar keanggotaan, dan setelah itu anggota dapat melihat-lihat pakaian yang tersedia—mulai dari topi, jaket, sampai celana—dan dapat meminjam selama jangka waktu tertentu. Perpustakaan ini sangat berguna mengurangi sampah baju, terutama bagi orang-orang yang cepat bosan, atau orang-orang yang hanya membutuhkan baju dalam jangka waktu pendek (misalnya, saya bisa meminjam jaket musim dingin tanpa perlu membeli jaket baru, toh tak akan terpakai kalau saya kembali ke Indonesia nanti).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H