Mohon tunggu...
Frizza NA
Frizza NA Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Swedia, Negara Pengimpor Sampah

6 September 2016   06:12 Diperbarui: 4 April 2017   16:49 1219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sampah di kota Helsingfors (sumber: Swedish Institute)

"Mengapa memilih belajar di Swedia?" Ini pertanyaan yang awam dilontarkan orang-orang sekitar saya, baik oleh kerabat dan teman-teman di Indonesia maupun oleh dosen dan rekan-rekan saya di Swedia.

Banyak sekali alasan saya memilih negara ini, di antaranya karena Swedia sangat maju dalam bidang riset sains, karena saya suka udara dingin, dan karena sebelum ini saya belum pernah ke Eropa. Namun, di antara semua alasan itu, ada salah satu yang paling membuat saya mantap memilih melanjutkan studi di Swedia: saya ingin tahu seperti apa hidup keseharian negara pengimpor sampah terbesar di dunia.

Impor sampah? Ya. Di saat negara-negara lain mengimpor minyak dan batu bara untuk energi, Swedia mengimpor sampah—dan tidak tanggung-tanggung, sebanyak 800.000 ton dalam setahun! Sampah itu merupakan ekspor dari negara-negara Eropa lain seperti Norwegia, Inggris, dan Italia. Untuk apa?

Swedia memiliki satu misi yang disebut 'toward zero waste' — 'menuju sampah nol.' Setiap tumpukan sampah di Swedia punya dua pilihan nasib: untuk didaur ulang atau diubah menjadi energi. Dari seluruh sampah di Swedia, sekitar 50% didaur ulang, 49% diolah menjadi energi, dan kurang dari 1% sisa dari pembakaran energi yang kemudian dikuburkan kembali dalam tanah. Energi yang dihasilkan dari sampah ini digunakan untuk pemanas bagi 810.000 rumah di Swedia dan listrik bagi 250.000 rumah. Ternyata, sampah yang dihasilkan dari orang Swedia saja belum cukup untuk memenuhi kebutuhan energi sehingga negara ini perlu mengimpor sampah dari negara lain sebagai bahan energi.

Efisiensi ini akan sulit terwujud tanpa sistem penyortiran sampah Swedia yang dimulai dari dalam rumah masing-masing penduduk. Untuk mempermudah pembuangan sampah bagi masyarakat, pemerintah mewajibkan ketersediaan pusat pembuangan sampah setiap 300 meter di perumahan atau apartemen. Di setiap pusat pembuangan ini, tersedia bermacam-macam tempat sampah berbeda yang harus dibuang sesuai tandanya, yaitu sampah organik, plastik, kaleng, kertas dan karton, koran, kaca bening, kaca berwarna, bohlam, baterai, dan alat-alat elektronik. 

Contoh pusat pembuangan sampah di daerah perumahan (sumber: dokumentasi pribadi)
Contoh pusat pembuangan sampah di daerah perumahan (sumber: dokumentasi pribadi)
Penyortiran ini tentunya mempermudah perusahaan pengelola sampah untuk memisahkan sampah tersebut, misalnya sampah kaleng dan kaca akan langsung diproses untuk daur ulang, sementara plastik kresek dan bekas kemasan dapat langsung diproses untuk pengolahan energi.

Sistem ini merupakan sistem yang sudah sangat baik, tapi rupanya Swedia belum puas. Mereka berencana untuk menaikkan persentase daur ulang menjadi 60 persen. Hal ini karena pengolahan barang bekas menjadi barang baru hasil daur ulang lebih hemat energi daripada mengolah barang bekas menjadi energi lalu membuat barang baru dari energi itu. Semakin tinggi angka daur ulang semakin baik bagi lingkungan.

Namun tetap saja, menurut negara ini, akan lebih baik lagi kalau kita mengurangi produksi sampah untuk mengurangi barang-barang yang harus diolah. Pemerintah Swedia telah menghimbau perusahaan untuk membuat barang-barang yang lebih tahan lama, dan juga sedang mempertimbangakan untuk mengurangi pajak untuk reparasi beberapa jenis barang.

Kepedulian Swedia terhadap sampah dan daur ulang tidak hanya datang dari pemerintah, tapi juga dari perusahaan dan masyarakat umum. H&M, misalnya, menerima baju bekas untuk ditukar dengan kupon belanja. Selain itu, di tahun 2014, McDonald's Stockholm menerima pembayaran dalam bentuk sampah kaleng untuk pembelian beberapa burger.

Di masyarakat, selain toko barang bekas, juga bermunculan pelayanan 'klädbibliotek', yang secara harfiah berarti 'perpustakaan baju.' Sistem perpustakaan ini adalah dengan membayar keanggotaan, dan setelah itu anggota dapat melihat-lihat pakaian yang tersedia—mulai dari topi, jaket, sampai celana—dan dapat meminjam selama jangka waktu tertentu. Perpustakaan ini sangat berguna mengurangi sampah baju, terutama bagi orang-orang yang cepat bosan, atau orang-orang yang hanya membutuhkan baju dalam jangka waktu pendek (misalnya, saya bisa meminjam jaket musim dingin tanpa perlu membeli jaket baru, toh tak akan terpakai kalau saya kembali ke Indonesia nanti).

Perpustakaan baju (sumber: dokumentasi pribadi)
Perpustakaan baju (sumber: dokumentasi pribadi)
Banyak sekali hal yang saya pelajari di negara ini, terutama tentang sampah dan hidup dengan yang berkelanjutan (sustainable). Saya sungguh berterima kasih kepada Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan yang memungkinkan saya untuk belajar mengenai lingkungan di Swedia melalui program Beasiswa Unggulan. Dengan melihat sistem ini dengan mata kepala sendiri, saya semakin ingin untuk mewujudkan penerapan sistem semacam ini di Indonesia. Mungkin akan membutuhkan waktu yang lama, namun tidak ada hal yang mustahil. Selain itu, sudah mulai banyak individu dan kelompok di Indonesia yang fokus pada masalah penanggulangan sampah. Namun, alangkah baiknya jika kita memulai langkah pertama dari diri kita sendiri, dengan selalu membuang sampah pada tempatnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun