Mohon tunggu...
foy ario
foy ario Mohon Tunggu... Guru - Guru di SMAN 44 Jakarta

saya adalah seorang guru bidang studi Bahasa Indonesia SMA, hobby saya berliterasi khususnya membaca dan mengembangkan budaya membaca, saya juga seorang yang autodidak mempelajari dan mengembangkan majalah sekolah hingga saya dipercaya menjadi pembina, konsultan, dan telah menghasilkan sebuah buku terbitan penerbit mayor yang berjudul ""Membuat Majalah Sekolah. Ah Gampang" terbutan Esis Erlangga, hingga hari ini renjana saya di literasi telah membawa saya pada hal terbaik pada hidup saya yakni terus menebar kebaikan dan berbagi dalam bidang saya yakni literasi, salam literasi...

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Refleksi Kritis tantang Hari Guru, antara Janji manis, Ironi, dan Realitas

25 November 2024   06:44 Diperbarui: 25 November 2024   08:13 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Refleksi Kritis tentang Hari Guru: Antara Janji Manis, Ironi, dan Realitas

Hari Guru seharusnya menjadi momen penghormatan terhadap profesi mulia yang membentuk generasi penerus bangsa. Namun, sering kali perayaan ini terjebak dalam simbolisme dangkal yang jauh dari esensi penghargaan sejati. Janji-janji manis yang dilontarkan pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan guru seringkali hanya berhenti pada wacana. Misalnya, isu kenaikan gaji Rp2 juta yang dihembuskan bertahun-tahun lalu masih belum terwujud. Guru terus berharap, meski tahu harapan itu sering kali berujung pada kekecewaan.

Ironi muncul ketika guru sendiri, tanpa sadar, turut menjadi bagian dari eksploitasi simbolis ini. Dalam berbagai perayaan, tak jarang guru diperlakukan seperti objek hiburan: dipakaikan kostum lucu, dipamerkan dalam acara yang lebih mengundang tawa daripada rasa hormat. Guru tersenyum, bahkan tertawa, mungkin sebagai bentuk penerimaan. Namun, di balik itu, apakah tersimpan luka batin karena profesi mereka tak dilihat dengan kebanggaan yang seharusnya? Apakah mereka benar-benar bangga, atau justru menjadi bahan candaan?

Di sisi lain, ada masalah internal yang juga perlu dikritisi. Tidak dapat disangkal, masih ada guru-guru yang culas, yang hanya menjalankan tugas seadanya, tanpa dedikasi untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Mereka mengakali sistem, bekerja sekadarnya, dan tidak peduli untuk mengikuti perkembangan zaman. Padahal, di kelas, murid-murid membutuhkan guru yang menjadi fasilitator pembelajaran aktif dan relevan. Ketika guru gagal beradaptasi, korban utamanya adalah siswa---generasi yang seharusnya kita siapkan untuk masa depan.

Namun, tidak adil juga jika semua guru digeneralisasi. Masih banyak guru yang mengabdikan diri sepenuh hati, meski dihimpit oleh keterbatasan. Mereka mengajar dengan segala cinta, menginspirasi murid-muridnya, meski kesejahteraan mereka sering diabaikan. Di tengah ketidakpastian ekonomi dan minimnya penghargaan, mereka terus berjalan, menjadi pelita dalam gelap.

Kebijakan yang berkaitan dengan guru perlu didesain ulang dengan fokus pada esensi profesi ini: mengajar dan mendidik. Janji kesejahteraan harus diwujudkan, bukan sekadar menjadi alat politik. Selain itu, perayaan Hari Guru perlu didorong ke arah yang lebih bermakna, menjunjung tinggi martabat dan peran guru sebagai arsitek masa depan, bukan sekadar pengisi acara seremonial.

Akhirnya, Hari Guru seharusnya menjadi pengingat akan tanggung jawab kita semua---pemerintah, masyarakat, dan guru itu sendiri---untuk memperbaiki ekosistem pendidikan, demi masa depan yang lebih baik bagi generasi mendatang. Guru bukanlah simbol untuk dipermainkan, tetapi jiwa bangsa yang harus dihormati dengan tindakan nyata, bukan sekadar janji manis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun