Mohon tunggu...
Akhmad Fourzan Arif Hadi P
Akhmad Fourzan Arif Hadi P Mohon Tunggu... Lainnya - Profesi saya sebagai Tenaga Ahli Pemberdayaan Masyarakat (TAPM) Kabupaten pada Kemendesa PDT

Saya adalah seorang pria disabilitas daksa yang memiliki kegemaran berkelana, berdiskusi, dan tentu saja ngopi di berbagai kedai formal (seminar, workshop, dan ruang-ruang diskusi lainnya) serta kedai non formal. Urusan menulis artikel tidak begitu mahir. Nama panggilan saya adalah ITONG.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Senja dan Legenda Malam: Kisah Perjalanan TV Desa Jember di Bumi Puger #KompasianaDESA

3 Februari 2025   10:39 Diperbarui: 3 Februari 2025   15:38 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tim TV Desa Jember menikmati jajanan tradisional Ibu Umaroh (Sumber: YouTube TV Desaj Jember)

Tepat pukul 16.20 WIB, kami mulai beraksi di depan kamera. Saya membuka liputan dengan kalimat, "Teman-teman semuanya. Kita saat ini berada di kecamatan mana?" Man Supri, Bro Toni, dan Bro Dodot serempak menjawab, "Puger!" Saya melanjutkan, "Kali ini kita akan mengunjungi beberapa tempat yang sangat wow sekali. Apa saja, Man?" Man Supri menjawab dengan antusias, "Ada pantai, ada sungai, ada TPI, ada cafe." Bro Toni menambahkan, "Ada Pantai Cemara." Bro Dodot, sang putra asli Puger, pun kami perkenalkan. Sebelum mengakhiri pembukaan, saya mengajak penonton untuk mengikuti perjalanan kami sampai tuntas.

Senja di Sungai Besini: Nelayan dan Perahu yang Diam

Saat pukul 16.40 WIB, mobil Kijang KF-80 yang kami tumpangi meluncur pelan menuju Jalan Pantai Pancer yang bersebelahan dengan sungai Besini. Langit sore itu mulai berubah warna, seolah memberi isyarat bahwa senja akan segera tiba. Sungai Besini yang menjadi tujuan pertama kami, menanti dengan segala misterinya. Namun, yang kami temukan hanyalah sungai yang sepi, seolah sedang tertidur pulas.

Warung di bibir sungai tertutup rapat, seolah enggan dibangunkan dari tidurnya. Ribuan perahu berwarna-warni hanya diam bersandar di tepi sungai, seperti sedang beristirahat setelah seharian berlayar. Drone kami terbang tinggi, mengabadikan pemandangan dari atas. Gunung Watangan, Samudra Hindia, dan deretan rumah penduduk terlihat jelas. Namun, kegundahan menyelimuti kami. Di mana para nelayan? Mengapa mereka tak melaut hari ini?

Sungai Besini seolah berbisik, "Aku sedang beristirahat, teman-teman. Hari ini, aku tak ingin diganggu." Kami pun duduk di tepi sungai, menikmati keheningan yang menyelimuti. Beberapa orang terlihat sedang menguras air yang menggenang di perahu. Mereka bekerja dengan tenang, seolah tak ingin mengganggu ketenangan sungai.

Drone kami terbang tinggi, mengabadikan pemandangan dari atas. Dari ketinggian, sungai Besini yang beriringan dengan jalan pantai Pancer terlihat seperti motif batik tulis yang indah. Perahu-perahu dengan cat warna-warni bersandar rapi di tepi sungai, sementara deretan rumah penduduk yang tidak beraturan terlihat jelas. Sawah-sawah yang menghijau menjadi latar belakang yang sempurna. Gunung Watangan yang bertengger di bibir pantai terpotret jelas dalam balutan mendung yang menggelayut dari langit. Menjulangnya mercusuar berlatar birunya Samudra Hindia pun terekam sangat jelas melalui drone.

Meski belum puas melihat Puger dari angkasa, akhirnya drone pun landas di tangan Bro Pandu. Kami pun akhirnya berbincang-bincang di pinggir sungai Besini untuk menjawab teka-teki bersandarnya perahu dengan rapi di sore itu. Sambil melihat beberapa orang sedang menguras air yang menggenang di perahu, Bro Pandu akhirnya membidikkan kamera action-nya pada jalan setapak menuju ke tempat tambatan perahu yang terbuat dari bambu.

Tepat jam 17:15 WIB, akhirnya kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan menuju lokasi berikutnya dengan membawa kegundahan karena tidak melihat nelayan yang berangkat melaut. Jalan pantai Pancer yang bersebelahan dengan sungai Besini kami tinggalkan. Sungai Besini seolah berbisik, "Sampai jumpa lagi, teman-teman. Mungkin lain kali kalian akan melihatku dalam kesibukan yang berbeda."

Ngopi di Cafe Dira Puger: "Rasa di Aceh"

Kendaraan yang kami tumpangi melambat saat mendekati Cafe Dira Puger pada pukul 17.25 WIB. Cafe ini terletak bergandengan dengan pabrik semen yang mengeksplorasi Gunung Kapur. Dari kejauhan, bangunan cafe yang minimalis terlihat seperti oasis di tengah kesibukan industri. Tanaman kaktus yang tertata rapi di depan cafe menyambut kami dengan diam-diam, seolah berkata, "Selamat datang, nikmati senja di sini."

Tampak tempat parkir di depan cafe dipenuhi sepeda motor, sementara hanya satu mobil yang terparkir dengan manis. Kami memilih mengistirahatkan kendaraan di pinggir kiri, dekat trotoar. Suasana sore itu terasa hangat, dipenuhi oleh muda-mudi yang datang untuk menikmati waktu santai. Beberapa pasangan suami istri beserta anak-anak mereka duduk di meja-meja luar, menikmati camilan dan minuman sembari menikmati pemandangan Gunung Kapur yang megah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun