Mohon tunggu...
Fourteentroops
Fourteentroops Mohon Tunggu... Wiraswasta - Belajar Menulis

Berasal dari keluarga besar yg sedang belajar menulis untuk sekedar berbagi informasi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hidup Itu Penuh Perjuangan (Bag. 2)

6 Februari 2014   12:33 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:06 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada tahun 60-an sampai 80-an adalah masa kejayaan bagi kedua orang tua kami. Pada tahun tersebut Ayah memiliki 4 toko furniture dan memiliki 2 rumah yang berukuran luas. Dimana rumah pertama diberikan untuk salah satu adiknya, sedangkan rumah kedua untuk tempat tinggal beliau dengan 14 orang anaknya. Namun malang tidak dapat ditolak pada akhir tahun 80-an usaha Ayah kami mulai mengalami penurunan yang disebabkan oleh beberapa faktor salah satunya ditipu oleh saudara sendiri. Berdasarkan pengalaman beliau itulah mereka berpesan kepada anak-anaknya untuk jangan menipu saudara sendiri dan bahwa harta hasil korupsi atau tipuan tersebut tidak akan membawa kebahagian dan akan cepat habis. Ini memang terbukti pada akhir hidupnya saudara orang tua kami itu hidup dalam kesusahan. Namun hebatnya orang tua kami tidak pernah dendam kepada mereka malahan sebelum ajal menjemput para saudara orang tua kami tersebut minta maaf kepada kami anak-anaknya.

Pada masa kejayaan orang tua kami tersebut, memiliki anak 14 orang dan membantu merawat 9 adik-adiknya bukan masalah. Ini menjadi masalah ketika perekonomian keluarga lagi turun atau roda kehidupan lagi dibawah. Dengan anak-anak yang beranjak dewasa membutuhkan biaya sekolah yang tidak sedikit. Untungnya ibu kami memiliki jiwa investasi yang bagus, beliau tidak membeli asset dalam bentuk tanah namun berinvestasi dalam bentuk emas. Alasannya sederhana emas gampang untuk dijual. Jadi dari emas itulah beliau berusaha untuk membiayai anak pertamanya untuk merantau untuk kuliah di perguruan tinggi negeri ternama di Jawa barat. Dan beliau berpesan kepada anak pertamanya jika sudah lulus kuliah untuk membantu pendidikan adik-adiknya. Intinya bagi yang sudah lulus kuliah dan bekerja akan membantu pendidikan adik-adik.

Pada awal tahun 90-an hidup kami benar-benar berada di bawah ketika ayah kami bangkrut dan menjual keempat tokonya. Semua barang dagangannya dibawa pulang, jadi orang tua kami hanya berdagang furniture di rumah yang juga punya workshop dibelakang rumah. Namun berdagang di rumah tidak selaris berjualan di took di pasar. Untuk membantu keuangan keluarga Ibu kami mulai berjualan di rumah dengan menjual Lontong sayur dan Gado-gado. Ketika lontong sayur inilah Ibu kami dicemooh oleh tetangga dengan berkata “Aduh orang kaya sudah berjualan lontong sekarang. Makanya jangan sekolahkan anak sampai tinggi”. Ibu kami hanya diam saja. Malah kami anak-anaknya yang kesal dan bertanya kenapa Ibu tidak melawan mereka. Beliau hanya berpesan bahwa kehidupan itu adalah roda yang berputar ada saatnya kita dibawah dan ada saatnya kita diatas. Dan menjadi tugas kami untuk belajar dengan tekun agar tidak hidup susah dikemudian hari. Dan beliau juga berkata bahwa hidup masa kecilnya lebih susah dari ini.

Ibu kami merupakan anak kedua dari 7 bersaudara yang merupakan korban poligami. Nenek kami merupakan istri keempat dari kakek. Kakek kami merupakan tukang batu yang pada zaman itu hampir sama dengan ahli teknik sipil, beliau biasa membangun rumah untuk orang-orang Belanda walaupun beliau tidak memiliki pendidikan formal. Rumah besar kami pun dibangun oleh kakek. Pada saat terjadi gempa dasyat rumah kami tidak roboh, malahan rumah tetangga yang baru dibangun roboh. Karena istri keempat, biaya hidup untuk nenek dan anak-anaknya dikirim tidak rutin tiap bulan. Untuk makan nasi/beras berasal dari sawah keluarga nenek. Ketika tidak ada uang untuk beli lauk, Ibu kami biasa mencari kayu bakar ke hutan untuk dijual atau memancing ikan di sungai untuk dimakan keluarganya.

Karena tidak ada biaya tersebut, maka Ibu kami hanya lulus SMP. Padahal Ibu kami adalah murid terpandai dikelasnya sering juara kelas dan bercita-cita menjadi Bidan. Dan kepandaian inilah yang diwariskan ibu Kami kepada anak-anaknya. Ketika anak-anaknya lulus kuliah beliau bahagia sekali dan selalu mengkoleksi foto wisuda dan skripsi anak-anaknya.

Karena anak korban poligami, maka Ibu meminta ayah untuk tidak berpoligami. Karena sebagai manusia tidak akan pernah berlaku adil. Hingga akhir hayatnya ayah hanya memiliki 1 istri dengan 14 orang anak. Pernah orang bertanya kepada Kami “Berapa orang kalian bersaudara?”, Kami jawab 14 orang. Mereka bertanya lagi “Dari berapa istri?”, Kami hanya jawab “Kami saudara sekandung 1 ayah 1 ibu”. Selama kami sekolah selalu hal tersebut yang ditanyakan oleh Guru atau teman ketika mengisi biodata sekolah.

Adapun Hikmah yang bisa diambil dari kisah Ibu kami adalah sebagai istri harus bisa mengatur keuangan keluarga dan para suami jangan berpoligami. Karena dengan berpoligami yang menjadi korban adalah anak-anak.

Bersambung…..(Kisah pertemuan Ayah dan Ibu Kami)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun