Mohon tunggu...
ahmad luthfi
ahmad luthfi Mohon Tunggu... -

sejarawan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Aku, dan Kenangan Tionghoa di Desa

5 Februari 2011   15:11 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:52 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Setiap menyebut Tionghoa, aku selalu teringat kampung halaman dan ayahku.

Ayahku pernah bercerita, sewaktu ia menjadi kepala sekolah sebuah Madrasah Ibtidaiyah di Sirneo-Bunta  tahun 1970-an, ada anak didiknya perempuan yang merupakan anak dari satu-satunya keluarga Tionghoa yang tersisa di kecamatan Sirneo. Tidak ada pilihan bagi orang tua bocah itu untuk menyekolahkan anaknya kecuali ke MI, sebab tidak ada sekolah jenis lain.

Beberapa hari bocah itu tidak masuk sekolah. Usut punya usut, ternyata dia dan keluarganya pindah ke tempat lain. Mereka tidak tahan lagi tinggal di Sirneo. Keluarganya yang berdagang kelontong sering merasa diteror warga sekitar dengan misalnya diketuk pintu tokonya tengah malam hanya untuk membeli sebungkus permen. Barangkali, karena PP 10/1959 itulah keluarga Tionghoa tidak lagi bisa ditemukan di Sirneo dan hanya menyisakan satu keluarga di pertengahan 1970-an. Sebab itu juga, konon, Sirneo diartikan dengan “cino keri”, artinya Cina yang tersisa.

Ayahku mengingat, gadis kecil itu mengikuti semua pelajaran, termasukAkhlaqul Banaat, pendidikan budi pekerti khusus anak perempuan. Ia termasuk anak yang pintar matematika, pelajaran yang diajarkan oleh ayahku.

Sirneo, tempat dimana sekolah MI dan MTs-ku berada, ibuku dilahirkan dan semua keluarga kakek-nenekku ada di sana, dikenal dengan daerah santri. Di kota kecamatan, dari perempatan pusat kotanya seberang menyeberang, bisa ditemukan sekitar 10 pesantren. Para santriwan-santriwati banyak datang dari kabupaten sekitar: Mbanger, Negoromisua, Gwani, Bunta sendiri, dan sedikit dari beberapa daerah di Jawa Barat.  Hingga sekarang, tidak ada satupun keluarga Tionghoa ditemukan di sini, bahkan konon tidak pula mereka yang beragama selain Islam.

Sunyinya Sirneo dari keluarga Tionghoa barangkali yang menyebabkan ekonomi-desa Sirneo tidak sebaik kecamatan-kecamatan sekitar, Linangab misalnya. Di Sirneo hingga sekarang masih berlaku sistem pasaran, pon-kliwon. Pada hari pasaran inilah penduduk dari desa Wonosari di pinggiran hutan, dan Plunten di ujung kecamatan sebelah timur, berjejalan di atas truk atau mobil bak terbuka menuju pasar kecamatan. Tak terkecuali santri-santri bersarung-peci dalam kelompok 3-4 orang dengan penuh gembira berbelanja sayur kangkung, krai sejenis mentimun,terong, bawang merah, bawang putih, garam, vitsin, dan tentu saja, trasi! Ikan asin dan tempe adalah menu istimewa.  Inilah daftar belanja utama kaum santri yang  dimasak menjadi menu hampir setiap hari mereka, termasuk diriku. Seminggu sekali, terkadang mendapat suplai gizi dari daging kambing yang dipotong sebagai medium pengobatan seorang kiai/tabib yang cukup mumpuni dan tersohor.  Tentu juga suplai makanan dari orang-tua yang rumahnya dekat dengan pesantren atau dari hajatan warga sekitar, jika mendapat jatah.

Linangab, kecamatan dimana ayahku dilahirkan dan menjadi kampung halamanku, hanya berjarak 6 kilometer dari Sirneo. Di sini, keluarga Tionghoa banyak ditemukan, berderet-deret rumah-toko hadap-menghadap di pinggir jalan utama kecamatan. Bahkan di Kauman, dimana keluragaku tinggal, juga terdapat dua keluarga Tionghoa.  Menurut cerita ayahku, kakekku yang banyak berkawan dengan orang Tionghoa itu pernah ditahan di kepolisian karena menempeleng seseorang yang turut pawai dalam rame-rame anti-Cina di Linangab. Saat itu kakekku mungkin masih sebagai pegawai tulis di kecamatan. Entah karena menempeleng itu ataukah diamankan dari amukan balasan kakekku ditahan. Ia bersama 3 saudara laki-lakinya yang sama-sama tinggal di satu kampung, memang dikenal memiliki ilmu beladiri dan berkarakter “keras”. Untunglah, di dalam keluarga nenekku demikian sabar dan lembutnya bisa mengerem kerasnya sikap kakekku.

Linangab tidak bisa disebut bukan daerah santri. Dulu ia menjadi basis SI yang kuat. Ini kutahu setelah membaca Sarekat Islam Lokal, terbitan Arsip Nasional yang dieditori Pak Sartono Kartodirdjo itu. Pernah ada suatu begandring alias vergadering SI di Linangab. Linangab dicatat pula Greg Fealy dalam buku Sejarah NU-nya, akan adanya kekerasan kemanusiaan oleh kalangan Nahdliyin. Ini menjadi cerita yang lekat di lingkungan keluarga, dan ayahku yang di tahun 1965-an berusia sekitar 14 tahun, mengingat jelas apa yang pernah ia saksikan dan dengar di tahun-tahun itu. Sampai juga cerita-cerita itu ke telingaku. (Aku baru tahu pula, yang bersikukuh mendesakkan PP 10/1959 adalah seorang tokoh NU bernama Rachmat Moeljomiseno yang saat itu menjabat sebagai menteri perdagangan. Merasa difetakampli, Soekarno terpaksa menandatanganinya sepulang dari luar negeri. Ia marah pada Moeljomiseno dan tidak menggunakannya lagi untuk periode kabinet berikutnya).

Syukurlah, Gus Dur memberi teladan kita bagaimana hidup dalam keanekragaman untuk saling menghormati, dalam konteks kenegaraan dan kemanusiaan. Saat menjabat sebagai presiden, ia mencabut Inpres No 14/ tahun 1967 yang diskriminatif terhadap kelompok Tionghoa. Yang belum berhasil adalah usulan dia mencabut TAP MPRS XXV/1966. Usulan ini tidak dikabulkan bahkan mendapat tentangan keras banyak kalangan.

Salah satu dari dua kemarahan ayahku berkenaan dengan Tionghoa. Pernah suatu kali aku menggoreskan kuas berlumur enjet (kapur) ke dinding kayu belakang rumah. Goresan itu berbunyi “ALAS”. Ini singkatan dari Anak Linangab Asli, satu istilah yang baru saja kukenal setelah melihat pertandingan sepak bola antar-kecamatan.  Tatkala ayahku pulang dari sekolah melewati belakang rumah, membuka pintu ia langsung menghardikku.  Segera menyuruhku melabur semua dinding hingga menyamarkan tulisan itu. “Tak tahu kamu apa arti ALAS itu?!”, hardik ayah. “Itu kata-kata dulu yang membuat rusuh. Orang-orang pada  memusuhi Cina”. Inilah kemarahan pertama ayah sepanjang kuingat dalam hidupku. (Kemarahan kedua saat aku sudah likuran tahun. Kami, anak-anaknya yang mahasiswa bahkan sarjana ini, malas pergi ke balai desa mengikuti pilihan lurah. Sikap ini dinilainya tidak memberi contoh baik kepada orang lain! Mungkin, menyadari suasana desa yang agak panas saat itu, tidak memilih artinya adalah memilih. Dan ini beresiko bagi kami di lingkaran desa yang kecil itu).

Ayahku seorang pegawai negeri sipil, mungkin karena inilah ia bersikap sangat hati-hati. Yang jelas,  ia selalu mengajarkan untuk menjaga harmoni dan berupaya tidak menyakiti perasaan orang lain. Sebagai PNS, demikian pula ibuku, menghutang baginya bukanlah aneh.  Kepada siapa lagi berhutang belanjaan kalau bukan ke Cik Pyan, pemilik toko di selatan persis masjid besar Linangab? Membawa catatan di atas sesobek kertas bungkus obat nyamuk, aku menyodorkan ke Cik Pyan yang selalu menyambutku dengan senyum dan sebutan “Gus”.  Setelah memasukkan barang-barang yang dipesan beserta sesobek catatanku yang telah ditambahinya dengan angka-angka, ia menyodorkannya kembali dengan senyum. Ia mengambil  buku tasbuknya yang kumal, lalu mencatat angka-angka kembali. Di awal bulan, ibuku akan datang berkunjung dan membayar paket-paket barang yang kuambilkannya dulu. Setahuku, Cik Pyan tidak membedakan harga bayar kontan dan harga “catetan”. Ia bahkan sering menghadiahi kami beberapa bungkus kue nastar atau wafer tatkala kami berbelanja menjelang lebaran.

Ke toko Cik Pyan pula nenekku membelanjakan sedikit uang yang baru saja diambilnya dari kantor pos sebagai uang pensiunan alm. suaminya. Ia menghadiahiku Chiki, dan ia menyenangkan dirinya dengan membeli kapur barus.  Kebiasaan yang bertahan hingga adikku menggantikan posisiku sebagai cucu kecilnya.

Toko Cik Pyan, dan umumnya toko-toko kelontong  sepanjang jalan utama kecamatan Linangab, tidak lagi melayani pembeli sesudah jam 5 sore, setelah peristiwa di tahun 1997 itu. Massa kampanye pemilu dari arah selatan yang entah sebab apa tiba-tiba beringas dan memecah lampu-lampu toko warga Tionghoa, melempar batu ke rumah-rumah mereka,  bahkan ada yang menyulutkan api.  Beberapa orang mengayun-ayunkan kayu menghantam lampu gantung tanda fotokopi. Ketakutan aku menyaksikan dari sebelah gang rumahku. Semakin gemetar karena melihat teman sesekolahku berada di barisan itu. Ia turut melempar batu dan tertawa tatkala bersitatap wajah denganku. Lewat persis depan gang Kauman,  massa kampanye ini meneriaki penggenjot sepeda yang lelah pulang dari kerjanya di sawah. Ia dipaksa melepas kaos warna kuningnya yang telah kotor lumpur. Penggenjot sepeda melepasnya dengan ketakutan. Beberapa waktu masih belum sadar dengan apa yang terjadi, ia jongkok di samping sepedanya yang roboh. Lalu segera menggenjotnya kembali bertelanjang dada.  Aku pulang membawa perasaan tak karuan.

Butuh waktu lama toko Cik Pyan buka kembali. Lampu rusak dan genteng pecah bisa segera diperbaiki, namun hati sakit, dilecehkan dan ketakutan entah bagaimana cara mengobati.

Perlu waktu lama pula aku mengetahui bahwa Anton, anak pasangan Cik Pyan – koh Han ini sudah meninggal karena kanker darah putih yang gagal diobati di Singapura. Dengan antusias ia bercerita kepadaku tentang anak sulungnya itu. Sementara Cik Pyan bercerita, aku malah kikuk dengan antusiasmenya itu, sembari sesekali melirik anak bungsunya yang beranjak gadis.

Sejak tinggal di Gajog tahun 1997, baru setahun setengah kemudian aku mengenal  kawan Tionghoa. Maklum interaksiku sebatas kawan sekolah MAN dan hidup di lingkungan asrama pula. Aku mengenalnya sebagai lawan lomba debat antar SMU . Ia begitu pandai, berwawasan luas, dan kritis terhadap tema debat yang diajukan: Pancasila. Aku segera teringat sosok Soe Hok Gie yang catatan hariannya sudah kubaca ketika itu. Kekritisan itu menjadikan ia kalah dalam pandangan etika para juri.  Meski tidak menggondol juara peringkat buntutpun, begitu pula ia, aku puas berdebat dengannya.  Ia adalah murid SMA de britto, sekolah yang karena dia aku pingin pindah dari sekolahku yang saat itu kurasakan banyak masalah. Empat atau lima tahun kemudian, aku bertemu dia kembali di suatu seminar Indonesia-Tionghoa. Ia cukup menyita perhatian dengan pertanyaan-pertanyaan yang justru mengkritisi adanya elitisme Tionghoa.

Setiap menyebut Tionghoa, aku selalu teringat kampung halamanku, seorang pemuda yang berteriak muntab, “aku dudu Cino, aku wong Linangab, wong Indonesia. Aku gakngerti negoro Cino koyo opo”. Setiap menyebut Tionghoa, kini, yang tergambar dalam benakku adalah sosok-sosok orang  muda cerdas.

Kakek dan ayahku sepertinya tidak keliru.

Gong Xi Fat Chai

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun