Mohon tunggu...
Fauzan Ramadhan
Fauzan Ramadhan Mohon Tunggu... -

semakin ditekan semakin berontak. semakin bebas, semakin kreatif.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sejarah Ahmadiyah di Cisalada

28 Februari 2015   14:58 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:22 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Cisalada adalah sebuah kampung yang terletak di Kabupaten Bogor tepatnya di Desa Ciampea Udik, Kecamatan Ciampea. Bagi orang-orang atau kelompok aktivis yang menggeluti isu kebebasan beragama nama Cisalada mungkin sudah tak asing lagi. Apalagi sejak tragedi penyerangan terhadap kampung ini yang dipicu konflik agama berbau kecemburuan sosial pada oktober 2010. Kampung ini pernah dibumihanguskan oleh kelompok-kelompok masyarakat sekitar lantaran memiliki ajaran berbeda dari Islam pada umumnya. Terlepas dari benar atau tidak keyakinan seseorang/kelompok itu kembali pada subjektifitas masing-masing. Yang jelas, jika kita ingin mengetahui kebenaran, maka jangan menerima itu serta-merta dari kalimat berlandaskan “katanya”, tapi datanglah untuk mengetahuinya dan menilai dengan perspektif sendiri sesungguhnya adalah sesuatu yang lebih arif dan bijak.

Pada kesempatan ini saya tidak akan membahas tentang dalil-dalil, ayat-ayat, atau hadist-hadist apa pun itu untuk diperdebatkan, melainkan hanya ingin berbagi pengetahuan bagaimana asal-muasal ajaran Ahmadiyah masuk ke kampung yang berjarak belasan kilometer dari Gunung Salak ini. Tulisan ini merupakan catatan yang saya dapatkan dari seorang ibu bernama Masyitoh, seorang ahmadi di Cisalada. Beliau merupakan generasi ketiga sejak masuknya Ahmadiyah ke kampung itu. Adapun yang membuat saya tertarik untuk menuliskan ulang sejarah masuknya ajaran Ahmadiyah di Cisalada adalah karena saya menemukan suatu nubuatan yang sepertinya saling terkait, bagaimana pengalaman spiritual seorang tokoh di kampung tersebut dengan kedatangan utusan dari Ahmadiyah.

Dalam catatannya, Ibu Masyitoh bercerita awalnya warga Cisalada menganut Islam Tarekat yang diajarkan oleh seorang guru asal Banten bernama Kyai H. Abdurrahman. Beliau memiliki seorang istri asal Cisalada akrab dipanggil Mama, yang juga merupakan seorang Guru Besar, Jawara Pencak Silat, dan sangat disegani oleh orang-orang kampung sekitar. Beliau juga memegang wilayah di sekitar Cisalada seperti Bogor, Leuwi Sadeng, Cidamar, Cimayang, dan Ciaruteun.

Sebelum meninggal Kyai H. Abdurrahman berpesan kepada murid-muridnya: “Bila kalian nanti mendengar di akhir zaman Imam Mahdi sudah datang, tidak peduli dari bangsa Cina, Belanda, Mumbai-India atau apapun, asalkan mengajak manusia kepada Tuhan, membawa ajaran Quran dan Hadist, kalian harus diterima dan jangan ditolak.” Beliau juga pernah berbicara kepada salah seorang murid lain di Cisalada bernama Sasihan, “Nanti, diakhir zaman akan datang Ratu Adil yang mendakwakan sebagai Imam Mahdi.”

Setelah beliau meninggal, datang berita dari seorang bernama Haji Damiri dan Muti dari Leuwi Sadeng, Tamimi, Mansur, Ma’im, dan Zakaria dari Bogor, membawa berita ke Cisalada bahwa yang diamanatkan Kyai H. Abdurrahman melaui istrinya itu sudah tiba. Tanpa ragu kemudian bapak-bapak dari Cisalada segera berangkat ke Bogor dengan berjalan kaki (karena memang pada saat itu transportasi belum). Mereka kemudian menemui Bapak R. Hidayat sebagai Pengurus Besar.

Di waktu yang sama, orang-orang Cisalada yang kebanyakan merantau ke Jakarta untuk mencari nafkah, ketika salah seorang dari mereka sedang mengikuti ibadah Shalat Jumat di sebuah Masjid di Petojo, ia mendengar pada waktu itu khotbah yang menyebutkan bahwa Imam Mahdi telah datang. Maka demi mendengar hal tersebut kemudian disampaikanlah kepada teman-teman sekampungnya yang juga merantau di Jakarta. mereka kemudia segera pulang ke Cisalada untuk menyampaikan khabar tersebut. Setelah menceritakan khabar suka itu maka warga Cisalada semakin yakin bahwa Imam Mahdi sudah datang.

Singkat cerita, para sesepuh kampung kemudian mengadakan musyawarah untuk bisa mendatangkan seseorang yang membawa khabar suka itu. Orang tersebut bernama Tuan Rahmat Ali H.O.T. berkebangsaan India. Bak gayung bersambut, rencana untuk mendatangkan pembawa khabar suka itu pun mendapat respon baik. Alhasil, tersepakati bahwa ketika Tuan Rahmat Ali berkunjung ke Bogor, beliau pun akan mengunjungi Cisalada.

Saat berkunjung ke Cisalada ada pengalaman unik dialami Tuan Rahmat Ali. Beliau terjatuh di jalan setapak – biasa disebut galengan dalam Bahasa Sunda. Beliau lalu mengajak semua yang menjemput untuk berdoa di tempat tersebut, bahwa suatu nanti jalan ini akan menjadi besar sehingga mobil-mobil pun bisa melaluinya, akan banyak kemajuan di kampung ini, rumah-rumah pun kondisinya akan lebih baik. Selanjutnya, setiap Tuan Rahmat Ali datang ke Cisalada diantar oleh beberapa orang dari Bogor kemudian disambut oleh warga Cisalada dengan iringan sya’ir berjudul Khabar Suka dan ditanggapi senyum hangat beliau.

Seiring berjalannya waktu, maka pada tahun 1934 seluruh warga Cisalada menyatakan Bai’at. Maka sejak saat itu era kejawaraan pun mengalami transisi karena sesuai ikrar bai’at yang memakai landasan Percaya kepada Allah adalah hal yang utama. Kemudian beberapa daerah lainnya seperti Leuwi Sadeng, Cidamar, Cimayang, dan Ciaruteun pun turut mengikuti jejak kampung Cisalada dengan bai’at masuk Jemaat Ahmadiyah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun