BRT | JOMBANG - Pesta demokrasi tahun 2024 kini sudah di depan mata. Hiruk-pikuk masyarakat menyambut Pemilu semakin terasa di berbagai sudut negeri. Namun, ada satu pertanyaan penting yang harus kita renungkan bersama: sejauh mana kesadaran masyarakat dalam memilih pemimpin benar-benar berdasarkan pertimbangan matang, bukan sekadar memilih buta atau terjebak dalam demokrasi pengkultusan? Banyak di antara kita yang dimungkinkan masih memilih tanpa mempertimbangkan rekam jejak pasangan calon (Paslon), seolah bermain "kocokan dadu."
Padahal, seorang pemimpin adalah laksana naungan Tuhan di muka bumi. Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Baihaqi, bahwa memilih seorang pemimpin tidak boleh dilakukan dengan sembarang. Al-Ghazali, seorang ulama besar, dalam karyanya yang berjudul *at-Tibrul-Masbuk fi Nasihatil-Muluk*, memberikan nasihat penting mengenai kriteria pemimpin yang ideal. Nasihat-nasihat ini menjadi relevan bagi kita dalam menentukan siapa yang layak memimpin negeri ini ke depan.
Tak sewenang-wenang
Salah satu kriteria utama yang diajarkan oleh Al-Ghazali dalam memilih pemimpin ideal adalah pemimpin yang tidak sewenang-wenang dan mampu mencegah ketidakadilan. Pemimpin yang baik tidak akan membiarkan kezaliman terjadi, baik yang dilakukan oleh dirinya sendiri maupun oleh bawahannya.
Kisah tentang Sayyidina Umar bin Khattab menjadi contoh nyata bagaimana pemimpin harus bertindak. Ketika menjabat sebagai Amirul Mukminin, Sayyidina Umar sering berkeliling di malam hari untuk melihat langsung kondisi rakyatnya. Dengan cara ini, ia bisa mengetahui apa saja yang masih perlu diperbaiki dari kebijakannya atau mungkin dari implementasi kebijakan yang kurang maksimal.
Sayyidina Umar bahkan pernah berkata, “Seandainya aku melihat seekor kambing yang hidup di antara langit dan bumi berada di dekat aliran sungai namun tidak gemuk dan berlemak, sungguh aku takut hal itu akan dimintakan pertanggungjawabanku di hari kiamat.” Ini menunjukkan betapa besarnya rasa tanggung jawab Umar dalam mengurus rakyatnya, bahkan hingga hal sekecil itu.
Pemimpin ideal tidak mudah emosi
Pemimpin yang ideal harus mampu mengendalikan emosinya, tidak mudah marah atau sombong. Menurut Al-Ghazali, kemarahan yang diwujudkan dalam bentuk hukuman atau tindakan keras lainnya merupakan bagian dari kesombongan.
Dalam sebuah hikayat yang diceritakan oleh Imam Ghazali, suatu hari Amirul Mukminin Al-Manshur memerintahkan hukuman mati terhadap seseorang. Namun, seorang ulama bernama Al-Fadl mengingatkannya dengan mengatakan, “Wahai Amirul Mukminin, sebelum engkau membunuhnya dengarkanlah aku! Imam Hasan Al-Bashri meriwayatkan bahwa di hari kiamat nanti, hanya orang yang pemaaf terhadap kesalahan orang lain yang akan memiliki tempat di sisi Allah.”
Mendengar nasihat ini, Al-Manshur pun mengurungkan niatnya dan memaafkan orang tersebut. Ini adalah pelajaran penting bahwa pemimpin yang baik adalah mereka yang mampu mengendalikan amarahnya dan memberikan kesempatan pada rakyatnya untuk memperbaiki kesalahan.