Mohon tunggu...
Baret Mega Lanang
Baret Mega Lanang Mohon Tunggu... Seniman - Penulis

Bagai Empu Prapanca yang menulis Negarakertagama

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Otonomi Kampus di Tengah Badai Politik, Kasus Pemberhentian Dekan FK Universitas Airlangga

20 Juli 2024   22:12 Diperbarui: 20 Juli 2024   22:35 6
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

BRT | JOMBANG - Orang Merdeka membela ide yang benar dari siapapun, sedangkan budak membela tuannya apapun ide tuannya. Mengawali kata-kata dari Ibnu Khaldun, mari kita fokuskan pada berita pemberhentian Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Profesor Budi Santoso (Prof. Bus), oleh Rektor Universitas Airlangga. 

Keputusan ini bagaikan petir di siang bolong, mengingat Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga adalah yang tertua kedua di Indonesia setelah Universitas Indonesia. FK Universitas Airlangga telah berusia lebih dari satu abad, tepatnya 110 tahun sejak didirikan pada tahun 1913, dan telah menghasilkan lebih dari 10.000 dokter yang berjasa menjaga kesehatan masyarakat Indonesia. Namun, sejarah panjang ini kini tercoreng oleh pemberhentian seorang Dekan di tengah jalan.

Banyak spekulasi berkembang mengenai alasan pemberhentian Prof. Bus. Beberapa di antaranya adalah penolakan beliau terhadap dokter asing, intervensi Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin kepada Rektor agar Dekan diberhentikan karena tidak sejalan dengan rencana pemerintah mendatangkan dokter asing, hingga tindakan indisipliner yang sudah dilakukan berkali-kali dan puncaknya pernyataan beliau kepada media.

Menurut Rektor Universitas Airlangga, Prof. Nasih, Universitas Airlangga adalah perguruan tinggi negeri yang tunduk dan patuh pada semua peraturan dan ketentuan pemerintah. Universitas akan mendukung penuh semua kebijakan yang diambil oleh pemerintah, termasuk kebijakan mendatangkan dokter asing. Jika kita melihat melalui lensa Ibnu Khaldun, keputusan Rektor Universitas Airlangga adalah keputusan seorang budak yang membela tuannya. 

Pemberhentian ini mendapatkan reaksi keras dari para guru besar, dosen, dan mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Para profesor yang biasanya diam kini turun gunung dan mengambil sikap menolak tindakan sewenang-wenang Rektor yang tidak berdasar. Perbedaan pendapat adalah hak asasi dan hal biasa, apalagi terjadi di perguruan tinggi. Namun, politik yang masuk ke kampus sudah kelewatan. 

Pendidikan di Indonesia ke depannya haruslah taat pada hukum, bukan taat pada tuan yang salah. Pendidikan adalah investasi dengan nilai tertinggi untuk suatu negara, di mana return on investment-nya adalah yang tertinggi di dunia. Kemajuan suatu negara sangat ditentukan oleh pendidikan, bukan oleh sumber daya alam yang melimpah. Contohnya adalah Singapura, Jepang, Swiss, dan Korea Selatan, yang menunjukkan bahwa negara maju membekali dirinya dengan sumber daya manusia yang unggul, bukan sumber daya alam.

Kunci untuk menghasilkan sumber daya manusia yang unggul adalah pendidikan dan kesehatan. Syarat pendidikan tinggi salah satunya adalah memiliki kebebasan berpikir atau free thinker. Jika kebebasan berpikir dibatasi, maka perguruan tinggi tidak akan memiliki budaya kreatif yang akan mengancam budaya ilmiah di perguruan tinggi tersebut. Saat ini banyak perguruan tinggi yang sudah bertransformasi menjadi Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH), di mana otonomi perguruan tinggi menjadi roh bagi perguruan tinggi. Otonomi ini terdiri dari otonomi akademik dan non-akademik, keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.

Indonesia bisa maju dan memperoleh pengakuan dunia internasional jika perguruan tingginya otonom dan akuntabel tanpa diganggu oleh kepentingan politik. Untuk menjadi otonomi utuh, perguruan tinggi end games-nya adalah agar para dosen, mahasiswa, dan civitas akademika menjadi kreatif dan inovatif. Perguruan tinggi bukanlah kantor atau perusahaan, dosen bukan pegawai kantor, dan dekan bukan semata-mata bawahan di kantor. Rektor bukan sekadar bawahan menteri di perguruan tinggi.

Mengingat situasi ini, mari kita kembalikan otonomi kampus kepada para profesor dan akademisi, sambil menyanyikan lagi lagu "Gaudeamus Igitur" agar kita ingat zaman wisuda dulu. Hiduplah kampusku, hiduplah guru besarku. Tidak ada di sana "hiduplah menteriku" atau "hiduplah presidennku". Ketika para profesor dan civitas akademika sudah turun gunung, artinya kondisi pendidikan dan negara sudah sangat parah dan memalukan.(*)

Penulis : Baret Mega Lanang 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun