Mohon tunggu...
Baret Mega Lanang
Baret Mega Lanang Mohon Tunggu... Seniman - Penulis

Bagai Empu Prapanca yang menulis Negarakertagama

Selanjutnya

Tutup

Politik

Rangkuman | Bahayanya: Mahar Politik dalam Pilkada di Indonesia (Part-5)

9 Juni 2024   17:40 Diperbarui: 9 Juni 2024   17:40 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh : Baret Mega Lanang 

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Indonesia selalu menjadi ajang penting dan strategis dalam menentukan pemimpin daerah yang akan membawa perubahan dan kemajuan. Namun, fenomena politik saat ini, yang dapat dijadikan alat transaksi jabatan, menimbulkan kekhawatiran besar. Dengan banyaknya partai politik di Indonesia, peraturan internal yang mengharuskan calon pemimpin daerah untuk mendapatkan rekomendasi dari pimpinan teratas partai membuka peluang bagi terjadinya politik mahar.

Negara Indonesia, yang berdasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, adalah negara demokrasi dengan prinsip kedaulatan rakyat. Dalam demokrasi, setiap warga negara berhak untuk menyatakan pendapat dan ikut serta dalam proses politik, termasuk memilih dan dipilih. Namun, salah satu praktik yang menciderai prinsip demokrasi ini adalah politik mahar. Praktik ini bukan hanya melanggar hukum, tetapi juga merusak esensi demokrasi itu sendiri.

Pengertian Mahar Politik

Mahar politik adalah istilah yang merujuk pada pemberian sejumlah uang atau imbalan lainnya oleh calon pemimpin kepada partai politik agar dicalonkan dalam pemilihan. Dalam konteks ini, mahar bukanlah maskawin dalam pernikahan, tetapi lebih mirip dengan suap yang diberikan untuk memperoleh dukungan politik. Mahar politik mencakup pembayaran kepada partai politik untuk mendapatkan "kendaraan politik" dalam pemilihan umum atau pilkada. Ini dilakukan baik oleh calon yang berasal dari internal partai maupun eksternal.

Secara gamblangnya Politik mahar, yaitu ketika bakal calon pemimpin daerah (Bacalon) harus memberikan sejumlah uang kepada partai untuk mendapatkan dukungan dan rekomendasi, hal ini telah menjadi isu serius yang diduga banyak terjadi. Praktik ini berpotensi merusak kualitas kepemimpinan dan demokrasi di Indonesia.

Regulasi Mahar Politik

Di Indonesia, praktik politik mahar diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 tentang perubahan ketiga atas undang-undang nomor 1 tahun 2015, serta Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, dengan tegas melarang partai politik menerima imbalan dalam bentuk apapun pada proses pencalonan. Namun, meski regulasi sudah ada, pembuktiannya di lapangan sering kali sulit dilakukan karena transaksi ini biasanya dilakukan secara tertutup dan rahasia.

Kondisi di atas merupakan permasalahan Negara yang benar terjadi dan menjadi salah satu ancaman bagi jalannya demokrasi yang baik walaupun peraturan perundang-undangan mengenai mahar politik ini sudah ada namun masih sangat lemah terbuktinya masih banyak kasus mahar politik yang terjadi namun tidak satupun yang dapat dibuktikan oleh petugas penegak hukum. Kemudian menjadi penting untuk dianalisis lebih lanjut ditinjau dari Hukum Islam (dalam Perspektif Fikih Siyasah)

Mahar Politik dalam Perspektif Fikih Siyasah

Dalam Fikih Siyasah, mahar politik dianggap sebagai bentuk risywah (suap), yang sangat dilarang dalam Islam. Risywah adalah pemberian sesuatu kepada seseorang yang memiliki wewenang untuk mempengaruhi keputusan atau kebijakan yang seharusnya tidak bisa dipengaruhi oleh uang atau imbalan lainnya. Menurut ajaran Islam, risywah adalah perbuatan yang sangat tercela dan dapat merusak tatanan masyarakat dan negara.

Ayat Al-Qur'an dalam Surah Al-Baqarah ayat 188 dengan tegas melarang tindakan suap: "Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui."

Selain itu, hadits Nabi Muhammad SAW juga mengecam keras perbuatan suap. Imam Ahmad meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW melaknat orang yang menyuap dan yang menerima suap, serta perantara antara keduanya. Ini menunjukkan betapa seriusnya Islam memandang praktik risywah, termasuk dalam konteks mahar politik.

Pengaruh Negatif Politik Mahar

Menurunkan Kualitas Kepemimpinan:

Calon pemimpin yang terlibat dalam praktik politik mahar cenderung lebih fokus pada pengembalian investasi mereka daripada melayani kepentingan publik. Hal ini mengakibatkan penurunan kualitas kepemimpinan, karena pemimpin yang terpilih lebih mementingkan kepentingan pribadi dan kelompok dibandingkan kesejahteraan masyarakat.

Korupsi dan Penyalahgunaan Kekuasaan:

Politik mahar meningkatkan risiko korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Pemimpin yang terpilih melalui praktik ini berpotensi untuk mencari cara mengembalikan modal mereka, salah satunya contoh mungkin melalui korupsi dan kolusi. Ini dapat merusak integritas pemerintahan dan mengurangi kepercayaan publik terhadap institusi negara.

Ketidakadilan dan Diskriminasi:

Praktik politik mahar dapat menciptakan ketidakadilan, karena hanya mereka yang memiliki sumber daya finansial yang cukup yang dapat berpartisipasi dalam kontestasi politik. Ini mendiskriminasi calon-calon potensial yang kompeten tetapi tidak memiliki akses ke sumber daya finansial yang besar.

Faktor Penyebab Politik Mahar

Peraturan Internal Partai:

Banyak partai politik di Indonesia memiliki peraturan yang mengharuskan Bacalon mendapatkan rekomendasi dari pimpinan teratas partai?. Proses ini dimungkinkan disertai dengan biaya yang tidak sedikit, dalam bentuk administrasi meskipun sebesar nilai matrai. 

Sistem Pembiayaan Politik yang Tidak Transparan:

Kurangnya transparansi dalam sistem pembiayaan politik di Indonesia mendorong praktik politik mahar. Tidak adanya mekanisme pengawasan yang efektif membuat praktik ini sulit terdeteksi dan dihentikan.

Budaya Politik Transaksional:

Budaya politik di Indonesia yang cenderung transaksional memperkuat praktik politik mahar. Politik sering kali dipandang sebagai sarana untuk memperoleh keuntungan pribadi, sehingga transaksi finansial dimungkinkan menjadi bagian yang diterima dalam proses politik.

Dampak Jangka Panjang 

Merusak Demokrasi:

Politik mahar merusak esensi demokrasi yang seharusnya memberikan kesempatan yang sama bagi semua warga negara untuk berpartisipasi. Hal ini menghambat regenerasi politik dan menutup peluang bagi calon-calon pemimpin yang berbasis pada integritas dan kapabilitas.

Menurunkan Kepercayaan Publik:

Praktik politik mahar mengurangi kepercayaan publik terhadap proses politik dan institusi pemerintahan. Masyarakat menjadi skeptis(*) terhadap pemimpin yang dipilih melalui proses yang tidak transparan dan sarat dengan transaksi finansial.

Pengelolaan Sumber Daya yang Buruk:

Pemimpin yang terpilih melalui politik mahar cenderung tidak efektif dalam mengelola sumber daya daerah. Fokus mereka yang utama adalah mengembalikan modal politik, sehingga program-program pembangunan yang bermanfaat bagi masyarakat sering kali (dapat) diabaikan.(*)

Assidiqie (2017) dalam bukunya "Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi" menekankan pentingnya pilar-pilar demokrasi yang sehat dan bebas dari korupsi serta praktik-praktik tidak etis lainnya. Mahar politik dianggap merusak integritas demokrasi dan menciptakan ketidakadilan dalam proses pemilihan. Hal ini sejalan dengan pandangan Kadir (2014) yang dalam artikelnya "Dinamika Partai Politik di Indonesia" di jurnal Sosiohumaniora, menyatakan bahwa partai politik sering kali terjebak dalam praktik transaksional yang mengorbankan nilai-nilai demokrasi sejati.

Dari perspektif hukum Islam, Harahap (2018) dalam artikelnya "Risywah dalam Perspektif Hadis" mengkaji bahwa praktik risywah atau suap, termasuk dalam bentuk mahar politik, dilarang dalam Islam karena merusak keadilan dan transparansi. Hal ini diperkuat oleh kajian Farida (2019) dalam jurnal Galuh Justisi yang membahas mahar politik dalam pandangan politik hukum di Indonesia, menyoroti dampak negatif dari praktik ini terhadap sistem hukum dan tata pemerintahan yang baik.

Lebih lanjut, Amsari (2019) dalam jurnal Anti Korupsi Integritas menguraikan upaya penegakan hukum yang diperlukan untuk menjerakan pelaku praktik uang mahar dalam pemilu. Ibadurrahman (2021) dalam jurnal Lex Renaisan meneliti dampak transaksional dari mahar politik terhadap pembangunan daerah, menunjukkan bahwa praktik ini tidak hanya merugikan sistem politik tetapi juga menghambat pembangunan daerah yang berkelanjutan.

Kesimpulan(*)

Politik mahar memiliki dampak negatif yang signifikan terhadap kualitas kepemimpinan dan integritas demokrasi di Indonesia. Untuk mengatasi masalah ini, mungkin diperlukan reformasi dalam sistem peraturan partai dan pembiayaan politik?. Transparansi dan akuntabilitas harus ditingkatkan untuk memastikan bahwa proses politik berjalan secara adil dan bebas dari praktik transaksional yang merugikan. Dengan demikian, diharapkan kualitas kepemimpinan di daerah-daerah dapat meningkat, dan demokrasi yang sehat dapat terwujud.(*)

Penulis berusaha mengkaji lebih dalam praktik mahar politik di Indonesia dengan mengacu pada berbagai referensi. Meskipun penulis hanya memiliki latar belakang pendidikan SMA, namun dengan bantuan literatur yang komprehensif, diharapkan artikel ini dapat memberikan kontribusi yang berarti dalam memahami dan mencari solusi terhadap 'fenomena kata'(red) mahar politik yang kompleks ini.(*)

---

*Artikel ini mencoba mengungkap bahaya politik mahar yang diduga marak terjadi, yang berpotensi merusak proses demokrasi dan kualitas kepemimpinan di berbagai daerah di Indonesia.*

Oleh : Baret M. Lanang 

Refresi:

Assidiqie, Jimly. Hukum Tata Negara Dan Pilar-Pilar Demokrasi, Jakarta: Konstitusi Press, 2017. Ernita, dkk. 

A Gau Kadir. "Dinamika Partai Politik di Indonesia",. Sosiohumaniora, Vol. 7 No.2 (2014).

Ahmad Jurin Harahap. "Risywah dalam Perspektif Hadis",. Jurnal Ilmu Hadis, Vol. 2, No. 2 (2018).

Praktik Mahar Politik Dalam Partai Politik Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 dan Kajian Fiqih Siyasah 

Da Farida. Mahar Politik Dalam Pandangaaan Politik Hukum Di Indonesia". Galuh Justisi, Vol.7 No.1. (2019).

Feri Amsari, "Menjerakan Pelaku "Uang Mahar Pemilu". Jurnal Anti Korupsi Integritas,: Vol. 5 No.1, (2019).

Ibadurrahman,  "Implementasi  dan  Dampak  Politik  Transaksional (Mahar Politik) Dalam Pilkada Terha

dap Pembangunan Daerah". Lex Renaisan No. 4 Vol. 4, (2021).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun