Mahar Politik adalah istilah yang berasal dari dua kata, yaitu "mahar" dan "politik". Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), mahar diartikan sebagai pemberian wajib berupa uang atau barang dari seorang laki-laki kepada seorang perempuan saat akad nikah. Secara etimologis, mahar juga berarti maskawin. Ketika kata ini disandingkan dengan politik, maka terbentuklah istilah "mahar politik".
Mahar politik mengacu pada transaksi di bawah tangan yang dilakukan dengan memberikan dana dalam jumlah tertentu kepada partai politik sebagai "kendaraan" politik bagi seorang calon yang ingin mencalonkan diri dalam pemilihan kepala daerah atau wakil rakyat dalam Pemilu. Mahar politik sering kali diartikan sebagai pemberian sejumlah uang kepada para pengurus partai politik dari tingkat pusat hingga anak cabang, guna memperoleh dukungan dari partai politik tersebut. Dukungan ini diperlukan untuk maju sebagai bakal calon atau calon dalam pemilihan kepala daerah ataupun pemilihan umum sebagai wakil rakyat.
Fenomena Mahar Politik
Dalam praktiknya, mahar politik terjadi pada tahap pencalonan oleh partai. Pemberi mahar bisa berasal dari internal maupun eksternal partai. Istilah lain yang sering digunakan adalah 'uang perahu', yaitu uang yang dibayarkan seseorang agar mendapatkan dukungan dari partai politik untuk dicalonkan. Mahar diberikan untuk mendapatkan 'stempel' dan restu dari partai politik. Fenomena ini memiliki dampak signifikan terhadap keberlangsungan demokrasi di Indonesia.
Mahar politik merupakan salah satu faktor yang menyebabkan biaya politik di Indonesia menjadi mahal. Selain itu, ada juga praktik jual beli suara yang dikenal dengan istilah "serangan fajar". Nilai transaksi mahar politik ini sangat fantastis, bisa mencapai miliaran rupiah. Semakin besar uang yang dikeluarkan, semakin besar peluang kandidat untuk diusung oleh partai.
Regulasi dan Sanksi
Regulasi mengenai mahar politik diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 tentang perubahan ketiga atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Larangan dan sanksi administrasi terkait mahar politik diatur dalam Pasal 47 ayat (1) hingga ayat (6).
Dalam undang-undang tersebut, partai politik atau gabungan partai politik dilarang menerima imbalan dalam bentuk apapun pada proses pencalonan gubernur, bupati, dan walikota beserta wakilnya. Jika terbukti menerima imbalan, partai tersebut dilarang mengajukan calon pada periode berikutnya di daerah yang sama. Pembuktian penerimaan imbalan harus melalui putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap. Selain itu, setiap orang atau lembaga juga dilarang memberi imbalan kepada partai politik atau gabungan partai politik dalam proses pencalonan.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum di Pasal 228 juga menegaskan larangan bagi partai politik menerima imbalan dalam bentuk apapun pada proses pencalonan presiden dan wakil presiden. Meskipun sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan dan menjadi rahasia umum, pembuktian mahar politik sering kali sulit dilakukan karena praktiknya yang terbatas dan rahasia.
Dampak Mahar Politik
Mahar politik diakui oleh beberapa politikus. Salah satunya adalah politikus Partai Demokrat, Darmizal, yang menyatakan adanya mahar politik dalam pilkada saat talkshow Mata Najwa di salah satu stasiun televisi pada 12 Maret 2021. Pernyataan ini menunjukkan bahwa mahar politik memang terjadi di Indonesia.
Praktik mahar politik jelas menimbulkan penyimpangan dalam demokrasi. Jika demokrasi seharusnya berorientasi pada kepentingan rakyat, politik mahar justru membuat demokrasi lebih berorientasi pada kepentingan pihak pemberi mahar, baik itu partai politik maupun donor korporasi. Akibatnya, pejabat publik yang terlibat dalam politik mahar cenderung mengeluarkan kebijakan yang menguntungkan pihak tertentu daripada kepentingan publik.
Dampak lainnya adalah gagalnya demokrasi dalam meningkatkan kehidupan politik dan memperbaiki kesejahteraan rakyat. Mahar politik juga memunculkan politik biaya tinggi yang menjadi investasi mahal bagi setiap aspirasi politik. Investasi ini perlu dikembalikan, yang mendorong merajalelanya korupsi, terutama jika kandidat tersebut memenangkan pemilu dan menduduki jabatan tertentu. Fenomena ini semakin menyuburkan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di Indonesia, serta banyaknya uang negara yang hilang dan tidak jelas secara hukum.(-)
Penulis berusaha mengkaji lebih dalam praktik mahar politik di Indonesia dengan mengacu pada berbagai referensi. Meskipun penulis hanya memiliki latar belakang pendidikan SMA, namun dengan bantuan literatur yang komprehensif, diharapkan artikel ini dapat memberikan kontribusi yang berarti dalam memahami dan mencari solusi terhadap fenomena(red) mahar politik yang kompleks ini.(*)
---
*Artikel ini mencoba mengungkap bahaya politik mahar yang diduga marak terjadi, yang berpotensi merusak proses demokrasi dan kualitas kepemimpinan di berbagai daerah di Indonesia.*
Oleh : Baret M. LanangÂ
Refresi:
Assidiqie, Jimly. Hukum Tata Negara Dan Pilar-Pilar Demokrasi, Jakarta: Konstitusi Press, 2017. Ernita, dkk.Â
A Gau Kadir. "Dinamika Partai Politik di Indonesia",. Sosiohumaniora, Vol. 7 No.2 (2014).
Ahmad Jurin Harahap. "Risywah dalam Perspektif Hadis",. Jurnal Ilmu Hadis, Vol. 2, No. 2 (2018).
Praktik Mahar Politik Dalam Partai Politik Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 dan Kajian Fiqih SiyasahÂ
Da Farida. Mahar Politik Dalam Pandangaaan Politik Hukum Di Indonesia". Galuh Justisi, Vol.7 No.1. (2019).
Feri Amsari, "Menjerakan Pelaku "Uang Mahar Pemilu". Jurnal Anti Korupsi Integritas,: Vol. 5 No.1, (2019).
Ibadurrahman,  "Implementasi  dan  Dampak  Politik  Transaksional (Mahar Politik) Dalam Pilkada Terhadap Pembangunan Daerah". Lex Renaisan N
o. 4 Vol. 4, (2021).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H