Mohon tunggu...
Fiola Anglina Wijono
Fiola Anglina Wijono Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa aktif di Universitas Pelita Harapan batch 2017

Bernafas dengan menulis, mengisi nutrisi dengan menari!

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Lika-Liku Kehidupan Budak Patriarki

22 Juni 2019   17:30 Diperbarui: 22 Juni 2019   18:21 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Sebuah analisis sederhana dari novel berjudul Tarian Bumi karya Oka Rusmini. Apabila terdapat sebuah kesalahpahaman atau menyinggung suku atau ras atau agama, mohon dimaafkan. Artikel ini hanyalah salah satu bentuk pembelajaran mengenai budaya yang tergambarkan melalui sebuah karya sastra. Artikel ini adalah tugas Ujian Tengah Semester dalam mata kuliah kajian prosa. Semoga bacaan ini bermanfaat!

Belakangan ini, sebagian besar dari kita tidak asing saat mendengar istilah bucin atau disebut juga sebagai "budak cinta". Kita akan memaknai orang yang memiliki sebutan itu adalah seorang yang rela mengorbankan semua miliknya hanya untuk cinta. Bahkan jika harus menjual dirinya, dia tetap akan melakukan semata-mata demi cinta. 

Saat membaca buku ini, saya menangkap konsep yang serupa. Namun dalam kemasan yang berbeda. Oka Rusmini atau yang akrab dipanggil Okarus cukup lihai dalam memberontak masyarakat Bali lengkap dengan seperangkat kebudayaan yang ada. Saya mengira bahwa Okarus melihat perempuan-perempuan yang ada di Bali sebagai "budak patriarki". 

Mengapa demikian? Karena setiap kisah hidup perempuan yang ada dalam ceritanya selalu jatuh dalam kubangan yang sama yaitu cinta. Kisah hidup mereka dipermainkan oleh sudut pandang mereka saat melihat kehidupan dan cinta. Semua perempuan pasti ingin merasa dicintai dan mencintai seseorang. 

Sementara di satu sisi, mereka begitu mengagungkan wujud seseorang yang terlahir sebagai laki-laki dan gelap mata terhadap perangai lelaki yang tidak layak menyandang sebutan manusia itu. Terlepas dari kasta yang melekat pada dirinya ataupun cara memandang keindahan cinta itu sendiri. Namun karena mayoritas masyarakat di Bali menganut nilai keagamaan Hindu yang cukup kental, maka tidak semua perempuan dapat merasakan kisah cinta yang sesuai dengan pemaknaan mereka.

Ketika menghadapi ironi tersebut, terlintas dalam pikiran saya bahwa setiap perempuan yang ada di Bali tidak memiliki kuasa penuh dalam menentukan pilihan untuk hidup yang mereka jalani. Tidak lain adalah karena kasta. Dalam percakapan berikut, 

"Kupikir tidak. Semua perempuan berhak memiliki mimpi." Yang kemudian dibalas dengan, "Iya. Aku tahu itu. Hanya kau harus mulai memilah-milah mimpimu. Lama-lama kau bisa gila sendiri!" (hlm. 29). 

Melalui percakapan tersebut, terlihat bahwa sekadar untuk bermimpi saja, kita diwajibkan untuk mengingat dan mengekan diri berdasarkan kasta kita. Tidak seorang pun memiliki kebebasan sekadar untuk memimpikan nasib di masa depan. Meskipun kita sendiri yang harus menanggung akibat dari pilihan tersebut. Bagaimana mungkin kasta turut mengatur mimpi yang hanya berkutat di dalam pemikiran seseorang? Belum lagi hal ini berlaku dengan keras bagi para perempuan di Bali. 

Sementara lelaki yang hidup pada kasta apapun memiliki kebebasan seluas-luasnya untuk melakukan hal-hal yang mereka senangi. Sekalipun hal yang mereka senangi justru seharusnya dipandang sebagai aib keluarga. Perangai lelaki seperti ini muncul secara terus menerus pada setiap kisah cinta dalam buku ini. 

Pertama, seorang pemuda bernama Putu Sarma yang melakukan perbuatan senonoh yaitu dengan 

"Mencubit pantat perempuan yang ada di depannya. Para lelaki itu tidak peduli, pura-pura merasa tidak bersalah." (hlm. 9). 

Kedua, saat Luh Kenten tengah mengangkat kayu, para lelaki yang dilihatnya di sebuah warung itu 

"Setiap hari dari pagi sampai siang hanya duduk dan mengobrol" (hlm. 31). 

Bahkan salah seorang lelaki berkata, "Carilah perempuan yang mandiri dan mendatangkan uang. Itu kuncinya agar hidup laki-laki bisa makmur, bisa tenang. Perempuan tidak menuntut apa-apa. Mereka cuma perlu kasih sayang, cinta, dan perhatian. Kalau itu sudah bisa kita penuhi, mereka tak akan cerewet. Puji-puji saja mereka. Lebih sering bohong lebih baik. Mereka menyukainya. Itulah ketololan perempuan. Tapi ketika berhadapan dengan mereka, mainkanlah peran pengabdian, hamba mereka. Pada saat seperti itu perempuan akan menghargai kita. Melayani kita tanpa kita minta." (hlm. 32). 

Begitu juga dengan perkataan Luh Kenten pada memenya atau ibunya yaitu 

"Tidak. Setiap hari aku saksikan sendiri kegiatan mereka. Minum kopi sampai siang, sore hari metajen atau sabung ayam. Malamnya mereka bebas istirahat ditemani istri." (hlm. 34). 

Betapa bejatnya perlakuan mereka terhadap perempuan. Sekalipun lelaki lebih berkuasa atas perempuan, namun pihak yang harus menjaga keberlangsungan hidup keluarga adalah perempuan. Khususnya pada kasta Sudra. Usaha dan kerja keras yang dilakukan oleh perempuan di Bali semestinya menjadi pekerjaan laki-laki. Bahkan jika ada perempuan yang terpaksa ikut membantu pekerjaan suaminya, tidak semata-mata segala sesuatu dilimpahkan para perempuan yang kemudian laki-laki justru lepas tanggung jawab yang semestinya dipikul oleh laki-laki.

Lalu dalam buku ini, seorang tokoh yang bernama Luh Sekar berpikir bahwa kelak dia harus mendapatkan suami yang berasal dari kasta Brahmana. Sebab kasta tersebut akan mendongkrak nasib Luh Sekar yang menyedihkan dan mendatangkan kebahagiaan sepanjang hidupnya. Gadis itu begitu mendambakan kebahagiaan yang akan menghujani dia saat memasuki lingkaran nasib yang gemerlap itu. 

Namun realita tidak selalu menjanjikan keselarasan dengan ekspektasi yang kita ciptakan. Realita justru cenderung menantang kita untuk memberi respons terhadap pilihan yang kita ambil. Karena saat Luh Sekar mendapatkan impian terbesarnya itu, perjuangan pertama yang harus dia lakukan adalah kehilangan namanya sendiri (hlm. 55). 

Nama yang menjadikan hidupnya penuh dengan kesempurnaan perempuan itu harus ditukar dengan nama Brahmana yaitu Jero Kenanga. Lalu segala tindakan yang dia lakukan setelah memiliki seorang anak Ida Ayu tidak sepenuhnya merupakan ambisi yang semula ada pada dirinya dan begitu kuat bersarang dalam diri Kenanga. Sebab ketika anaknya yang bernama Telaga beranjak dewasa melalui upacara menek kelih. Tepat ketika Kenanga memberi petuah pada Telaga pada halaman 67, sesungguhnya harapan itu adalah perintah yang harus dilakukan oleh Telaga agar menjadi seorang Brahmana sempurna yang sesuai dengan impian Kenanga. 

Sebab Telaga sudah merasai bahwa "Kebenaran adalah kebenaran dari kacamata dia (ibunya) sendiri" (hlm. 108). Lama kelamaan harapan itu menjelma menjadi kekangan bagi Telaga. Karena tidak ada hal lain yang dapat Telaga lakukan bagi hidup yang dimilikinya selain menuruti perkataan ibunya, Kenanga. Bahkan Kenanga tidak mengizinkan Telaga untuk berbuat sesuatu yang sesuai dengan kehendaknya sendiri. Alih-alih karena Kenanga takut apabila Telaga akan menjatuhkan wibawanya sebagai orang Brahmana.

Di sini dapat terlihat bahwa kasta yang dimiliki seseorang tidak sepenuhnya menentukan kebahagiaan dan nilai keberhargaan. Ketika Kenanga terus menghantam Telaga dengan ribuan impian miliknya, Telaga merasa tidak memiliki kebebasan dalam hidupnya. Bahkan cara keduanya memandang cinta dan pernikahan pun bertolak belakang. Itulah mengapa Kenanga tidak menuai kebahagiaan yang dia dambakan saat Telaga menempuh jalan lain agar hidupnya dapat bahagia. Sebab Kenanga memang tidak memandang Telaga sebagai manusia yang hidup. 

Sementara Telaga ingin dapat memahami hidup dan menemukan kebahagiaannya sendiri melalui cintanya dengan Wayan sekalipun lelaki itu bukan berasal dari kaumnya (hlm. 154). Belum lagi saat melihat seorang Ida Bagus Ngurah Pidada yang adalah seorang Brahmana namun hidupnya tidak sungguh-sungguh mencerminkan kastanya. Sepanjang cerita yang tersebar dalam buku ini, karakter Ngurah Pidada akhirnya dinyatakan secara gamblang bahwa 

"Laki-laki itu benar-benar memiliki ciri khas binatang! Kelaparannya tidak pernah kering, dan selalu membiarkan wujud manusianya dikalahkan wujud kebinatangannya." (hlm. 83). 

Poin penting lainnya yang dapat terlihat melalui buku ini yaitu tuntutan yang harus dipenuhi sebagai seorang perempuan yang terlahir dalam masyarakat berkasta juga menjadikan perempuan sebagai korban. Setiap perempuan harus mengorbankan harapan dan cita-citanya yang murni demi keberlangsungan hidupnya di atas pulau Dewata. Pengorbanan ini dapat dilihat melalui karakter yang dimiliki oleh setiap perempuan Bali yang ada dalam buku ini.

Sementara seseorang yang menghidupi kastanya dengan sungguh-sungguh akan terlihat dari bagaimana responsnya saat dihadapkan pada sebuah permasalahan dalam hidupnya. Sejauh apapun jalan yang ditempuh Kenanga, dia tetaplah Sekar sebab dia tidak membiarkan dirinya ditempa oleh hidup itu sendiri. Dia tetap tidak mengizinkan hidup memberikannya pengajaran agar menjadi seseorang yang lebih baik, sesuai dengan kastanya (Sudra). 

Sedangkan Telaga membiarkan dirinya terlepas dari kasta yang dimilikinya, namun berusaha untuk memberi respons yang sesuai dengan kastanya (Brahmana). Namun bagi Okarus, tidak banyak perempuan Bali yang mau untuk mengambil langkah seperti yang dilakukan oleh Telaga. Memang tidak mudah, karena kebahagiaan tidak dapat dinilai harganya dan tidak dapat dibeli dengan cara apapun. Okarus ingin memperlihatkan bahwa melalui pilihan dan respons yang kita ambil, kita akan menentukan arah dan arti hidup itu sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun