Mohon tunggu...
Fiola Anglina Wijono
Fiola Anglina Wijono Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa aktif di Universitas Pelita Harapan batch 2017

Bernafas dengan menulis, mengisi nutrisi dengan menari!

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Lika-Liku Kehidupan Budak Patriarki

22 Juni 2019   17:30 Diperbarui: 22 Juni 2019   18:21 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Kedua, saat Luh Kenten tengah mengangkat kayu, para lelaki yang dilihatnya di sebuah warung itu 

"Setiap hari dari pagi sampai siang hanya duduk dan mengobrol" (hlm. 31). 

Bahkan salah seorang lelaki berkata, "Carilah perempuan yang mandiri dan mendatangkan uang. Itu kuncinya agar hidup laki-laki bisa makmur, bisa tenang. Perempuan tidak menuntut apa-apa. Mereka cuma perlu kasih sayang, cinta, dan perhatian. Kalau itu sudah bisa kita penuhi, mereka tak akan cerewet. Puji-puji saja mereka. Lebih sering bohong lebih baik. Mereka menyukainya. Itulah ketololan perempuan. Tapi ketika berhadapan dengan mereka, mainkanlah peran pengabdian, hamba mereka. Pada saat seperti itu perempuan akan menghargai kita. Melayani kita tanpa kita minta." (hlm. 32). 

Begitu juga dengan perkataan Luh Kenten pada memenya atau ibunya yaitu 

"Tidak. Setiap hari aku saksikan sendiri kegiatan mereka. Minum kopi sampai siang, sore hari metajen atau sabung ayam. Malamnya mereka bebas istirahat ditemani istri." (hlm. 34). 

Betapa bejatnya perlakuan mereka terhadap perempuan. Sekalipun lelaki lebih berkuasa atas perempuan, namun pihak yang harus menjaga keberlangsungan hidup keluarga adalah perempuan. Khususnya pada kasta Sudra. Usaha dan kerja keras yang dilakukan oleh perempuan di Bali semestinya menjadi pekerjaan laki-laki. Bahkan jika ada perempuan yang terpaksa ikut membantu pekerjaan suaminya, tidak semata-mata segala sesuatu dilimpahkan para perempuan yang kemudian laki-laki justru lepas tanggung jawab yang semestinya dipikul oleh laki-laki.

Lalu dalam buku ini, seorang tokoh yang bernama Luh Sekar berpikir bahwa kelak dia harus mendapatkan suami yang berasal dari kasta Brahmana. Sebab kasta tersebut akan mendongkrak nasib Luh Sekar yang menyedihkan dan mendatangkan kebahagiaan sepanjang hidupnya. Gadis itu begitu mendambakan kebahagiaan yang akan menghujani dia saat memasuki lingkaran nasib yang gemerlap itu. 

Namun realita tidak selalu menjanjikan keselarasan dengan ekspektasi yang kita ciptakan. Realita justru cenderung menantang kita untuk memberi respons terhadap pilihan yang kita ambil. Karena saat Luh Sekar mendapatkan impian terbesarnya itu, perjuangan pertama yang harus dia lakukan adalah kehilangan namanya sendiri (hlm. 55). 

Nama yang menjadikan hidupnya penuh dengan kesempurnaan perempuan itu harus ditukar dengan nama Brahmana yaitu Jero Kenanga. Lalu segala tindakan yang dia lakukan setelah memiliki seorang anak Ida Ayu tidak sepenuhnya merupakan ambisi yang semula ada pada dirinya dan begitu kuat bersarang dalam diri Kenanga. Sebab ketika anaknya yang bernama Telaga beranjak dewasa melalui upacara menek kelih. Tepat ketika Kenanga memberi petuah pada Telaga pada halaman 67, sesungguhnya harapan itu adalah perintah yang harus dilakukan oleh Telaga agar menjadi seorang Brahmana sempurna yang sesuai dengan impian Kenanga. 

Sebab Telaga sudah merasai bahwa "Kebenaran adalah kebenaran dari kacamata dia (ibunya) sendiri" (hlm. 108). Lama kelamaan harapan itu menjelma menjadi kekangan bagi Telaga. Karena tidak ada hal lain yang dapat Telaga lakukan bagi hidup yang dimilikinya selain menuruti perkataan ibunya, Kenanga. Bahkan Kenanga tidak mengizinkan Telaga untuk berbuat sesuatu yang sesuai dengan kehendaknya sendiri. Alih-alih karena Kenanga takut apabila Telaga akan menjatuhkan wibawanya sebagai orang Brahmana.

Di sini dapat terlihat bahwa kasta yang dimiliki seseorang tidak sepenuhnya menentukan kebahagiaan dan nilai keberhargaan. Ketika Kenanga terus menghantam Telaga dengan ribuan impian miliknya, Telaga merasa tidak memiliki kebebasan dalam hidupnya. Bahkan cara keduanya memandang cinta dan pernikahan pun bertolak belakang. Itulah mengapa Kenanga tidak menuai kebahagiaan yang dia dambakan saat Telaga menempuh jalan lain agar hidupnya dapat bahagia. Sebab Kenanga memang tidak memandang Telaga sebagai manusia yang hidup. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun