Mohon tunggu...
Fauzanin Nuryakin
Fauzanin Nuryakin Mohon Tunggu... -

power of dream

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bapak dan Lorong Sunyi Itu

9 Desember 2014   11:11 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:43 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bak jendela terbuka yang tertampar angin begitu kencangnya, kala kami mengetahui tentang keadaannya. Layaknya sebuah balon, semakin lama semakin menyusut. Andai pompa itu bisa  dibeli, akan aku lakukan segala macam cara untuk bisa mengembalikan layaknya sediakala. Namun apa daya, bak mengaharap sebuah fatamorgana bila aku memimpikan hal tersebut. Sebuah penerimaan, ketulusan sekaligus do’a merupakan oleh-oleh dariku, sebagai teman tuk lewati lorong sunyi kehidupanmu selanjutnya.

***

Sejauh apapun mata memandang hamparan hijau luas membentang dari segala penjuru mata angin. berteman sebungkus nasi hangat, tempe goreng, ikan asin, dan sambal terasi menu sederhana pelengkap indahnya panorama tersebut. Sepoi angin sayup-sayup menerbangkan rambut kuncir kuda gadis kecil ini, yang kadang kala ikut berterbangan hingga sering kali termakan, tidak lantas merusak suasana yang tercipta. Begitu lahapnya dia, seakan takut ada yang mencuri sarapannya kala itu.

“bagaimana? Kapan-kapan mau lagi diajak kesini?” tanya seorang lelaki paruh baya kepadanya. Tanpa bisa berkata hanya anggukan kepala, karena mulut tersumpal oleh makanan yang tak henti-hentinya dikunyah.

“au ia ana” akhirnya ia berkata

“mbok ya dihabiskan dulu” ujar si bapak itu lagi.

“aku bisa kesana kan pak?” sembari menunjuk pematang sawah yang dipinggirnya telah penuh dengan sayuran sawi.

“nanti saja bapak gendong” ucap sang kakek.

Sepenggal kisah ketika aku masih menjadi gadis kecil berusia 6 tahun kala itu. Bersama sang bapak yang tidak pernah membiarkannya berjalan dengan kakinya sendiri setiap kali kesawah. Anak pertama, mungkin itu alasan yang paling tepat bisa diberikan kala itu. Ia tak ingin anak kesayangannya tersebut terluka.

Waktu telah berjalan 29 tahun lamanya setelah kejadian tersebut, namun kenangan itu selalu tersimpan rapi, dan siap untuk dikeluarkan disaat-saat seperti ini. Saat memandang wajahnya yang bekeriput, memegang tangannya yang tak sekekar dahulu, kulit yang memutih karena tak pernah lagi tersinari oleh matahari, dan badan tak segagah dulu yang kini bahkan untuk menahan badan tidaklah mampu. Namun engkau tetaplah bapakku.

Memandangi sang bapak, menikmati semua kenangan yang telah terbentuk belasan tahun lamanya dalam diam ialah hal yang bisa dilakukan saat sang kakek tertidur. Jika nanti terbangun cucuran air mata tak pernah terhenti, sehingga gadis tersebut tak berani untuk mendekat. Seperti ada sambungan tak terlihat bintik-bintik air mata juga akan ditemukan di kelopak mata bapaknya, walaupun mungkin ia tidak mengerti kenapa hal itu terjadi. Tidak untuk sang gadis, yang meyakini bahwa kotak-kotak kenangan masih tersimpan, meski bukan lagi di pikiran, namun kenangan dihati akan selalu sama.

Tiga bulan sudah sang bapak didiagnosis oleh dokter menderita Alzaimer. Sifat keras kepala dari sang bapaklah yang memperlambat proses pendiagnosisan tersebut. Meskipun gejala tersebut telah diketahui semenjak dua tahu terakhir, usaha untuk sedikit memperlambat laju penyakit tersebut tak pernah terwujud.

Hingga suatu malam bapak tak sadarkan diri, dan kamipun akhirnya mempunyai kesempatan membawanya kerumah sakit untuk dirawat secara lebih intensif. Bapak, laki-laki paling berani dalam hidupku. Lelaki yang mengajarkanku banyak hal tentang kehidupan dan bagaimanakah hidup. Lelaki yang sangat saya hormati kini hanya bisa berkata “siapa kamu?” setiap kali bertatap muka denganku. Tak pernah bisa aku menjawab pertanyaan tersebut, karena bagiku pertanyaan tersebut sangat menyakitiku. Apa yang bisa aku perbuat?, siapa yang bisa aku salahkan ketika memori diotaknya terampas oleh penyakit bernama Alzaimer.

Sebagai anak, aku ingin sekali memeluknya saat seperti itu. Ingin sekali berjabat tangannya. Ingin sekali aku sandarkan kepala dipundaknya sekali lagi. Hanya sekali saja. Bagaimana bisa aku melakukannya jika setiap kali aku mendekat ia seolah ingin menghindar, karena kini aku hanyalah orang asing di kehidupannya.

Seringkali kutemui bapak termenung, seolah-olah sedang memikirkan banyak hal. Ingin sekali aku menjadi temannya bercerita. Namun, tak mungkin itu terjadi. Lorong sepi, nan sunyi menjadi jalan yang kini bapak lewati.

Aku sungguh berharap agar bapak tidak pernah merasa sendiri. Karena do’a kasih sayang dan harapan, akan selalu menemani dalam setiap langkah bapak. Bagaimanapun bapak tetaplah Superhero ku. Lelaki pertama dalam hidupku yang mengajarkanku bagaiamana mencintai dan menjaga dengan begitu tulus. Kini biarkan aku membuktikannya padamu bahwa apa yang telah engkau ajarkan sepenuhnya berhasil. Terimakasih bapak, aku akan selalau disini untuk bapak, tak pernah terbesitpun pikiranku untuk beranjak mundur meninggalkan bapak, yang ada hanya bagaiamanakah kakiku ini melangkah maju, memelukmu semakin erat meski fisikmu tak bisa untuk kurengkuh lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun