Isu lingkungan bukanlah perkara baru dan banyak organisasi dunia menaruh perhatian pada persoalan ini. Tapi bagaimana kita, masyarakat awam dapat berkontribusi bagi perbaikan dan pelestarian lingkungan?
Tanah Ibu Kami (2020) dan Semes7a (2019) mengajak kita duduk sejenak dan memahami gerakan 'mereka' menyikapi kompleksnya persoalan ini.
Rumitnya Isu Lingkungan
Beragam kampanye konservasi alam hingga Perjanjian Paris telah menyerukan krisis iklim dan pentingnya pelestarian lingkungan. Namun, konferensi #KrisisIklim di Madrid Desember 2019 lalu menunjukkan, komitmen negara-negara seluruh dunia dalam membatasi pemanasan global dan penurunan emisi, masih tergolong lemah.
Artikel VOA menyebut, dialog antar negara dalam konferensi itu, terkait cara pendanaan langkah perubahan iklim, masih belum menemui kata sepakat. Padahal, dilansir dari National Geographic, 95% aktivitas manusia berdampak langsung pada peningkatan suhu bumi dalam 50 tahun terakhir.
Indonesia misalnya, kita tahu ada banyak kasus pembakaran hutan demi kepentingan industri yang memicu perubahan iklim. Belum lagi isu penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan, justru berpotensi merusak ekosistem laut.
Dilansir dari Tirto, senyawa gas rumah kaca yang seharusnya menjaga suhu bumi agar tetap stabil, justru kian melewati batas jumlah idealnya. Alhasil, lapisan atmosfer kian tebal sehingga jumlah panas bumi yang terpendam dalam bumi makin banyak. Tak ayal, pertanyaan seperti, "Kok bumi makin panas sih?" jadi lebih sering kita lontarkan.
Film Mengambil Peran
Di titik inilah, kedua film dokumenter berjudul Tanah Ibu Kami dan Semes7a hadir. Kedua film yang sama-sama melakukan ekspedisi keliling Indonesia ini bertolak dari titik yang sama, yakni menyuarakan upaya pelestarian lingkungan.
Lewat film Semes7a, kita melihat bagaimana masyarakat dengan identitas agama, budaya, hingga kearifan lokal yang mereka percayai, bertindak menyikapi perubahan iklim. Sementara itu, Tanah Ibu Kami menjadi cerminan gigihnya perempuan di Indonesia melindungi bumi, tempat mereka bernaung selama ini.
Pertanyaannya adalah, mengapa film dokumenter?
Film menjadi salah satu alat komunikasi massa yang lekat dengan sifat keterbukaannya (Wikonanda, 2017). Layaknya surat kabar, film memungkinkan kamu, keluargamu, bahkan seluruh negeri mengakses segala pesan yang tercantum di dalamnya. Selain itu, bahasa audio visual film yang mengandung unsur sinematik dan naratif dapat menunjang proses transimisi pesan (Suryanto & Amri, 2018).
Sementara itu, McQuail dalam bukunya Teori Komunikasi Massa menyebut, satu dari tiga elemen penting dalam sejarah film adalah gerakan film dokumenter. Ia cenderung mengandung elemen realisme yang kuat dan sering muncul saat ada krisis sosial.
Baik film Tanah Ibu Kami dan Semes7a, keduanya tergolong film dokumenter. Mereka masuk jenis film non fiksi yang materinya berdasarkan kenyataan, bukan rekaan. Ia dibuat dengan menyajikan fakta-fakta berdasarkan nilai yang menyangkut kehidupan, situasi nyata, dan lingkungan hidup (Utami, 2010).
Nicholas Saputra produser film Semes7a dalam wawancara dengan Tempo menyebut, dokumenter punya kekuatan lebih bila ingin membangun isu lingkungan. "Kejadian yang aktual, akurat, dan natural sehingga orang lebih bisa dekat dan percaya."
Lantas, bagaimana kedua film ini menyajikan filmnya?
Perempuan dan Lingkungan
Selama 55 menit saya duduk bersila di kamar, menyaksikan Febriana Firdaus dan perjalannya mengunjungi perempuan pelindung bumi. Perjumpaannya dengan para Kartini Kendeng, Mama Lodia, Aleta, Eva Bande, dan Wiza jadi inspirasi saya dan perempuan muda di mana pun kamu berada dalam menghadapi persoalan lingkungan.
Gerakan para perempuan ini dapat kita lihat dari perspektif feminis. Astuti (2012) menyebut usaha ini sebagai ekofeminisme, yang merespons adanya eksploitasi alam. Lebih lanjut, gerakan ini terjadi di kalangan perempuan dari berbagai daerah dan profesi untuk menyelamatkan lingkungan hidup.
"Kita pantang menyerah, harus maju karena ini untuk anak cucu kita yang akan datang. Kalau itu semua rusak, kita semua yang akan tanggung jawab," ujar Sukinah, seorang Kartini Kendeng.
Dalam tulisan yang sama, Astuti melihat bahwa gerakan perempuan pedesaan melindungi lingkungan terlihat lebih nyata. Pasalnya, merekalah yang sehari-harinya berhubungan langsung dengan alam, dan jadi yang paling terdampak bila alam tercemar, bukan masyarakat kota. Tak ayal, perjuangan mereka keras dan mempertaruhkan banyak hal.
Kejadian di Mollo dan Kendeng misalnya, seorang Kartini Kendeng harus meninggal usai aksi protes pembukaan pabrik semen di depan istana presiden. Para perempuan Mollo terpaksa menenun di Gunung Batu berhari-hari hingga cedera fisik dan psikologis, meninggalkan rumah dan pertanian mereka demi menghentikan perusahaan tambang.
Ironisnya, baik Kartini Kendeng maupun perempuan Mollo, keduanya menghadapi ancaman yang sama terkait kebutuhan mendasar semua makhluk, air.
Pada titik ini, Wiza seorang aktivis yang melawan perusakan Taman Nasional Leuser berujar,
"Most of us living in the city, the case of illegal logging, poaching, encroachment it may all sound very far away, but imagine being there, living there."
Keberagaman yang Sederhana
Masyarakat yang berjalan menuju pantai sambil mempersembahkan sesajen jadi pembuka film Semes7a. Tagline film "mereka yang merawat Indonesia", jadi penuntun kita pada ciri dokumenter yang dapat menggunakan keberagaman sudut pandang dalam menyajikan suatu tema.
Rangkaian doa yang dipanjatkan dalam ritual Melasti--sebagai persiapan Hari Raya Nyepi--bukanlah demi aspek keagamaan semata. Perayaan ini jadi sarana bagi bumi dan manusia untuk beristirahat dan memulihkan diri.
Dalam wawancara saya dengan Adel, warga Bali yang turut merayakan Nyepi, ada konsep Catur Brata yang mengatur ritual perayaan ini. "...tidak boleh menyalakan api, tidak boleh kerja, tidak boleh bepergian sama tidak boleh senang."
Sebagai dampak Nyepi, Semes7a menegaskan bahwa sebesar 30.000 ton karbon atmosfer bumi berhasil dihemat dan hingga sepertiga emisi harian di Bali berhasil dikurangi. Dilansir dari Opini.id, Nyepi dapat menghemat tiga juta liter BBM kendaraan bermotor dan menghemat listrik Bali sebesar 60% atau 290 Megawatt.
Selanjutnya, Strong (dalam Astuti, 2012) menyebut perbaikan bumi terletak pada penghormatan hukum alam yang dipahami oleh masyarakat asli tradisional. Mengibaratkan tanah adalah ibu dan air adalah darah, masyarakat adat Sungai Utik menjadi pengelola hutan.
Merekalah salah satu harapan terbesar kita dalam menekan laju deforestasi demi perlindungan hutan. Segala tradisi dan aturan adat yang berlaku menjadi alat untuk menjaga sumber penghidupan mereka selama ini.
Tradisi Sasi, penggunaan energi terbarukan, kesadaran manusia sebagai penanggung jawab alam dalam perspektif keagamaan, mengantarkan kita pada pemahaman bahwa apa pun agamanya, manusia harus mengambil peran dalam melindungi alam ciptaan-Nya.
Selain itu, keluarga dan profesi kita sehari-hari sebenarnya dapat diiringi dengan perspektif ekologi. Tuntutan hidup di daerah urban pun bukan halangan bagi kita, jika ingin terlibat dalam pelestarian lingkungan. Kita dapat memulai dari keyakinan dan kemampuan kita masing-masing.
Tekad dan keberagaman yang sederhana adalah pesan yang dapat diperoleh dari film dokumenter ini. Siapa pun kamu, apa pun agama, budaya, dan profesimu, di mana pun kamu tinggal, selalu ada kesempatan untuk mengusahakan pelestarian lingkungan.
Mulailah dari hal sederhana yang kamu niatkan dan terbiasa untuk disanggupi. Coba ingat-ingat lagi, menahan diri untuk #dirumahaja di awal pandemi, sempat membuat idaman langit biru ibu kota terwujud.
DAFTAR PUSTAKA
Astuti, T. M. P. (2012). Ekofeminisme dan peran perempuan dalam lingkungan. Indonesian Journal of Conservation, 1(1). DIakses pada 14 Desember 2020 dari https://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/ijc/article/view/2064/2178
Febriansyah. (2019, Desember 6). Penyebab Perubahan Iklim, Fata dan Solusinya. Tirto.id [Online]. Diakses pada 11 Desember 2020 dari https://tirto.id/penyebab-perubahan-iklim-fakta-dan-solusinya-emYU
Kurniawan, D. (2020, Maret 30). Perubahan Iklim, Sebuah Pengetahuan Dasar dari Sederet Masalah Besar. National Geographic. [Online]. Diakses pada 11 Desember 2020 dari https://nationalgeographic.grid.id/read/132032481/perubahan-iklim-sebuah-pengetahuan-dasar-dari-sederet-masalah-besar?page=all
McQuail, D. (2011). Teori Komunikasi Massa. Jakarta: Salemba Humanika. Diakses pada 14 Desember 2020 dari https://difarepositories.uin-suka.ac.id/122/1/Teori%20Komunikasi%20Masa%20McQuail.pdf
Suryanto, H., & Amri, M. (2018). Film as cultural diplomation assets. Capture: Jurnal Seni Media Rekam, 9(2), 47-55. Diakses pada 14 Desember 2020 dari https://jurnal.isi-ska.ac.id/index.php/capture/article/view/2089/2008
Utami, C. D. (2010). Film Dokumenter Sebagai Media Pelestari Tradisi. Acintya Jurnal Penelitian Seni Budaya, 2(1). Diakses pada 11 Desember 2020 dari https://jurnal.isi-ska.ac.id/index.php/acintya/article/view/93/93
Tempo. (2019). Nicholas Saputra: Orang Kebingungan terhadap Isu Perubahan Iklim. Diakses pada 14 Desember 2020 dari https://koran.tempo.co/read/tamu/448643/nicholas-saputra-orang-kebingungan-terhadap-isu-perubahan-iklim?read=true
VOA. (2019). Perundingan tentang Perubahan Iklim Berlangsung di Madrid. Retrieved from https://www.voaindonesia.com/a/perundingan-tentang-perubahan-iklim-berlangsung-di-madrid-/5191501.html#:~:text=Konferensi%20dua%20minggu%20yang%20diadakan,suhu%20pada%20zaman%20pra%2Dindustri
Wikonanda, D. H. (2017). Penggambaran Maskulinitas Pria dalam Film Indonesia (Analisis Isi Pada Film Catatan Si Boy, Ada Apa Dengan Cinta Dan Axelerate The Series episode The Finale) (Doctoral dissertation, University of Muhammadiyah Malang). Diakses pada 14 Desember 2020 dari http://eprints.umm.ac.id/35411/3/jiptummpp-gdl-dimasharit-49653-3-babii.pdf
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H