Kalau menyaksikan film dengan alur cerita percintaan dengan unsur pernikahan, barangkali kita akan langsung menyebutnya sebagai film romantis. Padahal selain romantis, ternyata ia punya gandengan genre lain, salah satunya the wedding film.
Wedding film menaruh fokus cerita pada perjalanan seputar pernikahan, entah akan atau pun sudah menikah. Saya hendak mengajak Anda untuk mengulik salah satu film bergenre ini yang berjudul Forever My Girl (2018).
Jatuh itu biasa, bangkit itu luar biasa.
Pepatah klise ini menggambarkan keadaan Josie usai tak jadi menikah dengan tunangannya, Liam. Setelah ditinggal tanpa kejelasan, Josie harus menjadi single parent bagi Billy, putri semata wayangnya.
Delapan tahun berselang, tiba-tiba Liam muncul lagi di hadapan mantan tunangannya itu. Kalau jadi Josie, apa yang akan Anda lakukan?
Sembari memikirkan jawabannya dan barangkali Anda sudah menonton film ini, berikut saya berikan ulasan singkat mengapa film Forever My Girl masuk genre wedding film?
Pertama, genre wedding film dalam buku World Cinema through Global Genres karangan Costanzo (2014) biasanya memiliki tujuan untuk merepresentasikan:
- true love
- personal fulfillment
- ethnic unity
- social status
- tyrannies atau treasures of tradition.
Film Forever My Girl merepresentasikan pernikahan sebagai wujud true love dan personal fulfillment. Dalam film, dikisahkan Liam ternyata tidak melupakan Josie. Ia bahkan masih mengenang sang kekasih dengan menyimpan handphone lama berisi pesan suara ibu Billy tersebut. Apa yang ia sebut cinta itu juga semakin lengkap dengan hadirnya Billy, si buah hati.
Selain itu, masing-masing Liam dan Josie menempatkan pernikahan sebagai sebuah pemenuhan kebutuhan pribadi dari pengalaman dan harapan yang pernah mereka bangun bersama hingga berakhir di pelaminan.
Selanjutnya, kedua tujuan itu berkaitan dengan rintangan yang menurut Costanzo (2014, h. 153) harus dilakukan karakter protagonis untuk mendapatkan ‘hadiahnya’ (kebahagiaan).
"...but the protagonists must always face and try to overcome a set of obstacles before gaining the prize."--Costanzo (2014).
Liam membutuhkan usaha untuk menebus kesalahannya pada Josie, sang anak, dan keluarga yang ia tinggalkan tanpa penjelasan. Di lain pihak, Josie memerlukan waktu delapan tahun untuk kejelasan dari Liam sebelum akhirnya mereka bahagia bersama.
Selanjutnya, kita akrab mendengar bahwa kebahagiaan pernikahan tidak hanya melibatkan dua individu, tapi juga keluarga bahkan komunitas.
Misalnya, keakraban warga St. Augustine, Louisiana yang berkumpul dalam upacara pernikahan hingga bagaimana mereka sempat tampak ‘enggan’ dengan kembalinya Liam yang tiba-tiba.
Keempat, perjalanan menuju ‘altar kebahagiaan’ itu, menurut Costanzo (2014, h. 153) lekat ditampilkan dengan ritual pernikahan ala Amerika, seperti kerudung, gaun, hingga cincin sebagai lambang bersatunya dua insan.
“he in a new tux and top hat, she in a modest but resplendent white gown... The church pulsates with excitement and solemnity. Both sides of the aisle, festooned with flowers and candles, are filled with family and friends... There is the exchange of vows, the token rings, the kiss, the audience’s sighs, and then the organ breaks...”— Costanzo (2014).
Dari kriteria tradisi pernikahan di atas, kita tahu bahwa hanya iringan musik organ yang diganti dengan soundtrack Finally Home saat Liam dan Josie resmi menjadi sepasang suami istri.
Jawaban sederhananya ialah genre itu progresive dan terus berubah sehingga memunculkan hybridisation (hibridisasi).
"Genre is a constant process of negotiation and change."-- David Buckingham
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H