"Saya percaya di dunia ini tidak ada seorang pun yang tidak pernah merasakan kehilangan. Karena sejatinya tidak ada sesuatu yang abadi di dunia ini. Dan saya yakin, setiap orang pun pasti sepakat bahwa sepahit-pahitnya kehilangan adalah saat ditinggalkan oleh orang tercinta untuk selamanya."
Berbicara tentang kehilangan, rasanya diri ini tidak mampu menampik dan menghindari kenangan penuh duka dan air mata yang menghiasi masa kanak-kanak saya dahulu. Bahkan hingga saat ini pun, rasanya kedua mata saya akan selalu berlinang ketika pikiran ini seketika mengawang membayangkan kembali masa-masa kelam itu.
Apakah Anda pernah membayangkan bagaimana seorang anak terbangunkan tidurnya saat tengah malam karena mendengar kabar duka dan orang-orang menangis sesenggukan di sekitarnya? Apakah Anda pernah membayangkan bagaimana rasanya dijemput pulang dari sekolah secara tiba-tiba, lalu ketika sampai di rumah disambut oleh bendera kuning terpasang di depan halaman rumah?Â
Anda pernah merasakan bagaimana rasanya kehilangan dua orang tercinta untuk selamanya hanya dalam perbedaan waktu tepat seminggu? Jika Anda pernah, maka kisah kita tidaklah jauh berbeda.
Sebagai manusia biasa dan sebagai seorang anak berumur 10 tahun kala itu, momen tersebut tentu tidak pernah terbayangkan, pun tidak ada seorang anak yang berharap demikian dalam menjalani masa kanak-kanaknya. Tapi, Tuhan berkata lain dan berkuasa atas segala kehendak-Nya. Sejak saat itu, saya, adik, dan kakak-kakak kandung saya resmi mendapatkan gelar baru, sebagai anak Yatim Piatu. Gelar yang tidak pernah diharapkan dan tidak pernah disebutkan dalam doa.Â
Menjadikan Kehilangan Sebagai Nasihat Kesehatan
Sebagai seorang Muslim, saya diajarkan bahwa kehilangan atau kematian seseorang seyogianya cukup dijadikan sebagai sebuah pelajaran, nasihat, serta pengingat bagi setiap orang yang masih bernyawa. Namun, selain pengingat untuk meningkatkan kualitas beribadah, nasihat lain yang perlu diperhatikan adalah pentingnya menjaga salah satu aset yang paling berharga dalam diri kita selama hidup, yaitu kesehatan.
Sebelum wafat Ayah saya memang sudah menderita sakit Diabetes selama beberapa tahun. Masih terekam jelas dalam memori ingatan saya, saat menjelang dan memasuki usia setengah abad Ayah banyak menghabiskan hari-harinya hanya dengan berbaring dan tidur di atas amben (bahasa sunda) semacam bale bambu di teras rumah, makan dengan kemampuan gigi mengunyah yang sudah payah, terkadang juga duduk sambil menonton televisi. Ada satu kebiasaan Ayah lainnya yang tidak pernah saya lupakan adalah segelas besar teh manis yang harus selalu hadir menemaninya hampir di setiap waktu.Â
Tidak lama setelah kepergian Ayah, Ibu pun mulai jatuh sakit. Sepertinya saat itu, Ibu belum sepenuhnya menerima kepergian Ayah untuk selamanya dan merasa shock berat. Keadaan tersebut membuat kondisi fisiknya lemah tak berdaya selama beberapa hari, hingga akhirnya sakit paru-paru yang pernah diidapnya pun kambuh. Bahkan kondisi kesehatan Ibu lebih parah dibanding Ayah, karena Ibu sempat dirawat dalam ruang ICU (Intensive Care Unit) di Rumah Sakit Umum kala itu. Ruang ICU itu pulalah yang akhirnya menjadi saksi bisu detik-detik terakhir Ibu menghembuskan nafas terakhirnya, tepat pada hari Selasa, seminggu setelah meninggalnya Ayah.Â
Pengalaman Pribadi Rawat Inap Seminggu di Rumah Sakit
Pentingnya menjaga kesehatan sebagai aset berharga dalam diri kita, memang tidak perlu ditawar-tawar lagi. Tidak ada nikmat hidup yang lebih berharga dan bermakna selain merasakan nikmat sehat itu sendiri. Sederhana saja, karena sehat itu aset. Saya pribadi pun pernah merasakan betapa tidak enaknya menghabiskan waktu selama seminggu di Rumah Sakit karena kondisi kesehatan saya yang memburuk pada tahun 2013.
Kala itu, saat dini hari pukul 03.00, sepulang dari family tour ke Bandung bersama guru-guru di yayasan sekolah tempat saya mengajar, saya mulai merasakan nafas yang sesak dan sulit tidur karena setiap saya berbaring, saya merasakan seperti adanya gumpalan darah yang bergejolak dalam dada hingga kerongkongan saya. Sontak keadaan tersebut cukup membuat saya panik dan khawatir.
Sesampainya di Rumah Sakit, diperiksa, dipasang infus, dan beristirahat, sambil ditemani kerabat dan anggota keluarga, akhirnya pihak Rumah Sakit pun memberitahu hasil diagnosa bahwa saya mengalami luka atau infeksi pada paru-paru, sehingga cara penanganan dan pengobatannya persis sama seperti penyakit paru-paru lainnya, seperti TBC (Tuberculosis), dan lain sebagainya. Saya pun menjalani rawat inap selama sekitar seminggu, lalu pengobatan dilanjutkan dengan mengonsumsi obat-obatan secara rutin setiap harinya selama 6 bulan lamanya. Setelah mengetahui hasil diagnosa bahwa saya terkena infeksi paru-paru, saya pun berpikir mencari tahu penyebab yang membuat saya seperti ini. Karena perlu diketahui, saya bukanlah seorang perokok dan peminum minum-minuman keras.Â
Akhirnya saya menyadari, sekitar seminggu terakhir sebelum jatuh sakit, saya memang disibukkan dengan kegiatan sebagai panitia bookshop atau panitia persiapan pengadaan buku tahun ajaran baru di yayasan sekolah tempat saya mengajar. Maklum, dengan jumlah murid yang cukup banyak di sekolah kami, jumlahnya sampai ribuan murid, lalu ditambah jumlah buku yang cukup banyak untuk dipersiapkan, maka memaksa kami saat itu untuk mengejar target packing buku hingga berlarut-larut malam selama beberapa hari. Apalagi saat itu kami mengejar target juga untuk bisa ikut di acara family tour ke Bandung, seperti yang saya sempat tuliskan di atas.
Aset Paling Berharga, Harus Selalu Dijaga
Berangkat dari riwayat keluarga, ditinggalkan oleh Ayah dan Ibu karena sakit yang mereka derita, lalu pengalaman saya secara pribadi yang pernah merasakan rawat inap di Rumah Sakit karena sempat mengalami infeksi paru-paru, maka tidak ada cara lain selain harus selalu menjaga kesehatan tubuh dan menjadikannya prioritas utama. Dalam hal ini, tentu saja kita perlu setuju dan satu suara bahwa sehat itu aset. Karena apalah artinya kerja keras kita setiap hari untuk mendapatkan pundi-pundi rupiah, membeli barang-barang yang diinginkan, bahkan untuk membahagiakan orang lain tanpa memperhatikan kesehatan kita sendiri.Â
Berusaha mengumpulkan aset dan investasi untuk masa depan itu memang baik, tapi terkadang kita lupa bahwa sebenarnya aset dan investasi paling berharga dalam diri kita adalah kesehatan kita sendiri. Tanpa kesehatan, tentu kita tidak bisa beraktivitas dengan lancar dan berkumpul bersama orang-orang tercinta.Â
- Mengatur pola makan dengan memperhatikan asupan yang cukup, bergizi, dan sesuai porsi. Sebisa mungkin menghindari kebiasaan konsumsi junk foods dan makanan tidak sehat lainnya.
- Memperbanyak minum air putih.
- Mengubah mindset olahraga sebagai gaya hidup, bukan sebagai hobi, dan menjadikannya sebagai rutinitas harian atau mingguan.
- Memperhatikan waktu tidur dan istirahat yang cukup setiap harinya.
- Tidak memforsir tubuh untuk mengerjakan pekerjaan berat.
- Meminimalisir kebiasaan begadang, sebisa mungkin untuk tidak begadang.
- Berusaha untuk selalu berpikiran positif terhadap apapun.
Melindungi Aset Berharga dengan Perlindungan Tepercaya
Selain usaha dalam diri yang dilakukan setiap hari demi menjaga kesehatan sebagai aset paling berharga, memilih asuransi kesehatan tepercaya seperti Sun Medical Platinum sebagai partner untuk melindungi aset berharga yang kita miliki juga tidak kalah pentingnya. Â Mengapa? Seperti kata peribahasa, sedia payung sebelum hujan, maka saat kita sudah berusaha untuk selalu menjaga kesehatan, tetapi sakit dan penyakit terkadang menjadi risiko yang dapat menimpa kapan saja, bahkan pada saat tidak terduga sekalipun.Â
Berikut ini adalah beberapa manfaat yang bisa kita rasakan dari Sun Medical Platinum, lengkap beserta Syarat dan Ketentuannya.
***
Dibalik rasa kehilangan seperti yang saya rasakan, pasti ada hikmah yang bisa dipetik, termasuk nasihat untuk lebih menjaga kesehatan sebagai aset paling berharga dalam diri. Mari kita jaga aset berharga ini dengan cara dan perlindungan terbaik.