Namun satu hal yang ajaib, aku selalu dapat merasakan bahwa Mbak Endang adalah orang yang baik, lebih tepatnya “orang gila yang baik”. Didalam hati, sebenarnya Aku selalu merasa kasihan padanya. Namun waktu itu aku hanyalah anak-anak, yang masih sibuk bermain dengan egonya sendiri. Cerita yang pernah kudengar menyebutkan bahwa mbak endang mulai menjadi gila ketika suaminya meninggalkannya untuk perempuan lain, dan anaknya hilang entah kemana, itu saja. Dan kegilaan Mbak Endang ini akhirnya menjadi mitos bagi anak-anak kecil nakal yang ada di lingkungan kami. “Jika nakal, maka nanti akan dibawa/diculik oleh Mbak Endang”.
Kadang kuajak ia bicara ringan. Sekedar menanyakan ia sudah makan atau kemana saja ia pergi berjalan hari ini.
Kadang Mbak Endang bisa sangat lancar berceloteh, namun dilain waktu ngomongnya ngelantur entah kemana.
Namun aku senang saja waktu itu dan tak berhenti bertanya. Bisa kulihat sisa rona kehalusan kulit di wajahnya yang sudah mulai keriput. Seolah pernah ada kejayaan disana. Itulah kenapa mbak endang selalu menjadi misteri, sekaligus daya tarik yang memikat hati. Karena bersamanya aku merasa seperti terhubung, bersamanya imajinasiku tentang kemanusiaan melesat jauh, melampaui tingginya daun jati yang melambai tertiup angin sore dihadapanku.
Mbak endang hampir seperti orang gila yang waras .Sedangkan aku, hampir seperti orang waras yang gila. Mungkin itu mengapa kami berdua menjadi sangat cocok. Iapun tampaknya menaruh hormat tersendiri padaku. Seringkali, ia membagi dua kue kotor yang ada tangannya, yang entah darimana untuk ditawarkan padaku. Akupun memakannya tanpa berfikir panjang.
Sering kami “mengobrol” dengan cukup panjang satu sama lain. Bercerita tentang hal-hal yang sepele. Kadang mbak endang menjawab dengan tidak nyambung, namun terkadang kembali nyambung lagi. Bahkan sering pula ia terdiam dalam jangka waktu yang cukup lama. Mbak endang selalu bangga memamerkan buah mangga sisa dimakan kelelawar yang ditemukannya dihalaman rumah noni sahabatku. Sering ada 2-3 buah manga di WC nya sebagai persediaan makanan. Juga ada buah sawo dan terkadang jambu biji. Acapkali diambilkannya buah-buah itu dan diberikan padaku sebagai suguhan. Kumakanlah buah-buah itu dengan sukacita.
Begitulah hati seorang anak kecil, murni tak berprasangka.
Diam-diam aku menyayanginya.
Henri Amel pernah berkata :
“Masa kanak-kanak diberkati oleh syurga karunia,
Membawa sepotong nirwana kedalam kekejaman hidup.
Semua ribuan kelahiran setiap hari adalah tambahan segar kepolosan
Dan kemurnian untuk melawan alam kita yang rusak”.
Bahkan dengan segala keterbatasannya sekalipun, mbak endang masihlah orang yang pemurah. Begitupun anak kecil, aku tak ambil pusing darimana mbak endang mendapatkan uang recehannya. Sering kuminta uangnya meskipun Cuma 50 rupiah untuk beli jajan.Tampaknya mbak endangpun tak pernah tega padaku. Kulihat ia membuka genggaman tangannya yang basah oleh keringat. Terlihat banyak recehan disana. Daki-daki hitam melekat di uang receh yang berada digenggamannya. Ada rasa hangat yang berasal dari tangannya sewaktu ia menyerahkan uang 50-an yang bergambar burung padaku.
Akupun mengelap uang itu dengan bajuku dan lalu berlari senang
“…matur suwun yo mbak …..!”
( “terima kasih ya mbak..”) begitu ucapku.
Begitulah, kebaikan hati perempuan gila yang aku panggil mbak endang. Bagian cerita dari masa kecil ini pulalah mungkin yang memberikan pelajaran untuk menjadi manusia yang lebih murah hati. Betapa kita manusia tak pernah mampu menduga darimana kita akan belajar tentang makna sebuah kebaikan.
Pelajaran mengenai kebaikan bahkan datang dari hal sederhana yang tidak rumit. Kemurnian masa kecil dan “kebijaksanaan” seorang gila, mungkin dapat menjadi sebuah cerminan.
Bertahun-tahun berteman dengan seorang perempuan gila, aku beranjak dewasa dengan membawa satu pelajaran penting tentang arti kepedulian serta kepekaan bagi sesama. Bahwa disetiap kegilaan pasti ada kewarasan meski sedikit. Dan di setiap kesempurnaan, pastilah ada cacat meskipun tak tampak.
Di momen itulah aku bertolak,
Di momen yang lebih banyak diam daripada bicara.
Dimana begitu banyak pertanyaanku tentang mbak endang, akhirnya tak pernah terjawab.