Mohon tunggu...
Farhan Muhammad Aditomo
Farhan Muhammad Aditomo Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis lepas

Penulis lepas dengan minat yang beragam, dari sosial- politik,sejarah, hingga budaya populer. Lulusan Ilmu Sejarah dan Ilmu Hubungan Internasional.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Potensi Indonesia Masa Depan sebagai Blue-Water Navy: Omong Kosong atau Ubah Arah?

22 Oktober 2023   23:46 Diperbarui: 29 Mei 2024   20:43 548
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi blue-water navy. foto dari Pixabay

Dalam visi-misi Koalisi Indonesia Adil Makmur, tercatat calon dwitunggal Anies Rasyid Baswedan- Abdul Muhaimin Iskandar (ARB-AMI) punya ide bahwasanya Indonesia perlu menjadi Blue-Water Navy. Manifesto politik tersebut tentu  selaras dengan visi dan misi GMF Jokowi yang keluar sekitar hampir satu dekade silam.

Jelas, upaya untuk menjadikan Indonesia sebagai  Blue-Water Navy bukanlah tugas yang mudah. Jangankan begitu, menjadi Green-Water Navy  dan mengawal lautan sendiri saja sudah kesulitan. Keinginan "Omong-kosong-atau-ubah arah" yang belum jelas ini tampak karena keduanya lantas juga mau mencapai "keseimbangan" dalam posisi Indonesia dalam inisiatif global seperti Belt and Road Initiative (BRI), Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), dan kerja sama dengan para anggota BRICS, terlebih dengan dua negara tetangga maritim Indonesia,Republik Rakyat Cina dan India.

Sebagaimana diutarakan oleh banyak pengamat, diperlukan puluhan tahun dan komitmen yang berkelanjutan untuk menjadikan Indonesia sebagai Blue-Water Navy yang tangguh. Meskipun manifesto ini terdengar bagus dan terkesan bombastis, banyak yang tetap skeptis dengan hasil akhirnya. 

Dalam artikel berjudul  What Makes a Real "Blue Water Navy"? Here's a List, karya Robert Farley ada beberapa skeptisisme yang perlu diperhatikan oleh para stakeholder  Indonesia nantinya.

Pada zaman dulu, seperti yang dipahami oleh sokoguru kekuatan laut  Alfred Thayer Mahan, untuk menjadi Blue-Water Navy, suatu negara memerlukan sejumlah stasiun penyaluran bahan bakar yang dapat diakses selama masa perang. Stasiun ini bisa berupa koloni, sekutu, atau keuangan yang kokoh. Meskipun tampaknya sudah "usang" prinsip dasar ini tetap relevan, dan ini menciptakan dilema serta hambatan besar dalam hal utang luar negeri Indonesia yang masih jauh dari kata lunas.

Perlindungan terhadap kapal selam musuh adalah aspek penting yang harus diperhatikan oleh negara yang mau punya Blue-Water Navy, di mana hal ini berarti Indonesia harus punya armada kapal selam sendiri. Ini juga merupakan tantangan kedua bagi Indonesia, mengingat jumlah dan kualitas kapal selam Indonesia masih kalah jika dibandingkan dengan Singapura yang seukuran DKI Jakarta. Artinya, TNI-AL harus menghela keempat kapal selam-nya yang tersisa dari Selat Malaka hingga Laut Arafura, sebuah situasi yang cukup ironis.

Logistik juga merupakan elemen penting dalam membentuk Blue-Water Navy.Kemampuan untuk mengelola pasokan makanan, bahan bakar, suku cadang, amunisi, serta waktu istirahat untuk awak kapal serta pemulihan dari jarak jauh dari pangkalan asal sangat vital.Aspek teknis dan diplomatis yang kuat diperlukan untuk menjaga perubahan arah dan peningkatan dalam hal logistik, dan hal ini seharusnya dapat menjadi salah satu prioritas dan  fokus utama TNI-AL dalam waktu dekat mengingat wilayah laut Indonesia perlu pengawasan ekstra apabila dibandingkan negara-negara tetangganya.

Kekuatan udara juga memiliki peran yang sangat penting dalam transformasi TNI-AL menjadi upaya yang cukup utopis. Pasalnya, untuk punya kapal induk tipe CATOBAR (kapal induk tradisional seperti yang dimiliki Amerika Serikat dengan pesawat lepas landas menggunakan ketapel) atau STOBAR (dengan ski-jump, serupa dengan Republik Rakyat Cina) memerlukan investasi yang besar bagi Penerbal (korps penerbangan TNI-AL). Oleh karena itu, kemampuan untuk meluncurkan serangan jarak jauh terhadap target darat, seperti yang dilakukan oleh Royal Navy selama Perang Falklands dengan kapal induk STOVL (atau kapal induk pengangkut helikopter dan pesawat jump-jet ) tampaknya masih perlu ditinjau ulang oleh Indonesia.

Selanjutnya, tanpa pengalaman yang memadai, rencana jangka panjang untuk pengembangan kelompok pendukung kapal induk mungkin hanya menjadi omong kosong. Pengalaman adalah kunci untuk menghadapi tantangan yang muncul ketika beroperasi dalam jarak jauh dari pangkalan. Minimalnya, Indonesia bisa belajar dari Thailand dan Spanyol dalam rangka operasionil kapal induk STOVL.

Kesimpulan

Pada akhirnya, ada satu hal penting yang perlu diperhatikan.Track record TNI-AL mengenai persoalan ketersediaan alutsista (alat utama sistem pertahanan) angkatan laut yang cukup miris tentu jadi cermin yang perlu diperhatikan bagi calon dwitunggal ARB-AMI apabila terpilih. Meski begitu, terpilih ataupun tidak, optimisme serupa harus tetap hadir karena potensi Indonesia dalam hal kekayaan laut dan sejarah maritim yang panjang memberikan alasan kuat untuk terus berusaha mencapai cita-cita besar ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun