Saya besar di era 90-an, di mana ketika itu penyanyi cilik masih menjamur, sama menjamurnya dengan boyband/girlband sekarang namun dengan segmen yang berbeda. Saya masih ingat ketika saya dulu mengidolakan Maisy, Chikita Meidy, Trio Kwek-Kwek, Ria Enes&Susan dan lagu-lagu mereka dulu juga sering dinyanyikan oleh teman-teman saya di sekolah. Saya dulu bahkan sampai membujuk orangtua saya agar membelikan albumnya Maisy dan Ria Enes&Susan karena begitu nge-fans-nya saya dengan mereka. Maisy, jika kamu membaca tulisan ini, ketahuilah bahwa saya nge-fans dengan kamu!
Dulu penyanyi cilik begitu populer, saking populernya, pangkat mereka naik menjadi artis cilik. Sangat berkebalikan dengan sekarang. Penerus tongkat estafet penyanyi cilik hampir tidak ada. Maisy-Maisy generasi baru hampir tidak pernah menghiasi TV. Atau mungkin ada tapi tidak di-support oleh media? Dan mentoknya paling videonya hanya bisa kita dapatkan di lapak-lapak VCD bajakan. Kalaupun ada ajang pencarian bakat menyanyi yang katanya mencari calon idola anak-anak, maka itu sama saja kita ngupil dengan memakai sarung tinju. Sia-sia! Karena dulu saya sempat melihat para kontestan di ajang pencarian bakat menyanyi tersebut telah terkontaminasi dengan lagu-lagu dewasa. Mereka dibentuk sebagai calon idola anak-anak tapi secara ideologi, tidak ada ideologi anak-anak di sana. Hampir sama dengan anggota BEM yang berkoar-koar di jalan, tapi dia tidak memiliki ideologi yang pasti, dan berkoar-koarnya hanya karena dia tuntutan dia adalah anggota BEM. Loh, kenapa tulisan ini sampai ke situ?
Sebegitu populernya lagu-lagu itu zaman dulu, yang bahkan masih bisa diwariskan hingga anak zaman sekarang. Ini karena, dulu, media membantu mem-blow up lagu-lagu tersebut. Lagu-lagu tersebut diputar di acara-acara anak. Masih ingatkah kamu dengan Tralala Trilili, Dunia Ceria, Cilukba? Jika tidak ada Tralala Trilili mungkin tidak akan pernah ada twitwar antara fans Agnes Monica dan Anggun C. Sasmi di timeline Twitter.
Di tambah lagi, dulu, televisi masih “berbaik hati” menanyangkan kartun-kartun dan film anak-anak, sehingga, dulu, konsep bermain dalam fase anak benar-benar terwujud. Berapa banyak anak yang dulu bermimpi menjadi Power Rangers?
Berbeda dengan sekarang, silakan hitung ada berapa acara anak-anak pada jam 16.00-18.00? Dulu saya ingat Hari Minggu adalah “hari besarnya” anak-anak. Anak-anak begitu dimanjakan dengan tayangan kartun dan film-film anak dari pagi hingga siang. Tapi sekarang, porsi tayangan anak sudah berkurang, bahkan di Hari Minggu. Ketika sore-menjelang malam, televisi malah berlomba-lomba menanyangkan konflik Eyang Subur-Adi Bing Slamet, affair Ahmad Fathanah dengan Vitalia Sesha, dan update terbaru dari Arya Wiguna. Demi Tuhan, itu membuat anak kehilangan imajinasinya!
Dengan tidak adanya “pelampiasan” masa anak-anak, maka anak-anak zaman sekarang mencari “pelampiasannya” dengan mendengarkan/menonton materi-materi yang bukan masanya. Filterisasi konten seharusnya dilakukan oleh orangtua. Orangtua seharusnya pintar memilih konten-konten yang cocok dikonsumsi oleh anaknya, bukan malah membiarkan anaknya mengkonsumsi konten-konten yang tidak mencerminkan masanya atas alasan: biar tidak ketinggalan zaman. Media (terutama televisi) juga berperan penting terhadap perkembangan anak. Wahai media, ayo buatlah acara-acara yang mana anak-anak bisa merasakan dirinya sebagai anak-anak! Kalian tidak ingin, kan, anak-anak sekarang didewasakan sejak dini? Bayangkan saja, apa jadinya bila anak laki-laki berumur lima tahun sudah memiliki kumis dan yang perempuan sudah menimang anaknya?
"Susan, Susan, Susan
Besok gede mau jadi apa?
Aku kepingin pinter
Biar jadi dokter"
(Ria Enes&Susan-Susan Punya Cita-Cita)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H