Mohon tunggu...
Flutterdust
Flutterdust Mohon Tunggu... Mahasiswa - Muhammad Fa'iq Rusydi - Mahasiswa Sejarah dan Peradaban Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Kecil Bergerak

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Review Jurnal Tentang Revolusi Sosial di Brebes Tahun 1945

29 Oktober 2022   03:45 Diperbarui: 21 April 2023   08:43 789
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Revolusi Sosial di Brebes Tahun 1945

Judul : Kedudukan Ulama, Umat Islam dan Kemunculan Haluan Kiri dalam Revolusi Sosial di Kabupaten Brebes 1945

Penulis : Aman

Penerbit : Istoria Jurnal Pendidikan dan Sejarah Vo. 10 No. 1

Cetakan : 2014

Tebal : 25 Halaman

ISSN : 1858-2621 / 2615-2150

 

Setelah berakhirnya pendudukan VOC, Belanda dan Jepang, proklamasi  kemerdekaan dipandang sebagai lambang kebebasan dari segala ikatan yang membelenggu selama masa penjajahan. Dalam hal ini, muncul reaksi terhadap situasi lingkungan yang tengah berubah berupa usaha revolusi sosial. Revolusi sosial di kabupaten Brebes pada bulan Oktober hingga Desember Tahun 1945, menjadi bagian integral dari Peristiwa Tiga Daerah di Karesidenan Pekalongan.
 
Pada saat itu, personifikasi sifat-sifat kolonial dan feodal disandarkan pada Pangreh Praja dan Pejabat Pemerintah, bersumber dari tindak-tanduk mereka sebagai pelaksana pemerintahan yang korup dan sewenang-wenang. Selain itu konflik-konflik yang terjadi di seluruh wilayah Kabupaten, bersumber pada pemilikan tanah yang digunakan oleh orang atau lembaga lain tanpa imbalan yang seimbang. Bila ditinjau dari pendekatan konflik, revolusi sosial di Kabupaten Brebes merupakan peristiwa sah dan wajar muncul karena prinsip keseimbangan yang terganggu.
 
Gejolak revolusi dimulai dengan pembakaran kandang babi, serangan terhadap pabrik gula hingga pembunuhan terhadap orang-orang Indo. Pergolakan tersebut terus menjalar keluar Ibu Kota Kabupaten. Orang-orang 'dengan posisi' yang tindakannya semasa pendudukan Jepang kurang berkenan di hati rakyat, didombreng dan dipermalukan. Bahkan ada upaya untuk dibunuh, salah satunya kepada Lurah Lama, Amran di Krasak yang terkenal sebagai penindas dan pemeras di masa pendudukan Jepang.
 
Namun dibandingkan dengan daerah Tegal dan Pemalang, perkembangan revolusi sosial dan perubahan pemerintahan di Kabupaten Brebes berlangsung lebih lunak. Tidak seorang camat pun terbunuh di Kabupaten ini. Selama pergolakan pada bulan Oktober, komunikasi antara ibukota kabupaten dengan desa-desa di pedalaman menjadi sulit. Banyak yang takut berpergian keluar kota, karena khawatir diculik dan kehilangan nyawa. Namun ada beberapa Pangreh Praja yang berhasil meloloskan diri, ada pula yang tidak diketahui bagaimana nasibnya.
 
Menanggapi situasi sosial yang semakin memburuk, usaha Patih Brebes yang membawa surat Bupati untuk menawarkan peletakan jabatan semua Pangreh Praja terbilang terlambat. Ketegangan di Kota Brebes makin menjadi. Tanggal 18 Oktober malam, Bupati Sarimin Reksadihardja, Patih Palal Pranoto dan sejumlah wedana diculik dan dibawa ke suatu tempat di Tegal Selatan, hingga kemudian dibawa ke sebuah perkebunan milik orang Indo yang telah dibunuh beberapa hari sebelumnya. Berkat nasehat KNI, mereka akhirnya dibawa ke penjara Tegal.
 
Tanggal 27 Oktober, berkat usaha Kartohargo dan Maksum, dikeluarkan pengumuman yang ditandatangani oleh Soekarno-Hatta tentang peringatan untuk rakyat agar tidak bertindak sendiri-sendiri, karena dapat menimbulkan anarki dan tumbangnya republik. Setelah elit birokrasi dicopot, muncul tiga kelompok yang bersaing memperebutkan kekuasaan, yaitu; (1) PKI dengan Front rakyatnya, (2) golongan Islam yang sudah mapan dan (3) tentara. Ketiga kelompok tersebut memiliki persepsi yang berbeda dan menghendaki sifat perjuangan, komposisi dan tujuan masing-masing.
 
Kelompok Pertama, Kaum Komunis setempat tanggal 16 November mendirikan Front Rakyat yang disebut GBP3D (Gabungan Badan Perjuangan Tiga Daerah) dengan prioritas utama menggantikan seluruh pejabat lama, baik di tingkat Kabupaten maupun Karesidenan. Kelompok Kedua, Golongan Islam ada dua aliran; Islam Modernis (Muhammadiyah) dan Islam Nasionalis yang mendominasi pemerintahan dari tingkat kawedanan sampai ke tingkat desa. Kelompok Ketiga, Tentara (Tentara Keamanan Rakyat) melancarkan kontra revolusi dengan jalan mengadakan persekutuan dengan Islam Pekajangan untuk melawan Front Rakyat.
 
Tanggal 11 Desember 1945 Pemerintahan Revolusioner yang didukung PKI berdiri. Tanggal 13 Desember 1945, golongan Islam menuntut pembubaran Pemerintahan Revolusioner. Tekad kelompok Islam didukung sepenuhnya oleh TKR Pekalongan. Hal ini dapat dimaklumi mengingat para pemimpin TKR kebanyakan berasal dari ulama Islam. Fenomena inilah yang menyeret Pemerintahan Revolusioner hanya bertahan beberapa hari saja setelah pembentukannya.
 
Demikian, topik yang dipilih dalam jurnal ini sebenarnya terbilang bagus, melengkapi bagian kecil dari Sejarah Revolusi Indonesia. Banyak hal-hal tentang PKI mulai dari awal yang disinggung di sini. Pengetahuan tentang PKI dijabarkan sedemikian rupa, termasuk peranya dalam revolusi sosial. Golongan Islam tidak lupa disinggung dan dijabarkan. Yang kuat di sini adalah ide dalam pemilihan topik, yang menjadikan PKI, Golongan Islam dan Tentara sebagai objek. Penulis berusaha sebisa mungkin ingin melihat dari sudut pandang orang ketiga.
 
Sayangnya topik yang bagus tidak disampaikan secara runtun dan baik, apalagi secara sistematis dan mendalam. Sehingga topik yang terbilang bagus seakan kabur dan lalu lalang. Penjabaran tentang PKI terlalu banyak, pula, pejabaran tentang PKI dan Golongan Islam terlalu umum, tidak spesifik menyentuh 'judul yang dikaji'. Dari dua kelompok tersebut, Tentara tampaknya kurang dilirik. Pengenalan struktur pemerintahan dan istilah 'asing' yang hanya ada di masa itu tidak diperhatikan. Banyaknya typo memperburuk apa yang disampaikan, bisa saja kelak hal ini mengaburkan sejarah dengan kesalahan penyebutan yang tidak bisa ditangkap atau ditolerir, misalkan penyebutan Parata Sarekat Islam Indonesia yang seharusnya adalah Partai Sarekat Islam Indonesia.

Selain itu, karena metode penelitian sejarah tidak digunakan secara ketat dan tepat, maka dalam membaca tulisan ini sangat dibutuhkan kehati-hatian untuk menangkap dan menerima apa yang disampaikan. Demikian juga, kecermatan sangat dibutuhkan untuk memahami bagian pendahuluan, hasil dan pembahasan serta kesimpulan yang dipaparkan 'panjang lebar'. Meski begitu, tulisan ini cukup bermanfaat untuk menghetahui gambaran secara umum bagaimana peran dan kedudukan tiga kelompok dalam momen revolusi sosial tahun 1945 di Brebes dan sekitarnya.

 
 
*tulisan ini ditujukan untuk menunaikan tugas UTS Sejarah Pergerakan Nasional II Kelompok 12 Volt yang terdiri dari Muhammad Fa'iq Rusydi, Nidia Luina Aulia dan Muchafizul Amsa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun