Mohon tunggu...
Flutterdust
Flutterdust Mohon Tunggu... Mahasiswa - Muhammad Fa'iq Rusydi - Mahasiswa Sejarah dan Peradaban Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Kecil Bergerak

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sejarah Tuak di Pulau Jawa: Sudah Dikenal pada Masa Kuno!

20 September 2022   03:13 Diperbarui: 28 Oktober 2022   22:22 1163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tuak di Pulau Jawa memiliki perjalanan sejarah yang panjang, minuman ini telah ada dan dikenal secara luas pada masa kuno. Tidak sedikit relief candi, prasasti, naskah-naskah kuno, hingga cerita rakyat yang menyinggung keberadaan minuman ini. Apa itu tuak? Tuak adalah minuman tradisional dari pohon aren atau pohon kelapa, yang dibuat dengan cara menyadap wolo alias mayangnya, sadapan yang dihasilkan disebut sebagai nira. Nira memiliki rasa yang manis, dari nira inilah kemudian diproses sedemikian rupa hingga menjadi minuman tradisional yang bernama tuak. Dalam kehidupan sehari-hari, dari masa kuno hingga masa sekarang, tuak dimanfaatkan oleh masyarakat untuk kebutuhan yang beragam.

Masyarakat Jawa Kuno sudah sejak lama telah mengenal beragam jenis minuman, baik yang memabukkan maupun yang bukan. Mereka pun dikenal mempunyai keahlian dalam membuat minuman. Hal ini dikuatkan oleh berita Cina dari catatan Dinasti Tang dan Dinasti Sung, sebagaimana disebut oleh Groeneveldt dalam (Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled from Chinese Sources, 1960, hal. 13 dan 16) bahwasanya masyarakat Jawa sudah berpengalaman membuat minuman yang diekstrak dari bunga kelapa atau pohon palma lainnya, rasa minumannya pun sangat harum dan enak. Dari banyaknya candi di Pulau Jawa, dapat kita jumpai beberapa relief penghidangan beragam minuman.

Contohnya pada relief karmawhibangga di Candi Borobudur dan salah satu panil relief di Candi Panataran. Mungkin akan sukar bila diidentifikasi, mana minuman memabukkan dan mana minuman yang tidak memabukkan dalam sebuah relief, pun mana yang tuak dan mana yang bukan. Di beberapa relief, wadah yang digunakan relatif sama, semacam kendi (tempat air yang bercucuk, biasanya terbuat dari tanah liat). Meski begitu dari relief-relief yang ada, sangat mungkin bila di antara minuman yang dihidangkan tersebut adalah tuak. Hal ini dapat dikuatkan dengan petikan teks dari beberapa prasasti hasil alih bahasa Anita Swandayani, serta naskah kuno atau sumber lain berikut dikutip.

Lain kasus seperti di Candi Panataran, ada petunjuk minuman tersebut adalah tuak berdasar pikulan sepasang bambu yang digunakan sebagai wadah. Wadah untuk membawa tuak tersebut masih umum digunakan hingga masa kolonial, sedang di masa sekarang sudah cukup sukar dijumpai. Sejauh ini prasasti yang paling awal menyebut keberadaan tuak di Pulau Jawa adalah Prasasti Taji yang ditemukan di Ponorogo Jawa Timur, yang dibuat pada tahun 901 (823 Saka). Petikanya sebagai berikut " ... isor sowang sowang parnnah ning tnadah was kadut 57 hadaan 6 hayam 100 muang saprakra ning asinasin, den asin, kadiwas, kawan, bilunglung, hantiga, rumahan, tuak len sangka ing jnu, muang skar campaga, pudak, skar karaman, ..."

Artinya "Masing-masing (yang berada) di tempat itu (kesemuanya) menghabiskan beras 57 karung, kerbau 6 ekor, ayam 100 ekor, berbagai jenis makanan yang diasinkan, daging asin yang dikeringkan, ikan kadiwas, ikan gurame, bilunglung, telur dan rumahan. Selain itu ada juga tuak yang terbuat dari jnu, bunga campaga, bunga pandan dan bunga karaman." Dari sini dapat kita ketahui ternyata tuak menjadi suatu hidangan yang disajikan dalam sebuah acara, pun bahan yang digunakan untuk membuat tuak ternyata juga beragam. Prasasti Pangumulan I di Sleman Yogyakarta, berasal dari Kerajaan Mataram Kuno, dibuat pada tahun 902 (824 Saka) dan berisi tentang penetapan status sima, juga menyebut keberadaan tuak.

Sebagai berikut  "... mangkanan madya ininung hana twak. siddhu. hana jatirasa. duh ni nyung ..." yang artinya "Adapun minuman keras yang diminum ialah tuak dan siddhu, selain itu ada pula minuman jtirasa dan air kelapa." Prasasti Watukura I yang dibuat pada tahun yang sama dan berisi penetapan status sima, juga menyebut hal serupa " ...  pana siddhu mastawa kinca kilang twak paripurnna ika kabeh .."  Bahwasanya pana, siddhu mastawa, kinca, kilang dan tuak, semua (minuman yang ada) lengkap tersedia. Berikutnya Prasasti Rukam yang ditemukan di Temanggung Jawa Tengah, berasal dari Kerajaan Mataram Kuno dan dibuat pada tahun 907 (829 Saka), berisi tentang penetapan status sima dengan kewajiban memelihara bangunan suci, juga menyebutkan.

Sebagai berikut " ... wok sukan dinadyakan kla kla samenaka hana amwil amwil atah atah kasyakasyan sanasanan dalamman hinaryyasan ginanannan rumwarumwah kulubkulbwan dudutan tetis mankanang ininum twak siddhu cinca i sampunning manadah ..." Yang artinya "(dan) babi dibuat masakan yang benar-benar lezat. Ada amwil amwil, atah atah, kasya kasyan, sansanan, dalamman dan hinaryyas. Ada juga sayuran seperti rumwarumwah, sayuran lalap matang, dudutan dan tetis. Adapun minumanya adalah tuak, siddhu, cinca." Selanjutnya Prasasti Lintakan yang pernah disimpan Pangeran Ngabehi di Yogyakarta juga menyebut keberadaan tuak, prasasti berasal dari Kerajaan Mataram Kuno dan dibuat pada tahun 919 (841 Saka).

Berisi tentang peresmian daerah perdikan, menyebut sebagai berikut " ... luir nikakang ininum tuak, siddhu, pinca, samankanang ..." Berikutnya prasasti Alasanantan yang ditemukan di Mojokerto Jawa Timur, berasal dari Kerajaan Medang masa Mpu Sindok dan dibuat pada tahun 939 (861 Saka), berisi tentang penetapan status sima menyebut sebagai berikut " ... risunda atak pihan pinda limas in saron sang abheda sangken iwak. kwaih nikan kbo pinangan 3 ikan sawiji pran pan pan pinangan tanda rakryan muan patih wahuta ikan 2 pinangan kinabehan de tanda rakryan muan patih wahuta rama. kidan 3 celen 1 hangsa 1 pinangan kinabehan anginum siddhu twak kilan pintlu sowan sowan winuwuhan tamtul inanjapan kura wuku rih hasam dwadwal madulur malarih ..."

Artinya "... dikeringkan, sunda dan atak pihan. Ada wadah dari daun lontar berisi banyak masakan dari ikan, (dan) ada tiga ekor kerbau yang dimakan. Seekor ikan pran pan pan disantap oleh tanda Rakryan dan Patih Wahuta, dan dua ekor (ikan tersebut) dimakan bersama oleh tanda Rakyan dan Patih Wahuta Rama. (hidangan lain yang dimakan) dimakan bersama adalah tiga ekor kijang, seekor babi dan seekor angsa. Minuman (yang tersedia) adalah siddhu, tuak (dan) kilan, masing-masing minum tiga kali. (Kemudian) ditambah dengan makanan tambul yang di-anjap, kura, wuku, rih, hasam serta dodol. (Semua ini dimakan) sambil minum." Prasasti Paradah II yang ditemukan di Kediri Jawa Timur, berasal dari kerajaan yang sama dan dibuat pada tahun 943 (865 Saka).

Berisi tentang penetapan status sima, juga menyebut sebagai berikut " ...n limas 12 len sangkarika iwak knas prakara anadah sira kabeh yatha sukha mangidung siddhu cinca tuak pintiga sowang winuwuhan tambul inanjapan kura wuku rima asam dwadwal kapua makudur manghuri umangso ta jnu skar rujak annabeh ta sang makuwung mangdiri ..." yang artinya "bermacam-macam (masakan) ikan yang terletak dalam 12 wadah, (dan masakan) daging kijang. Semua makan, kemudian bersenang-senang, menyanyi, (meminum) siddhu, cinca dan tuak masing-masing tiga kali. Ditambahkan pula makanan tambul yang di-anjap, kura, wuku, rima, asam dan dodol. (Lalu) semua beserta Makudur Manghuri diberi jnu, bunga dan rujak." 

Pengukuhan status sima atau peresmian perdikan suatu daerah merupakan peristiwa penting yang biasanya diperingati besar-besaran, melibatkan seluruh jajaran pemerintahan, warga desa hingga desa tetangga alias desa yang bersebelahan. Kakawin Ramayana yang dibuat sekitar abad 9, pada bagian yang menceritakan kehidupan raksasa (VIII : 67), menyebut keberadaan tuak, sebagai berikut "Lawan kami bwat harep ri priya nya, yekasandin tar madoh nityakala, anhin krida yeka menak ta lin nya, manlanga twak tar paweh medi yaglis." Yang artinya "dengan penuh nafsu birahi pada sang kekasih, yang selalu duduk di dekatnya, sebatas permainan katanya dengan senang, sambil meneguk tuak tanpa takut menerima yang akan terjadi." Pada bagian selanjutnya mengenai upacara dan jamuan pada pesta, keberadaan tuak masih disebut namun dalam bahasa insplisit seperti; minuman yang memabukkan. 

Hal yang serupa dapat ditemukan di Kakawin Sutasoma (XCI : 15), mengenai pemberian jatah kepada seluruh rombongan Raja Kasi. Jatah tersebut berupa nasi yang amat banyak, tuak, badeg, waragang, kilang, brem serta tampo yang mengalir tanpa henti dan pada akhirnya tak terlukiskan. Setelah Raja Kasi mendudukkan Sri Jinamurti di depan dan kembali pulang, mereka kemudian tiba di istana. Hal yang berbeda dan menarik terdapat pada Naskah Pararaton hasil sailnan tahun 1613. Diceritakan pada tahun 1291 (1213 Saka) Raja Jayakatwang dari Kadiri menyerang Raja Krtanegara "Sira Bathara Siwa Buddha pijer anadhah sajeng" bahwasanya saat Raja Krtanegara masih meminum minuman keras. "Sambi atutur kamoktanira bhathara sang lumah ring panadhahan sajeng," bahwa meninggalnya berada di tempat minum tuak.

Raja Krtanegara menganut Buddha Tantrayana, tujuan akhirnya adalah sunyaparamananda yakni tingkatan hidup Adibuddha yang abadi dan mengecap kebahagiaan tertinggi, wujud hakikatnya adalah kesunyatan. Untuk mencapai itu, menurut Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto dalam Sejarah Nasional Indonesia II sebagaimana dikutip (Nugroho, 2015), "Salah satunya dengan meminum minuman keras (madya), orang yang melaksanakanya akan dapat mencapai tingkatan sunyaparamananda semasa dia hidup dengan ditahbiskan sebagai jina." Dengan begitu Raja Krtanegara meminum tuak lewat sebuah ritus, bukan untuk memenuhi kebutuhan profan, tetapi kebutuhan transedental yang berkaitan dengan spiritual atau keagamaan. Selain prasasti dan naskah, folklore atau cerita rakyat yang menyinggung tuak berkaitan dengan Kerajaan Majapahit pun tidak sedikit, salah satunya folklore dijebaknya tentara Mongol dengan meminum tuak sebelum dibantai.

Berikutnya di Masa Kolonial, tokoh legenda Betawi, Si Pitung dalam sebuah koran Hindia Olanda edisi 18 Oktober 1893 sebelum meninggal dalam keadaan sekarat setelah tertangkap, meminta segelas tuak manis dan es lewat penjaganya, namun permintaanya tidak dipenuhi. "Koetika ia maoe mati, coema ia bisa minta pada penjaganya, satoe gelas toeak manis dan es, tetapi tidak sampai dikasi." Entah alasan pasti Pitung melayangkan permintaan tersebut, yang jelas bila segelas tuak manis ditambah es tentunya akan menjadi minuman enak dan segar. Di masa sekarang, tuak masih ada, di Pulau Jawa nun paling terkenal ialah tuak dari Tuban yang berasal dari pohon siwalan. Namun, pemanfaatanya tidak sesering dan 'seumum' dahulu, ada beberapa faktor mendasar yang mempengaruhi.

Di antara faktor tersebut adalah; 1) latar agama dan peraturan daerah yang melarang, 2) branding dan packing yang belum modern atau kekinian, serta 3) pengolahan bahan baku alami menjadi tuak yang terbilang terbatas. Tuak terkadang masih bisa dijumpai pada acara-acara seperti hajatan dan kenduri di daerah atau desa yang terbilang dekat dengan pusat produksinya, di beberapa daerah atau desa tersebut tuak terkadang menjadi minuman suguhan untuk menikmati acara dan begadang. Di beberapa daerah atau desa sekitarnya juga, tuak menjadi minuman pelega dahaga bagi pekerja, petani hingga pedagang yang akan atau telah melaksanakan kegiatanya. Pula bagi sebagian kalangan muda, tuak menjadi minuman favorit dan terkadang menjadi oleh-oleh yang dibawa ketika berpergian jauh.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Tuak adalah salah satu minuman yang terbilang populer bagi masyarakat Jawa kuno, terutama pada Masa Mataram Kuno, Medang hingga masa Majapahit. Minuman ini tercatat beberapa kali dalam prasasti dan naskah kuno. Selain disajikan dalam acara formal dan pesta, juga disajikan dalam ritus atau upacara sakral. Artinya, selain dimanfaatkan untuk kebutuhan profan yang bersifat duniawi, tuak juga dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan transedental yang bersifat 'surgawi'. Hingga di masa kolonial dan kemerdekaan, tuak masih cukup populer dan umum diminati. Sedangkan di masa sekarang, tuak terkadang berselimut ke-'tabu'-an terutama karena faktor latar agama dan peraturan daerah, tuak pun hanya populer di daerah-daerah yang tidak jauh dengan pusat produksinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun