Mohon tunggu...
Flutterdust
Flutterdust Mohon Tunggu... Mahasiswa - Muhammad Fa'iq Rusydi - Mahasiswa Sejarah dan Peradaban Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Kecil Bergerak

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kaleidoskop 2021: Thread Negasi Feminisme

2 Maret 2022   09:20 Diperbarui: 2 Maret 2022   09:21 608
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Feminisme menjadi salah satu istilah populer yang menghiasi kaleidoskop 2021, khususnya di Indonesia. Umumnya istilah ini dipakai oleh perempuan yang pernah mengenyam bangku kuliah. Dalam pengalaman penulis pribadi, tiga tahun yang lalu di Masjid Iqomah kala PBAK, istilah ini dipromosikan oleh salah seorang kating perempuan yang menjabat sebagai ketua Sema-F FAH. Setahun berikutnya kala ospek jurusan, feminisme menjadi sebuah materi dan dianggap sebagai jawaban atas kasus ketimpangan dan ketidakadilan yang banyak terjadi. Pematerinya seorang perempuan aktivis dari gerakan feminisme di Cirebon, Ia menerangkan perbedaan antara gender dan sex, bahwa feminis bukanlah jenis kelamin, feminis merupakan aspek non-biologis yang bisa dimiliki oleh laki-laki maupun perempuan. Diterangkan juga bagaimana peran dan keberadaan perempuan yang dikesampingkan, kekerasan seksual yang marak terjadi pada perempuan, hingga penandasan bahwa budaya kita itu kolot dan patriarkis. Belum sampai pada pembenaran Islam atas feminisme, dahi Saya sudah mengkerut. Dari sini Saya teringat pernah membuat thread negasi atas feminisme, yang sepertinya masih layak untuk diperhitungkan. Berikut disajikan dengan sedikit perbaikan kata dan tanda baca tanpa merubah maksud dan arti.

7 Maret 2021, Saya mencuit di Twitter “Soal feminisme, bisa dibilang Aku ngga respect. Katanya mempersoalkan ‘”gender”’, tapi esensi dan ujung-ujungnya juga mempersoalkan ‘”sex”’. Konsepnya sendiri menurutku abstrak. Di sini kita paham feminisme itu konsep, ideologi atau gerakan politik dan bukan sciense. Yang tak maksud abstrak adalah kontradiksi ‘memperjuangkan kesetaraan gender.’ Berarti yang dijunjung harusnya maskulin dan feminim, bukan malah mencari kesalahan dan nyudutin maskulin aja. Ya.. walaupun kita udah tahu feminisme berangkat dari akar kata feminim-isme. Memposisikan diri sebagai lawan maskulin. Rasa-rasanya feminisme memberi solusi tapi menambah masalah baru, konsep gender dipake dan konsep sex yang jelas sciense dikesampingkan. Kalau masalahnya memperjuangkan kesetaraan, kenapa nggak Anarki aja? Feminisme yang katanya memperjuangkan ‘kelas’ gender feminim, kalaupun berhasil, akan menambah kelas baru yang pada akhirnya menuntut hak istimewa yang lebih tinggi daripada kelas-kelas lainya. Seiring berjalanya waktu, feminisme punya beragam aliran dengan aktivitas utamanya masing-masing yang kadang berbenturan satu sama lain. Feminis radikal dan liberal dengan klaim-klaim biologisnya, feminis sosialis atau marxist dengan kesamaan kelas atas ketertindasan dan lain-lain. Adapun feminisme Islam dengan pembenaranya atas dalil agama, rasa-rasanya mereduksi nilai religi, spiritual dan dalil itu sendiri. Aku rasa kalian bisa menanyakan kembali semua itu dengan Ulumul Qur’an atau Ulumul Hadist. Sayang, seringnya Aku ketemu orang-orang feminis yang baca buku pro tapi nggak nerima apalagi ngejawab argumen kontra. Mereka selalu menuntut dan ingin menang sendiri, terlalu arogan dan egois.”

9 Maret 2021, dengan fitur instagram story Saya bikin kolom pertanyaan “Apa itu Feminisme? Seberapa perlu dan relevan?” Salah seorang teman, Rastica Burky menjawab “Menurut W feminisme itu adalah peran kaum perempuan yang mengedepankan kesetaraan gender.” “Peran kaum perempuan ya? Gender katanya bukan Sex/Jenis Kelamin—lalu apa yang dimaksud kesetaraan gender? Kenapa objek kesalahan selalu maskulin begitu juga selalu disandarkan pada Laki-laki? Kok malah jadi berat sebelah gini yaa.. Ambigu pula konsep gender itu, hehe..,” sahutku. Percakapan ini berlanjut di DM dengan bahasa percakapan yang lebih sederhana dan cukup panjang, “Bukan berat sebelah Mas, di sini kan yang dimaksud gender adalah peranan sosial yang sesuai dengan kodrati. Nah di sini bukan menyalahkan objek maskulin atau mengkhususkan feminis namun konsepnya kesetaraan gender tuh dimana kaum feminisme itu lepas dari kata ‘Dapur, sumur, kali’ dan memperjuangkan hak-hak sebagai perempuan yang memiliki ‘kebebasan dari hal tersebut. Maskulin pun juga disetarakan, apakah dirasa bahwa peranan maskulin diberatkan? Semisal ‘“Ahh.. masa laki-laki gitu ajah gabisa, laki-laki kok mewek, dan lainya..,”’ seperti itulah yg dirasa feminis. Dan mengapa kaum maskulin dirasa sangat tersudut dengan hal ini? Apakah kaum maskulin pun merasa bahwa feminis itu hal yang tak harus ada atau bagaimana? Jadi intinya bukan masalah seks/jenis kelamin melainkan perannya dalam lingkup sosial. Kek gitu mas, ini pandangan w juga yah. Mungkin diluar sana menitikberatkan feminis dengan seks/kelamin. Padahal masih ada hal yg lain terkhusus peranan Gender ini. Disini W lebih menyoroti hak dibanding seks/kelamin yah. W punya pandangan tersendiri mengenai peranan feminis dan maskulin ini, W juga engga menjadikan pihak maskulin dijatuhkan. W maunya maskulin dan feminis sama-sama bisa merasakan kebebasan dan keadilan.”

“Wahh.. panjang banget, Ras. Nggak bisa langsung di screnshoot. Aku coba nanggapi lagi di sini aja yaa.. Okey, feminisme hanya pengen lepas dari kata dapur, sumur, kali? Sederhana, tapi perasaan ini dari dulu dilakukan laki-laki dan perempuan, tergantung kesepakatan non-lisan dan kondisi realitasnya gimana. Kalimat-kalimat selanjutnya membicarakan ‘“Maskulin tidak setuju dengan adanya Feminim,”’ Aku bukan seorang Feminisme, bukan Maskulinisme (nggak ada perasaan sih wkw), jadi bukan golongan isme dua-duanya (isme kan kerap dipake sandangan ideologi). Nama feminisme aja udah kebalikan dari maskulinisme, ya kan, hehe. Mempermasalahkan hal tersebut dengan tittle klise, Aku rasa malah membentuk ketimpangan dan bikin runcing sih,” responku. “Okelah mungkin dari tanggapan Mas W tuh gabisa membantah karna yah mungkin dari perbedaan pendapat ini semakin mendalam semakin runcing juga gitu tidak ada jalan temu. Juga belum tentu setiap pendapat bisa menemukan titik benar yg sebenarnya, karna kebenaran itukan relatif gitu gak semuanya harus dengan kata 'iya, tepat'. Tapi mungkin tambahan dari aku kalau feminisme itu adalah gerakan dari kaum perempuan dari penindasan, bukan ke ideologi karna ideologi lebih ke faham dalam ranah politik atau tujuan suatu kelom Selebihnya mah ntar offline ngopi bareung lah ngebahas yang kek ginimah sama temen-temen juga meh ngeunah, yang penting jangan berhenti tumbuh dan berproses weh Mas.” “Wkwk siap Rastica, Aku nggak nyari bener salah & maksain kebenaran pandangan. Cuman mau nyari bukti aja (khususnya buat Aku pribadi) mana argumentasi yang kuat & sesuai fakta. Makasih banyak yaa udah nyampein pendapat & pandanganya, yang penting mah jangan lupa istirahat wkwk..”

Selanjutnya ada jawaban dari salah seorang teman lainya, “Semacam konsep kesetaraan gender untuk perempuan, dirasa cukup relevan karena --.” Entah memang terlalu panjang atau sengaja tidak dilanjut. “KESETARAAN GENDER UNTUK PEREMPUAN, emm ya sih, jujur dan tidak bohong. Atau maksud kalimatnya itu nyelesain masalah gender yang dianggap timpang dan belum setara antar feminis sendiri, seperti contoh relief di atas? Barangkali kita sudah sepakat jika setara bukan adil dan adil belum tentu setara,” sahutku. “Apa yang membuat feminisme relevan? Bukankah konsepnya absurd euy feat ambigu? Apa tujuan feminisme pada awal lahirnya?” “Jawaban dirasa cukup ‘relevan’ dan tidak ditambah menunjukkan ketidakyakinan, pesimis alias ragu-ragu akan relevanya konsep Feminisme. Dengan kata lain, Feminist Expired. Maka sekali lagi, masih relevankah feminisme itu?” “Kurasai maklum feminisme berawal kata dari Feminis-Isme, yang berarti memposisikan diri sebagai lawan maskulin (antonimnya). Sebab dia konsep, ideologi, gerakan politik dan bukan sciense. Yang mana sciense adalah sex/jenis kelamin,” lanjutku.

Lanjut jawaban lain dari teman sekaligus kakak tingkat, Satok Yusuf lewat DM “Feminisme. Di luar pengetahuanku tentang feminisme yang cetek. Aku cuma mau ngobrolin aja. Ada beberapa fenomena lapangan yang mungkin jarang kita perhatikan. Pada beberapa daerah banyak kaum perempuan yang harus bekerja banting tulang sedangkan suaminya asik hura-hura. Apakah itu juga masuk feminisme atau eksploitasi belaka? Kedua, masalah TKW (bukan Aku tidak menghargai peran TKW sebagai pahlawan devisa), apakah perempuan yang bekerja ke luar negeri demi memperbaiki nasib juga termasuk feminisme? Ataukah hanya keterpaksaan perempuan menghadapi realitas kemiskinan dan ketidakmampuan laki-laki memberi nafkah?” “Hlaa ini dia Mas, Aku milu bertanya-tanya, hehe.. Buat nguji ‘kebenaran’ feminisme barangkali versi Tan bisa dipake; pertama kita pake synthetic alias cara memasang, kedua analitic alias mengungkai dan ketiga reductic ad absurdum alias menyesatkan dan menumbuhkan. Filsafat sejarah kata Hegel tesis, antitesis dan sintetis. Tapi belum sampai pada step kedua dan ketiga, feminisme belum kita dapati syntheticnya alias sintetisnya yang jelas dan konkrit. Pada perkembangan berikutnya pun muncul beragam aliran feminisme yang tujuanya berbeda-beda dan kadang bertolak belakang. Ini semua dapat kita pahami sebab tidak relevanya feminisme yang diterapkan pada kondisi realitasnya serta perbedaan latar belakang sosial, ekonomi, sejarah, agama, budaya dan psikis. Kalo kata kamus ideologi politik, feminisme itu ‘”Sekumpulan gagasan yang selalu berubah-ubah, gagasan ini merupakan tanggapan yang digerakan oleh ketidakadilan dalam diri perempuan yang tersinggung karena memprioritaskan hak-hak tertentu untuk kaum laki-laki.”’ Dari banyaknya definisi, pada akhirnya ini yang jelas batasnya dan lebih terbukti. Dari sini juga, kita tahu feminisme cacat sebagai teori terapan dan tidak lolos dengan tujuanya untuk menyetarakan gender.”

Terakhir jawaban dari salah seorang teman yang juga kakak tingkat, Arsyad Fauzi lewat DM “Kalo dari feminismenya Bett Friedan. Justru posisinya bukan lawan dari maskulin. Tapi semua hal itu ada feminim dan maskulin, nah keduanya harus seimbang. Soal feminisme masih relevan atau engga, tentu masih, karena patriarki masih menjadi budaya. Selain itu, di Indonesia malah semakin berkembang, artinya di sini masih relevan.” “Hlaa.. betul Mas, hehe. Feminis dan maskulin bukan material, tapi ide, sebab dia gender dan bukan kelamin. Bett Freiden menandaskan kembali itu. Tapi lagi-lagi namanya feminisme, lebih menjunjung feminitas. Artinya, memposisikan diri menjadi lebih besar dari maskulin tetapi senafas dengan itu juga mengutuk maskulin. Pingin feminim dan maskulin setara? Bukanya gerakan feminisme malah mempertimpang dan memperuncing itu? Patiarki dan Matriarki kalo menurutku juga cuman ‘“Stereotip”’ yang dibangun oleh pihak yang cemburu dan kalah dalam politik. Kalo dalam sejarah Nusantara, perempuan dan laki-laki bisa menjadi ratu tanpa embel-embel alasan klise gender. Kalo dalam budaya, emm, gabisa dipukul rata budaya Indonesia hehe, sebab budaya tiap daerah berbeda-beda seperti contoh yang disinggung di slide sebelumnya, di Bali ada kondisi dimana perempuan yang malah wajib bekerja. Barangkali budaya patriarki yang disebut berkembang itu ada di perkotaan? Sebab di desa ga sedikit petani yang perempuan, pedagang yang perempuan, guru ngaji dan guru sekolah yang perempuan. Jika iya di perkotaan, malah ambigu juga, sebab di perkotaan katanya dan nampaknya juga ‘lebih bebas’ norma nilainya daripada pedesaan. Sampai sini aja udah nggak wilayah gender, tapi kelamin. Karena definisi patriarki kurang lebih dominanya hegemoni dan kedudukan laki-laki dalam semua aspek. Hehe... Aku lebih respect gagasan Post-Feminisme, ia mengkritik feminisme yang masih terkungkung, meskipun Aku juga ngga sepenuhnya setuju dengan adanya penandasan gender sebagai terapan konsep melebihi dan mengesampingkan kelamin sebagai sciense, Mas, hehe..”

3 Juni 2021 Saya ngetweet pengalaman menarik dari salah seorang teman, barangkali dapat dianggap close statement dari thread negasi feminisme yang telah Saya buat. “Kemaren ada salah satu band di sini maen, ada cewe tuh pogonya rusuh. Nah, sama si Vokalis band yang lagi manggung dia diambil trus ditonjok 3 kali. Penontonya pada nganjing-nganjingin, tai-taiin si Vokalisnya tuh ye kan, trus si Vokalisnya bilang di depan ‘“Kalo kalian emang feminis sejati. Kalo kalian emang setuju dan menjunjung feminis, harusnya kalian dukung dan setuju sama perlakuan Gw. Dia bikin rusuh, sikap kita harus sama juga dong ga pandang laki-laki apa perempuan!”’ Gua bengong, tapi bener juga sih kata si Vokalisnya, kan nyetarain laki-laki ama perempuan.” Begitu lebih kurang si Prass, Tyo atau Prasetyo lengkapnya—bercerita di kontrakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun