Hari ini kita hidup di dunia yang lebih cepat dibanding dua atau tiga dekade lalu. Perkembangan internet mempercepat dan mengubah proses produksi, informasi dan segalanya dalam industri maupun kehidupan menjadi lebih efisien. Internet juga membuat dunia terasa kecil dan dekat, karena manusia dapat berinteraksi dengan sesamanya di belahan bumi lain dalam waktu yang sama tanpa perlu travelling.
Inovasi ini mengubah manusia, terutama yang lahir pada abad ke-21 atau yang teori generasi menyebutnya sebagai generasi Z. Mereka lahir dan hidup di era teknologi informasi. Mereka online 36 hari dalam setahun. Belajar, bermain, dan bersosialisasi melalui internet. Mereka mengerjakan sesuatu lebih cepat, mencapai kesuksesan lebih muda (contohnya Prilly Latuconsina, duta KPA), dan mengharapkan reward secepat kinerja mereka. Gen Z pun langsung membelanjakan penghasilan mereka secepat kinerja mereka. Instant gratification, consume like no future! Teori tentang gen Z bisa dibaca di sini.
Anak-anak saya lahir di tahun 2000-an, artinya mereka termasuk dalam gen Z (lahir 1995-2010). Sebagai orangtua, sangat penting memahami anak untuk memberikan pendidikan yang pas bagi mereka. Tentu perlu tahu teori dan melihat realitanya. Apalagi saya dan suami merupakan gen X yang baru kenal internet setelah dewasa, berbeda banget dengan anak-anak yang lahir ke dunia sudah langsung kenal internet.
Dari pengamatan sehari-hari, terlihat bahwa gen Z kurang sabar kalau harus membaca buku, karena semua tinggal bertanya ke google langsung ketemu jawabannya. Mereka suka visual. Kalau ada pembelajaran dalam bentuk video, bagi mereka lebih menarik daripada tulisan. Terbukti kemarin ketika kami berkunjung ke perpustakaan nasional di Jl. Medan Merdeka, Jakarta. Ruangan koleksi audio visual dan multimedia lebih ramai dikunjungi anak usia belasan tahun. Termasuk anak saya, betah di kedua ruangan itu daripada ruang koleksi monograf. Anak-anak usia SMP bahkan mayoritas membuka medsos di ruang multimedia.
Kalau di rumah, saya sering geleng-geleng kepala ketika melihat anak lelaki saya main bareng dengan teman-temannya. Setiap anak memegang gadget masing-masing, bermain game online multiplayer. Kadang dua di ruang tamu, dua di teras, dan satu tetap di rumahnya yang berhadapan dengan rumah kami. Mereka berkomunikasi lewat fitur chat yang ada di game tersebut. Mereka nyata-nyata hidup di dunia maya. Berdekatan tapi tak saling pandang.Â
Positifnya, anak-anak gen Z saya perhatikan suka eksperimen. Â Praktek bertanam, memasak, sains, atau membuat mainan (slime, playdoh) sering dilakukan. Mereka lebih mandiri dari sisi ini. Semua belajar dari youtube. Kecil-kecil sudah bisa membuat kue atau memproduksi slime untuk dijual. Bagusnya dapat menghasilkan uang sendiri. Tidak seperti Naya slime yang sudah luas jaringannya, anak perempuan kami pun berjualan slime saat slime lagi nge-hits. Pun lagi belajar menggunakan rice cooker dan menggoreng pisang atau tempe padahal masih kelas 2 SD.Â
Manusia dan dunia berevolusi. Zaman berubah. Namun ada hal-hal yang tetap hidup dan tidak berubah, yaitu value, nilai-nilai baik. Tradisi mengajarkan kita bahwa manusia adalah makhluk sosial karena manusia tidak sempurna. Mereka boleh punya keinginan, namun tidak semua keinginan harus dipuaskan. Orangtua mengajarkan prioritas, itulah mengapa gen Z perlu memahami pentingnya menabung dan investasi. Karena kita tidak hanya hidup hari ini. Ada masa depan yang harus dipersiapkan. Sebagai orangtua, kami  berusaha mengajarkan kesabaran, berbagi, serta adanya perbedaan kehidupan nyata dengan kehidupan maya.Â
Pun pendidikan life skills, pasti dibutuhkan untuk kehidupan gen Z. Menanak nasi, memasak lauk, mencuci piring, menyedot debu rumah. Bisa saja sih memanggil jasa pesan makanan online atau jasa tukang bersih-bersih rumah online. Namun itu untuk yang tinggal di kota atau di mana akses teknologi informasi mudah. Bagaimana jika karena pekerjaan atau hal lain, suatu saat mereka terdampar di tempat terpencil yang jauh dari kemajuan teknologi. Atau kemampuan ekonomi sedang tidak mendukung. Jadi life skills perlu diajarkan.
Sebagaimana nilai-nilai baik dan life skill yang perlu diajarkan kepada gen Z, penggunaan obat tradisional seperti minyak KayuPutihAroma juga perlu dijadikan kebiasaan. Kayu putih merupakan warisan tradisional turun temurun dari nenek moyang yang dengan kemajuan teknologi dikemas dan diberikan sentuhan kekinian berupa tambahan aromaterapi, lavender, maupun rose. Mengenalkan KPA kepada gen Z berarti mendidik mereka untuk menghargai kearifan lokal. Jika anak masuk angin, setelah aktivitas mencuci sepatu atau sepeda, saya membiasakan mereka memakai KPA. Juga ketika hidung mampet karena pilek, KPA meredakan keluhan mereka. Sakit tidak selalu harus minum obat, cukup oles KayuPutihAroma lebih aman.
Gen Z memang banyak beraktivitas di dunia maya, namun mereka tetap perlu diajarkan kearifan  dunia nyata, diantaranya KPA.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H