Tiga tahun yang lalu, saya pernah bekerja sebagai shadow teacher untuk anak autis. Anak yang saya dampingi merupakan anak autis yang sedang duduk di bangku kelas 5 Sekolah Dasar. Anak autis ini sudah mandiri, maksudnya adalah anak ini sudah dapat membaca, menulis, menyelesaikan penjumlahan sederhana, dan mengerti instruksi guru di kelas. Tugas saya adalah mendampingi anak saat belajar di kelas, mengawasi anak ketika bermain bersama teman, menemaninya jika ingin ke toilet, dan hal-hal lain selama anak berada di sekolah. Walaupun anak ini dapat melakukan semuanya sendiri, namun anak tetap butuh pendampingan untuk menghindarinya dari hal-hal yang tidak diinginkan. Misalnya, anak dapat tiba-tiba berteriak karena cemas ketika ia menyadari tugasnya belum selesai sementara temannya telah lebih dulu mengumpulkan tugas. Beberapa kali anak yang saya dampingi ini juga tiba-tiba bernyanyi dengan kencang saat kegiatan belajar sedang berlangsung di kelas sehingga mengganggu ketenangan belajar. Pernah juga anak ini berteriak ketika merasa tidak nyaman saat buang air kecil di toilet sekolah. Kehadiran saya sebagai shadow teacher sangat dibutuhkan untuk membantu anak mengatasi kesulitannya di sekolah.
Tugas saya tidak selesai ketika sekolah berakhir. Saya masih melanjutkan pendampingan belajar di rumah. Biasanya kegiatan ini saya lakukan setelah makan siang hingga menjelang sore hari, kira-kira 3 jam. Kegiatan belajar di rumah meliputi pengulangan materi belajar dari guru di sekolah, pengerjaan soal latihan pada buku kerja anak, atau menyicil materi selanjutnya sehingga anak siap untuk belajar di kelas. Kegiatan belajar di rumah biasanya saya awali dengan tanya jawab mengenai perasaannya selama belajar di kelas, bercerita mengenai suatu hal, bernyanyi, menggambar sesuatu, atau mewarnai. Belajar siang ini biasanya hanya bertahan maksimal satu jam saja. Tidak jarang, kegiatan belajar siang ini hanya diisi dengan kegiatan santai saja tanpa belajar materi pelajaran sekolah.Â
Sejujurnya, saya merasa kegiatan belajar di rumah ini kurang memberikan hasil yang maksimal pada anak autis yang saya dampingi. Mengapa? Karena membosankan. Anak autis memiliki fokus yang pendek, sehingga mudah mengalami bosan ketika kegiatan belajar yang dilakukan monoton. Fokus anak autis dapat dengan mudah terganggu oleh stimulus lain di sekitarnya, misalnya cahaya, warna yang beragam, suara, tekstur yang mungkin banyak dijumpai saat belajar. Namun saya tetap melakukan kegiatan belajar setiap hari karena permintaan orangtuanya.
Untuk mempertahankan atau meningkatkan atensi pada anak autis, orangtua dapat melakukan berbagai cara menyenangkan bersama anak. Semakin baik kemampuan atensi anak maka semakin baik proses belajarnya. Dikutip dari berbagai sumber, cara di bawah ini dapat dipraktekkan oleh orangtua untuk meningkatkan atensi belajar pada anak autis:
1. Latihan kontak mata
Kontak mata sangat penting untuk meningkatkan atensi. Kontak mata dibutuhkan ketika orangtua dan anak memperhatikan objek yang sama. Orangtua dapat membantu meningkatkan kontak mata anak autis dengan cara yang menyenangkan. Pertama, hadapkan muka anak tepat di depan mata kita, sehingga anak dapat melihat ke arah mata kita. Jika anak menginginkan sesuatu, tempatkan objek tersebut di samping wajah kita sehingga anak dapat melihat wajah kita. Ketika anak berhasil melakukan kontak makan denganmu, puji anak. Lakukan terus menerus ya agar anak terbiasa.Â
2. Lakukan permainan bersama anakÂ
Kegiatan belajar bersama anak autis juga dapat diselingi dengan bermain. Bermain menjadi salah satu cara untuk meningkatkan atensi anak autis. Selain itu, bermain dapat mengurangi stres belajar. Idealnya, orangtua melakukan bermain secara bersama-sama dengan anak autis, karena selain menyenangkan, bermain bersama dapat meningkatkan interaksi sosial anak dan perkembangan bahasa anak. Caranya: pilih permainan yang dingin dilakukan bersama. Selagi bermain bersama, orangtua dapat meniru perkataan atau perilaku anak, sehingga anak tertarik untuk memperhatikan orangtua. Tentukan tujuan yang ingin diselesaikan dari aktivitas bermain, misalnya: menyusun lego menjadi bentuk rumah. Tujuan tersebut dapat membuat anak termotivasi dan mempertahankan atensi. Jangan lupa, ajak anak untuk mengobrol selama bermain. Orangtua juga dapat bernyanyi bersama anak.Â