Dalam sebuah perjumpaan yang telah direncanakan dengan sahabat sekolah di sebuah kedai kwetiau vietnam, rupanya kami punya persamaan dalam menilai sebuah keindahan.Â
Kok banyak ya tadi kami temui? (maksudnya gadis-gadis cantik bukan lelembut) Hahaha.. rusak. Antara mesum dan sangs, inilah topik pria dewasa dalam menilai keindahan. Maaf kaum feminis minggir dulu ya. Ini adalah pembicaraan kaum patriarki kelas teri. Jadi begini, awalnya saya dan sahabat saya, sebut saja inisialnya J, berkomentar seksis, khas laki-laki Indonesia, "Kok banyak yang cantik ya?". Lalu sebagai seorang yang sok tahu dan sok bijak, aku tanya balik, "Lho, kamu selama ini kemana saja, J?".
Rupa-rupa setelah kami bertukar pengalaman dan cerita masa lalu, hanya ada beberapa cewek cantik yang kami temui dalam kehidupan kami. Antara kurang pergaulan, persepsi soal estetika yang belum terbentuk, atau memang kondisi di jaman itu membuat cara melihat keindahan gadis agak payah. Parah memang.
Memang waktu mengubah segalanya, tapi  benang merah sama, bila kita jeli, kita bisa mendapati lokasi di mana secara kasat mata kita melihat cewek-cewek cantik itu berada.
PUSAT BELANJA MODERN alias MALL
Ya itu, jawabannya, setelah kami telaah dan amati rupanya cewek-cewek itu kumpulnya di mall, terutama mereka yang menjadi pelayan atau bahasa formalnya pramuniaga. Mereka dilatih untuk menyapa, berdandan, menawarkan barang dengan rapah, mendekati pelanggan, dan seterus-seterusnya. Sebagaimana akhirnya kami dua sahabat itu menilai, mengamati dan mengambil kesimpulan. Jadi bila saudara membaca omong kosong singkat ini setidaknya bisa lebih mencermati di mana para cewek cantik itu berada.
Tapi begini, apa itu cantik? Dalam sebuah novel romatik sekaligus dramatik, Cantik itu Luka Eka Kurniawan, rupa -rupanya kecantikan adalah malapetaka dan sumber masalah. Tapi untuk dunia marketing, cantik adalah senjata pamungkas dalam menawarkan barang-barang atau pun jasa yang menarik dan memikat. Maka tak heran sebuah tim pementasan berlatang belakang gadis-gadis muda kinyis-kinyis dibentuk sedemikian rupa. Banyak pula remaja akil balik butuh imajinasi dan sensasi dalam menemukan sosok pujaan hati mereka.
Oke ini lumayan kejauhan sih, tapi mohon dimaafkan karena omong kosong ketika makan dan lompatan acak pembicaraan memang asik buat ditanggapi. Setidaknya tampilan visual dan ragawi yang kami, saya dan mas J temui lumayan sempurna. Tidak artifisial sebagaimana cantik dan menarik versi media sosial. Tapi  rupanya malam merayap dan kami sibuk dengan pikiran dan imajinasi kami masing-masing.
Setidaknya mas J ini masih bujang dan saya sudah berkeluarga. Sehingga atas nama moral dan agama, pembicaraan seksis dan patriarkis ini kami sudahi. Seperti kami yang meninggalkan mangkok kwetiau kami dan tidak menaruh di tempat kotor yang tersedia.
Lagi-lagi bukan contoh yang baik.
Pondok Pinang, 2 Februari 2025.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI