"Loh, ngapa bubar, Pak?"
"Ya merga  nggak isa nyatu.  Gak nyatu  antarane apa  yang dipikirkan dan apa  yang dilakukan! [karena nggak bisa menyatu, antara apa yang dipikirkan dan apa yang dilakukan]"
"Maksudnya?"
"Kowe ki gak ruh, apa gak ngerti, apa wis ruh tapi purak-purak gak ngerti, Cak [kamu ini nggak tahu, atau nggak ngerti, Â atau sudah tahu tetapi pura-pura nggak ngerti]?"
"Apa kumpulan kae ta Pak?"
"Iya."
"Sak ngertiku, kumpulane apik-apik, Pak.  Wonge saleh-saleh, Pak  [setahu saya,  kumpulannya bagus, orangnya saleh-saleh]."
"Apa sing katon, apa sing mbok ngerteni, durung mesti tulus, tutus, tatas tembus ati [apa yang kelihatan, yang kau ketahui, belum tentu tulus, jujur, keluar dari lubuk hati yang terdalam]."
"Oh, gitu ya Pak?"
"Iya."
"Apa karena ada udang dibalik batu, Pak?"
"Hus, nanyak terus. Ayo makan, sudah siang...."
Dan kamipun makan di kantin itu. Makan sederhana, bukan bantuan sosial. Hanya sambal ikan teri plus rebusan sawi pahit.  Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI