Mohon tunggu...
Florensius Marsudi
Florensius Marsudi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Manusia biasa, sedang belajar untuk hidup.

Penyuka humaniora - perenda kata.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mengapa Malu?

5 Oktober 2020   22:31 Diperbarui: 5 Oktober 2020   22:51 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Secuil kisah awal tahun pembelajaran

Tahun ajaran baru sudah dimulai. Setidaknya sekolah sudah mulai aktif, walaupun dengan cara Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Guru mulai aktif melaksanakan orientasi pengenalan sekolah bagi siswa baru. Tak luput siswa juga diajak penyesuaian kelas, penyesuaian teman sekelas, penyesuaian walikelas, secara jarak jauh, nge-Zoom.

"Putranya nggak sekolah (daring) to Pak?" tanyaku.
"Enggak mas Flo. Nggak punya HP dan nggak punya kuota."
"Loh, ada bantuan HP dan kuota to Pak. Setahu saya pihak Yayasan telah mengambil kebijakan tersebut?"
"Mboten mas Flo (tidak mas Flo). Anak saya malu kalau nggak punya HP sendiri. Anak saya malu nggak punya apa-apa. Maunya anak saya, bahwa saya sebagai bapaknya harus memiliki HP, punya motor, mobil dan rumah sendiri."

Aku hanya tertegun mendengar jawaban Pak Tanu (panggil saja begitu). Ia seorang tukang becak onthel (bukan becak mesin). Sehari berpenghasilan bersih 20.000-64.000 (sudah dipotong makan). Psk Tanu dan keluarganya tinggal di sebuah bedeng rumah ukuran 3 x 4 meter dengan dua anaknya. Sulung kelas 7 SMP, dan bungsu adiknya kelas 5 SD. Istrinya jualan keripik ubi. Ia menjualkan keripik milik/titipan tetangga.[1]

 

Ugahari 

 Karena perkembangan dan tuntutan jaman, anak era sekarang kadang mulai memprotes keadaan orang tuanya (terlebih tentang kepunyaan, harta milik) yang tak sesuai dengan keinginannya. Dalam relasinya dengan dunia pendidikan, dapat dikatakan proses pembelajaran bagi seorang siswa, sekaligus proses penerimaan diri-kondisi diri, kesederhanaan diri, tak berhasil. Alasannya sangat sederhana. Seorang anak, seorang siswa, semestinya sudah diperkenalkan akan nilai-nilai keugaharian dalam hidupnya sedari kecil, bahkan selagi ia masih Taman Kanak-kanak.

Pengenalan tersebut harus sejak diri. Bahkan pengenalan tersebut tidak hanya sekedar pengenalan, namun sekaligus praktik. Contoh, sekalipun orang tua di rumah memiliki beberapa mobil, sekali waktu, anak perlu diajak naik transportansi umum. Selain anak diperkenalkan dengan "dunia umum", tak hanya di dunia keluarganya sendiri. Kesederhanaan diri pada anak juga penting, agar anak merasa bahwa ia tinggal dalam komunitas yang beraneka bentuk, macam dan ragam hidup.

 

Peran orang tua

Salah satu pendidik yang dapat mengubah dunia ini adalah orang tua. Merah, biru bahkan abu-abu sikap anak, sangat dipengaruhi oleh orang tua. Ketika orang tua tidak memiliki sikap hormat pada tetangga, congkak, sikap tersebut akan "dibaca" oleh anaknya. Bahkan sang anak akan menirunya, congkak, sombong dan sebagainya. Ketika orang tua hidup prihatin, mampu berbela rasa dengan tetangganya, dan hal tersebut dilihat oleh putra-putrinya, anaknya juga bersikap yang sama. Anak akan bersikap sama, prihatin, berbela rasa dengan tetangga baik di rumah maupun di sekolah. Itu artinya, ibarat "Buah mangga jatuh, tak akan jauh dari batangnya. Ibarat tangki bahan bakar mobil, ia tak akan pernah jauh dari mesin pembakarnya".

 
Sekolah:  proses untuk penyadaran

Pendidikan di sekolah perlu dilihat sebagai salah satu wahana untuk proses penyadaran. Penyadaran akan nilai - nilai kesederhanaan hidup, cinta damai, perhatian pada sesama. Semuanya itu diejawantahkan dalam proses-ppembentukan jati diri siswa dan juga dalam diri guru. Proses penyadaran, proses transformasi, bahwa siswa memiliki orang tua yang tak sama kemampuan dan kesanggupannya dengan orang lain. Anak perlu sadar, bahwa ia disekolah bersama teman, bersama guru, bersama karyawan sekolah, dll. Guru yang perlu dihormati sebagai pengambil peran-pengganti orang tuanya[2]. Teman-temannya juga perlu mendapat perhatian yang sama dengan dirinya. Sadar bahwa hal-hal tersebut tak dapat berlangsung sekali jadi, instan dan apalagi mendadak, bruk pethuthuk.

 Semoga para pendidik semakin mampu memposisikan diri dalam proses penyadaran keugaharian-kesederhanaan dalam hidup bagi para subyek didik, terlebih dimasa-masa sekarang  ini.

 Memang, diakui bahwa lembaga pendidikan (sekolah) memiliki tanggung jawab untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Mencerdaskan anak-anak untuk dapat berperan ambil bagian dalam membangun bangsa ini. Tetapi keikutsertaan dalam proses membangun itu juga perlu disertai “mawas kedalam” pribadi -per–pribadi.
-------------------------------------------

[1] Pernah suatu ketika Pak Tanu jam 22.35 datang ke rumah. Ia meminjam uang karena malam itu ia kecelakaan. Becak pak Tanu,  remnya blong, jalan tak terkendali.  Becak nabrak kotak sampah, becak terbalik, rusak; sementara  kotak sampah (milik dinas kebersihan kota) pecah.  Kebetulan di becak tersebut ada barang belanjaan seorang ibu yang mempercayakan padanya. Telur ayam ras tiga set kardus. Minyak sayur 10 liter. Tomat 5 kg.  Ia harus mengganti telor yang pecah, minyak sayur yang tumpah dan tomat 5 kg yang lonyot (sebagai bentuk tanggung jawab).

[2] Satu sisi guru adalah membantu (subsider) orang tua murid di rumah. Di lain sisi, Guru adalah pendamping siswa di sekolah, atau “orang tua” siswa di lembaga pendidikan, tempat siswa dididik. Artinya dari kenyataan dua hal tersebut, semestinya elemen-elemen itu dapat saling mengisi,  bekerjasama guna tercapainya proses pendidikan. Pendidikan tak hanya diukur dari nilai rapot, ijazah yang diterima peserta didik, namun juga ada proses mengasah budi, mengasah kalbu, mengasah cinta dan pengharapan-pengharapannya dimasa depan (bdk. Prof. DR.BS.Mardiatmaja SJ, Belajar Mendidik (Yogyakarta:Kanisius,2017), hal.10-11.

SELAMAT HARI GURU SEDUNIA

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun