Mohon tunggu...
Florensius Marsudi
Florensius Marsudi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Manusia biasa, sedang belajar untuk hidup.

Penyuka humaniora - perenda kata.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pantaskah Menerima Ucapan "Selamat Natal"?

27 Desember 2015   03:49 Diperbarui: 27 Desember 2015   03:49 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa waktu yang lalu saya menerima ucapan “Selamat Natal, Mas Marsudi”. Ucapan tersebut saya terima di sarana komunikasi (HP, email), bahkan beberapa orang datang ke rumah. Selain berterimakasih atas perhatiannya (dengan ucapan tersebut), namun dalam hati, saya merasa malu. Saya malu mendapat ucapan “Selamat Natal”, karena:

Pertama, di satu sisi natal itu peristiwa biasa. Natal berasal dari bahasa Latin, natus  yang berarti lahir. Setiap orang pernah dilahirkan, betul ‘kan? Ketika saya mendapat ucapan “selamat natal Mas Marsudi”, artinya dengan ucapan tersebut, kehidupan saya diberi makna secara mendalam selamat berlahir (kembali) mas Marsudi, selamat "dilahir kembali" (Yoh 3:7) seperti bayi mas Marsudi.

Setahu saya, seorang bayi itu amat polos, apa adanya, dan ia amat mengandalkan-nyadhong-memercayakan diri pada ayah dan ibunya.

Oh, maaf sahabat. Saya tidak seperti itu, tidak seperti bayi (lagi), hidup saya sudah tidak polos. Saya hidup dalam kepura-puraan. Saya kadang mengatakan, “saya sudah memaafkanmu”, namun jauh di hati yang paling dalam, saya masih dongkol. Dongkol, mangkel karena sering dicap, pengikut Kristus mati jadi babi, mati disalib pamer silit, dst.  Kalau saya orang Katolik sejati, saya pasti tak akan ambil pusing dengan segala macam lebel, cap, bahkan cacian yang mungkin tak masuk di akal waras!  Karena saya mestinya ingat “kasihilah sesamamu manusia seperti engkau mengasihi dirimu sendiri” (Mat 19:19).  Saya sengaja mengutip kata-kata Injil, kitab suci, agar saya sadar bahwa kata-ucapan “selamat natal” juga mengingatkan saya akan sesama manusia yang nota bene  pernah dilahirkan. Hidup bersama dengan sesama yang pernah dilahirkan, mengapa mesti takut?

Di lain sisi, natal itu membuat saya terhenyak. Saya tidak seperti bayi lagi. Apalagi ketika saya tidak perlu memercayakan diri pada Allah, pencipta langit dan bumi. Saya tukang protes, tak tahu berterimakasih kepada Allah yang telah mencintai dan mengasihi saya hingga Dia mengutus Yesus Kristus ke dunia, dalam rupa manusia.  Saya kadang merasa dengan otak saya yang hanya sebesar kepalan tangan ini, saya mampu menakhlukkan dunia, saya pandai, menguasai ini, itu; bahkan saya bisa menguasai orang lain. Saya sudah terlalu sombong! Sekali lagi, saya sudah "tidak seperti bayi lagi".

Kedua, natal itu peristiwa yang rutin. Setiap tahun saya merayakan natal. Setiap tahun pula saya memasang itu-ini  asesori natal. Nah, pertanyaan dalam hati saya, jika natal itu peristiwa rutin, serutin itu pulakah hati saya “dinatuskan”, “dilahirkan” dipoloskan kembali?

Untuk kesekian kalinya saya tertohok dengan ucapan salam “Selamat Natal Mas Marsudi”, jan…amit-amit jabang bayik. Sumprit! 

Sahabat, dengan menyiapkan perayaan natal (terutama untuk liturgi-ekaristi), kadang saya bisa sibuk setengah modar (setengah mati). Sibuk ikut koor, menghias gereja, kerja bakti di lingkup gereja, dst…dst. Saya lupa bahwa persiapan yang paling utama mestinya memantas diri dan memantas hati agar selalu polos seperti bayi di hadapan Allah. Polos untuk siap – menyediakan tempat bagi-Nya di hati ini. Persiapan natal kadang malah menjungkirbalikkan hati yang utama menjadi hal yang kesekian, sementara hal yang kesekian malah menjadi perhatian yang utama. Anda heran? Saya tidak! 

Maka, sangat wajarlah jika ada beberapa orang yang mengatakan “haram mengucapkan ‘selamat natal’ pada para pengikut Kristus (orang Kristen)”. Karena mereka (orang Kristen itu, termasuk saya) memang tak layak menerima ucapan selamat natal tersebut. Orang kristen itu (termasuk saya) ada yang sibuk dengan “asesori” natal sementara hati tak dibenahi. Pembenahan hati itu bisa mewujud, misalnya memanfaatkan masa Adven untuk berkumpul sewarga-selingkungan-satu kring, ikut pendalaman-pertemuan Adven, menerima sakramen tobat, bersedekah untuk fakir miskin, mengumpulkan aksi natal (dalam bentuk barang/makanan, uang) untuk diberikan pada yang sangat membutuhkan. Bahkan membenahi hidup komunikasi dalam kebersamaan dengan keyakinan yang lain, hal tersebut juga aksi natal yang nyata.

Tentu yang saya tuliskan ini tidak termasuk anda yang soleh-soleha merayakan natal dengan tulus ikhlas, khusuk, tulus hati murni. Jadi, ya ... jangan tersinggung membaca tulisan ini, apalagi sampai melompat keyakinan. Bagi saya, lebih baik berkritis diri daripada memuji diri tapi tak pantas hati!

Selamat Natal (bila Anda merayakannya dengan pantas).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun