Mungkin kami hanya kawin ala daging - badaniah saja, namun hati - batiniah tidak!
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Cerita sebelumnya: “Mas, Aku Sudah Hamil…”
Selasa, jam 14.21.
"Mas, si ...****** ada di ruang tamu," kata adikku ketika aku sampai di garasi.
"Kok tumben?"
"Iya tuh. Beberapa menit yang lalu ia datang..., ia menangis, mata sembab, pipinya lebam biru..."
"Kenapa?" tanyaku.
"Lah, ... yo aku nggak tahu. Ia mau cerita padamu, Mas."
Aku masuk rumah. Di ruang tamu sudah duduk merunduk, ia yang dulu pacarku, yang kini telah telah menjadi istri duda dua anak. Ayah ibuku juga ada di situ. Ayah - ibuku sedang mencoba menenangkan mantan pacarku itu.
Aku ke kamar mandi, cuci muka. Lalu berganti baju. Aku sengaja pakai kaos putih, dan celana jeans biru yang sudah agak pudar warnanya. Biasanya aku cuma pakai celana pendek, namun karena ada 'tamu', siang itu aku pakai celana panjang.
"Sudah lama...." sapaku sambil duduk.
"Sudah, Mas."
"Kok sendirian, mana misuamu (suami), kok tak diajak kesini?"
"Mas, kalau pipiku ini nggak biru lebam kayak gini, mungkin ceritanya lain. Semalam suamiku menamparku, hingga aku hampir pingsan. Hanya gara-gara aku tak segera membuatkan segelas susu untuk si bungsu (anak tiriku), tangannya melayang. Mas tahu aku sedang hamil....badan ini rasanya letih, capek, Mas."
Aku terdiam menyimak cerita mantan pacarku itu. Ayah-ibuku duduk menemani kami, beliau agak kaget mendengarkan ceritanya.
"Mas, kami belum ada setahun hidup serumah. Namun rasanya kata-kata kotor, sumpah serapah sudah memenuhi seluruh isi rumah kami, semuanya termuntah dari mulut suamiku. Terakhir kejadian semalam... Dalam banyak hal aku cuma mengalah. Terlebih dengan kondisiku berbadan dua seperti ini. Aku cepat lelah, letih. Siang aku mengurus dua anaknya, yang sudah kuanggap (seperti) anakku sendiri. Malamnya, ia pula memaksaku untuk melayaninya... Mas, bapak - ibu, mungkin kami hanya kawin ala daging-badaniah saja, namun kawin secara hati - rohaniah, tidak!" Bagai hujan, tumpah ruahlah air mata mantan pacarku itu.
Aku duduk tercekat memandanginya.
Ibuku mendekat dan mendekapnya, mengelus rambutnya. Aku yakin ibuku sungguh mengerti seperti apa rasanya seorang wanita disakiti, terlebih dalam kondisi seperti sedang hamil, yang mestinya perlu banyak istirahat. Entahlah, aku cuma bisa membatin, dulu kau pacarku, sekarang....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H