"Sudah lama...." sapaku sambil duduk.
"Sudah, Mas."
"Kok sendirian, mana misuamu (suami), kok tak diajak kesini?"
"Mas, kalau pipiku ini nggak biru lebam kayak gini, mungkin ceritanya lain. Semalam suamiku menamparku, hingga aku hampir pingsan. Hanya gara-gara aku tak segera membuatkan segelas susu untuk si bungsu (anak tiriku), tangannya melayang. Mas tahu aku sedang hamil....badan ini rasanya letih, capek, Mas."
Aku terdiam menyimak cerita mantan pacarku itu. Ayah-ibuku duduk menemani kami, beliau agak kaget mendengarkan ceritanya.
"Mas, kami belum ada setahun hidup serumah. Namun rasanya kata-kata kotor, sumpah serapah sudah memenuhi seluruh isi rumah kami, semuanya termuntah dari mulut suamiku. Terakhir kejadian semalam... Dalam banyak hal aku cuma mengalah. Terlebih dengan kondisiku berbadan dua seperti ini. Aku cepat lelah, letih. Siang aku mengurus dua anaknya, yang sudah kuanggap (seperti) anakku sendiri. Malamnya, ia pula memaksaku untuk melayaninya... Mas, bapak - ibu, mungkin kami hanya kawin ala daging-badaniah saja, namun kawin secara hati - rohaniah, tidak!"Â Bagai hujan, tumpah ruahlah air mata mantan pacarku itu.
Aku duduk tercekat memandanginya.
Ibuku mendekat dan mendekapnya, mengelus rambutnya. Aku yakin ibuku sungguh mengerti seperti apa rasanya seorang wanita disakiti, terlebih dalam kondisi seperti sedang hamil, yang mestinya perlu banyak istirahat. Entahlah, aku cuma bisa membatin, dulu kau pacarku, sekarang....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H