"Tidaklah. Ima masih kenyang... nanti sakit pelut kalau makan lagi..."
Aku mengambil piring. Kulap piring itu. Kulihat pengasuh Prima sedang menyeterika baju di ruang belakang.
"Ima, makan bareng Papa yuk..."
"Ih, Papa nih... Ima bilang tidak ya...tidak. Ima masih ke....nyang," kata Ima sambil bibirnya manyun....
"Cukup..."
Sahabat Kompasiana, percakapanku dengan putriku siang ini, percakapan itu menjadi inspirasi tulisanku. Dan berita "terheboh" salah satu partai di Indonesia yang raya ini, juga menjadi daya dukung kedua di penulisanku, itulah kenyataannya.
Sangat menarik saat anakku mengatakan "tidak" untuk diajak makan bersama orang tuanya. Ia tidak mau makan lagi, ia sudah kenyang. Artinya, anakku cukup tahu diri mengukur seberapa besar "volume" - daya tampung - perutnya. Ia tidak akan tambah makan. Ia cukup dengan apa yang telah ia terima, telah makan!
Dalam arti tertentu, jika seseorang memimpin partai, menjadi presiden, menjadi petinggi, atau apapun sebutannya orang itu, sebenarnya ia juga sedang "makan" dengan "cara" yang berbeda. Jika ia sedang menjadi presiden, ia sedang menyerap - memakan - aspirasi rakyat, yang telah memilihnya, memercayainya. Mestinya ia mencukupkan diri dengan "makan" di wilayah kerja kepresidenannya itu. Memokuskannya. Andaikan ada tawaran kedudukan yang lain (entah partai, atau "partai-partai") memintanya menjadi pemimpin, menjadi ketua ini...itu, mestinya dengan besar hati ia akan menolaknya.
Andai ada seorang menteri, ia sebenarnya juga sedang dan harus "makan olahan" yang tersedia di kementriannya. Ia mestinya fokus dengan bidang kerjanya. Kalau sang menteri merangkap tugas ini, tugas itu...kapan ia akan konsentrasi kerja membantu melancarkan tugas presiden?
Kenyataannya bagaimana? Rangkap tugas, rangkap kerja; itu biasa. Merangkap jabatan, merangkap tugas, bisa dipastikan akan terjadi pepatah gagak ngemut cagak. Cagak = tonggak, tempat bertengger burung gagak. Jika tempat bertengger sendiri sudah di- emut - dimakan, dimanakah pijakannya kemudian? Jika orang sudah "menduakan hatinya", orang tak akan fokus dengan tempat - wilayah kerjanya, sepandai - sesahih - apapun orang! Itulah sebabnya, secara badani, Sang Pencipta cuma menciptakan kepala manusia cuma satu. Supaya manusia cuma mempunyai satu pikiran, fokus dengan dunianya (kerja, jabatan, fungsinya), tidak mencla-mencle, plin-plan, dan tidak ragu. Orang ragu, plin-plan, mencla-mencle; karena ia menganggap kepalanya ada dua.
Butuh penghargaan