Mohon tunggu...
Florensius Marsudi
Florensius Marsudi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Manusia biasa, sedang belajar untuk hidup.

Penyuka humaniora - perenda kata.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Dibiasakan Membaca, Kala Itu...

12 Oktober 2020   03:11 Diperbarui: 12 Oktober 2020   03:30 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya menerima pendidikan dasar  di SD Pangudi Luhur (SDPL 1976-81). Ada hal-hal  baik yang masih saya ingat di SDPL.  Sekolah kami  berlangganan Kompas dan Kedaulatan Rakyat (KR) -dengan huruf K dan R yang khas-, serta majalah Hidup, Bobo dan majalah Kuncung.

Peruntukannya jelas, agar koran dan majalah-majalah tersebut dapat dibaca oleh anak-anak, karyawan,  maupun para guru SDPL.

Keempat bacaan tersebut, (Kompas, KR dan Majalah Hidup, Kuncung), setelah dibaca oleh para guru, biasanya akan diletakkan di perpustakaan sekolah. Di sinilah saya sebagai siswa PL kadang harus sering berjibaku -sedikit nekat untuk mendapatkan majalah, koran paling awal sebelum disentuh siswa lain. 

Di satu sisi, sekalipun tingkat kemahiran kami saat itu dalam membaca (untuk sekelas bahasa Kompas dan KR) masih grathul-grathul, alias belum sangat lancar, namun kami diperkenalkan pada "dunia luar" secara seksama, berkat adanya koran dan majalah tersebut.

Bahkan, para pamong kelas (wali kelas) dan kepala sekolah, Bruder - biarawan FIC (Congregatio Fratrum Immaculatae Conceptionis Beatae Mariae Virginis/Kongregasi Para Bruder Santa Perawan Maria Yang Dikadung Tak Bernoda), sering mengharuskan kami untuk membuat ringkasan/summarium/resum/ikhtisar atas apa yang kami baca.

Kami bisa membaca hanya pas jam istirahat I dan istirahat ke-2.  Lalu yang membuat geli, lucu (sekaligus haru) kadang satu eksemplar koran "dikeroyok" dibaca 10-15 anak kala itu, gantian halaman per halaman. Koran sampai bentuknya kucel, lecek alias renyek tiada tara. Majalah Kuncung, Bobo sampai halamannya lepas-lepas. Oalah!

Di lain sisi, hanya dari kebiasaan membaca, membuat ringkasan isi bacaan, lama-lama muncul ide untuk menulis, ya...saya mulai suka menulis.  

Menuliskan  kembali di kertas, dan bahasa saya saat itu - bahasanya anak-anak - mulai berkembang. Nah, efek positif lainnya  adalah, saya  mulai ikut tergerak mengisi Majalah Dinding (Mading) sekolah, membuat/cipta puisi, karangan pendek a la anak-anak.

Rupanya, kebiasaan membaca itu berefek pada kemampuan saya untuk menyerap, mengolah kosa kata yang saya terima. Untuk tingkat anak-anak Sekolah Dasar dengan pembiasaan baca koran, paham dikit-dikit bahasa koran saat itu, wah....itu luar biasa. Majalah yang ada saat itu (Bobo, Kuncung) bahasanya nggak terlalu sulit, alias bahasa dunia anak.  Apalagi dalam majalah banyak gambar, dan gambar itu merujuk menguatkan isi bacaan, sangat menyenangkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun