Mohon tunggu...
Florensius Marsudi
Florensius Marsudi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Manusia biasa, sedang belajar untuk hidup.

Penyuka humaniora - perenda kata.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Memurnikan, Membagi, Memaafkan: Mengalami Suasana Lebaran

21 Agustus 2012   17:18 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:28 342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di tempat yang baru

Saya adalah pendatang di tempatku sekarang ini (tulisan sebelumnya ada di "Saya Katolik di Tengah Saudara yang Berpuasa"). Sebagai pendatang, saya tentu uluk - salam, kula nuwun, permisi di tempat saya yang baru. Permisi - lapor - kepada pak RT,  bahwa  saya numpang 'berteduh' di RT beliau. Hingga mendaftarkan diri menjadi warga/anggota Persatuan Amal Kematian di kompleks kami berada.  Kini saya sekeluarga sudah menjadi  anggota Persatuan Amal Kematian tersebut.

Selain hal-hal yang telah saya sebutkan, (ketika baru datang) saya juga menyempatkan diri untuk bertandang ke tetangga kiri-kanan, memperkenalkan diri, bahwa saya warga baru. Beberapa tukang ojek, tukang becak yang sering mangkal di depan rumah; mereka juga saya akrabi, karena mereka kondisinya sama dengan saya, manusia yang berjiarah mencari sesuap nasi demi anak istri!

Rantang berdatangan

Salat Id, baru saja usai. Tiba-tiba saya dikejutkan oleh suara seorang anak kecil yang memanggil-manggil anakku,

"Prima.....Prima....Prima".

Kulihat di depan pintu pagar. Ada seorang ibu bersama putrinya yang masih kecil berdiri di depan pintu pagar. Mereka membawa rantang.

"Om, kami berlebaran. Mari berbahagia bersama kami. Ini Om, ada sedikit makanan untuk Om sekeluarga."

Glekkk...... Serasa lidahku tercekat.

"Mbak, adek ..... makasih ya," lalu mereka berdua kusalami.

Saya kaget, karena saya tak pernah membayangkan peristiwa Lebaran seperti ini sebelumnya. Mereka (ibu dan putrinya tersebut) tetangga saya. Ayah dari anak itu adalah tukang ojek, sementara sang ibu menjadi buruh masak. Kesederhanaan dan ketulusan hati merekalah yang membuat kami terharu. Terharu karena kami ini bukan siapa-siapa, bahkan tak ada apa-apanya.  Saya sadar ada genangan air mata, saat itu. Lebih kaget lagi ketika mama Prima  membuka rantang tersebut.  Rantang itu berisi "lima tingkat."  Rantang pertama isinya rendang daging. Tingkat kedua, berisi opor ayam, ketiga berisi tiga potong kue bronis, keempat dan kelima berisi nasi lontong dan tumis buncis. Saya ini cuma perantau, namun mereka memerhatikan kami seperti saudara sendiri.

Saya mandi, karena setelah itu kami (sekeluarga) akan berkunjung - silaturahmi ke tetangga-tetangga saya.

Selesai mandi, saya lebih terkejut (lagi), karena di meja dapur ada setumpuk rantang yang lain.

"Dari siapa, Ma?" tanyaku.

"Dari nenek, Mas. Tadi cucu nenek yang paling besar ke sini. Antar rantang ini."

Nenek (begitulah dipanggil), seorang ibu yang bercucu enam. Nenek itu telah menganggap kami sebagai anaknya. Nenek, seorang wanita asli tanah Sumatra Selatan. Beliaulah yang momong Prima, (ketika Prima belum sekolah) karena kami harus bekerja.

Anda bisa membayangkan, rumah nenek (pengasuh Prima putriku), dengan rumah kami berjarak lebih - kurang enam kilometer. Dibela-belain cucu nenek itudatang ke rumah kami membawa rantang.  Cucu itu disuruh nenek mengantar rantang, supaya kami "serantangan", supaya kami sehidangan dengan nenek. Hm....siapalah kami ini.

Saya dan mamanya Prima cuma bisa terduduk di dapur, membayangkan orang-orang yang  mulia hatinya. Mereka memberi perhatian pada kami dalam kesederhanaan dan ketulusan hatinya.

Belajar memerhatikan dan belajar memberi

Kita masih perlu belajar memerhatikan dan memberi untuk yang lain.  Saya merasa, bahwa kisruh "dunia" manusia (manusia korup, amoral, miskomunikasi, manusia serakah) ini terjadi, karena salah satu penyebabnya, manusia tak bisa (atau belum bisa) memerhatikan yang lain.  Manusia belum bisa membagi perhatian untuk kehidupan orang lain. Perhatian yang paling sederhana itu terjadi, ketika manusia menyadari bahwa yang lain itu berbeda. Dan perbedaan itu perlu diterima - disadari. Menurut saya penerimaan itu sudah merupakan pemerhatian tersendiri.

Sama halnya dengan memberi, orang juga perlu belajar memberi. Jika ada anggapan, bahwa orang memberi supaya dapat menerima, pemberian semacam ini adalah pemberian berpamrih. Kita mungkin perlu belajar pada Mahatma Gandhi, muder Theresa dari Kalkuta, kita mungkin juga perlu belajar pada Ki Hajar Dewantara. Ya...mereka contoh orang-orang mulia, yang bisa memerhatikan dan memberikan dirinya demi kemajuan bangsa. Mereka adalah contoh tokoh yang mengangkat  manusia, agar manusia berderajat. Mereka contoh tokoh yang memikirkan kemuliaan manusia dalam berbangsa, semartabat - sederajat - seperjalanan dalam hidup.

Pemerhatian dan pemberian (diri) adalah dua hal, yang kadang terlupakan. Memaknai Lebaran, bagi saya pribadi adalah memaknai "kelahiran pribadi" - kembali ke FITRAH - secara baru. Baru dalam arti cara pandang terhadap hidup dan konsekuensinya, dan baru dalam arti cara menghayati hidup. Pembaruan dalam cara pandang dan penghayatannya, pembaruan yang tak hanya sebatas - sehangat "usia" perayaan (Lebaran). Suasana itulah yang saya nikmati di tengah saudara-saudara saya yang ber-Idul Fitri.

Menguatkan sebagai saudara

Kunjungan dari rumah ke rumah yang kami lakukan (juga keluarga lain lakukan), adalah kunjungan kekeluargaan. Kunjungan untuk saling memaafkan (dalam tutur dan tindak yang kurang berkenan) entah sebagai warga RT, pun sebagai warga pada umumnya. Di dalam suasana Lebaran itu pulalah saya dikuatkan. Saya dikuatkan, terlebih ketika harus menghadapi - memutuskan permasalahan hidup, suka-dukanya bermasyarakat bisa kami bagi bersama.

Saya memang memunyai saudara sekandung - sedaging. Mereka ada di seberang pulau. Mereka ada di pulau Jawa, bahkan ada yang bertugas di Nusa Tenggara Timur. Maka bagi saya, saudara saya yang nyata - jelas terlihat - adalah mereka yang ada di kiri - kanan, muka - belakang rumah saya. Termasuk juga mereka: tukang ojek, tukang becak yang kadang mangkal di depan rumah saya, merekalah saudara saya. Perayaan Lebaran, bagi saya pribadi;  adalah juga perayaan - momen - mengencangkan  kembali tali persaudaraan yang mungkin mulai 'renggang', menyambungkan kembali nilai kehidupan (damai, kurban, perhatian, pemberian diri) yang mungkin telah 'terputus'.

Kami sekeluarga menyadari bahwa dalam hidup, kami tidaklah sendirian. Peristiwa "rantangan" seusai salat Id, adalah peristiwa pemberian diri orang-orang yang memerhatikan kami sebagai bagian dari hidup meraka. Perhatian yang tulus, cinta yang meneguhkan persaudaraan. Kami adalah saudara mereka, mereka adalah saudara kami. Berbahagialah kami, terimakasih Lebaran - terimakasih Idul Fitri; engkau menguatkan hidup dan memitrahkan - memurnikan kemanusiaan kami kembali!

----------------------------------------------------
"MOHON DIMAAFKAN segala kesalahan saya,  dan terimakasih atas cinta serta perhatian Anda."


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun