Tulisan, ketika "uap mulut" tercium jengkol.
*) Catatan suatu pagi ketika naik angkutan dalam negeri.
--------------------------------------------------------------------------
Kau tulis aku manusia kafir,
sehingga bagimu, aku harus kau musnahkan.
Aku diluluh-lantakkan, ya... silakan.
Hanya karena kumisku bagai paku, menembus batas sandiwaramu akan kedamaian.
Menggelitik cinta usilmu akan "istri temanku", kau kafirkan aku.
Oh, kelewatan!
Hanya karena mulutku mengatakan ketulusan,
kau buahkan kutukan,
aku bak setan.
Oh, keterlaluan.
Manakah batas kekafiran yang tuntas, nan jelas?
Aku cuma merasa,
apapun milikmu, itu kemuliaanmu. Pakailah!
Sejelek apapun pakaianku, itulah miliku.
Kutak hina!
Antara kepemilikan hidup,
perjalanan hidup,
adalah proses bersama.
Terkecuali jika kau ingin hidup sendiri,
di bumi pertiwi,
tanpa kendali, bak lelaki ingin kawin lagi...lagi dan lagi, silakan.
Itukah yang kau mau?
Ya, aku memang ka...fir,
kafir -- sebatas hidupku -- yang tak pandai bersyukur dan berpikir!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H