Mohon tunggu...
Florensius Marsudi
Florensius Marsudi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Manusia biasa, sedang belajar untuk hidup.

Penyuka humaniora - perenda kata.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kasihan Anas Urbaningrum

3 Februari 2012   09:22 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:06 1829
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_160059" align="aligncenter" width="300" caption="Hening.... (gbr. Google)"][/caption]

Hening  yang harum

Dalam tradisi Jawa, ada istilah "ajining salira karana busana, ajining diri karana lathi".   Indahnya seorang manusia, secara etis - refleksif tampak secara jasmaniah karena busana yang dipakai, dan keindahan  - tampak secara batiniah - harga diri karena mulut, bibir yang mengucapkan kata.

Menyentil nama Anas Urbaningrum, saya tersentuh dua suku kata yang terakhir, ningrum. Pelesapan dua suku kata sebelumnya (urban), tidak saya bahas. Ningrum lebih mengarah (menurut saya) pada arti hening yang harum. Keheningan diri untuk tak terlalu cepat beraksi, berreaksi. Tetap santun dalam tutur itulah yang membuat orang (minimal saya yang menonton tivi) yang berhadapan dengan beliau bisa menjadi geregetan. Geregetan, apa sih yang mau dikatakan Anas Urbaningrum?

Coba bayangkan, sekelompok manusia berdemo, bahkan tak kurang sekelompok politisi berkomentar tentang Anas, namun Anas yang Ningrum itu tetap senyum-senyum. Gaya yang "mengolah di dalam" mencerna ke luar rupanya telah mendarah daging pada beliau. Dalam kondisi seperti itulah, Anas Urbaningrum menampakkan diri sebagai seorang ketua partai yang "terolah", bukan hanya sebagai ketua partai "yang  hanya seolah-olah". Dalam bahasa Jawa iki tenanan lo.....

Saya cuma mengamati, saya cuma membaca di media, bahwa keberanian Anas Urbaningrum untuk mengerem diri berbicara, itulah yang menjadi kekuatan beliau. Bahasa psikologisnya tak menghamburkan energi yang tak perlu. Entah benar atau keliru apa yang Anas lakukan dalam berpartai, ia masih mencoba menjalurkan diri dalam wadah partai (nggak keluar partai). Ia setia. Itulah hening yang harum.

"Ngelmu urip"

Ngelmu urip kalau diterjemahkan menjadi "mencari ilmu untuk kehidupan", urip - hidup. Anas Urbaningrum lebih mengedepankan ilmu hidup. Dalam ilmu hidup itu selalu ada proses bertumbuh dan berkembang. Pertumbuhan dan perkembangan yang tak hanya - melulu - bagi dirinya sendiri , tapi juga pertumbuhan dan perkembangan bagi orang lain, partai.

Lalu dimana letak "ngelmu itu"

- Anas yang ningrum itu mencoba memberi kontribusi, mencalokan diri menjadi ketua partai. Dan ia menang.  Proses ke arah kemenangan dan mekanismenya, partailah yang mengetahuinya (maklum saya gapol ...je, gagap politik). Sebagai ketua partai, pastilah, ia perlu mengetahui visi, misi  - dan duduk perkara serta persoalan - yang ada  di partai. Sebagai peziarah ngelmu urip, ia pasti paham betul, apa artinya berkorban, dan  apa artinya berbenah membawa partai lebih maju, baik ke dalam maupun ke luar partai. Persoalannya, seberapa kuat dukungan warga akar rumput partai.

- Kedekatan Anas dengan berbagai lapisan kader, juga perlu menjadi pertimbangan tersendiri.  Segelintir kader menghendaki Anas mundur. Namun penghendakan itu rupanya justru menjadi pembelajaran tersendiri bagi ngelmu uripnya Anas. Berterang dalam lampu, bersinar dalam  pijar;  itulah kata yang pas. Anas yang sadar berpolitik, pastilah mengedepankan mekanisme AD - ART partai (yang saya yakin telah ia pahami betul). Orang perlu bersuluh ketika kegelapan, dan berpijar menjadi penerang bagi yang kegelapan, sekalipun itu sulit, sekalipun suluh itu mungkin akan redup. Filosofi itu berlaku bagi semua orang, jika ia sungguh memahami apa artinya menjadi manusia membawa kemaslahatan bagi yang lain.

Kasihan, mengapa?

Mengapa kasihan pada Anas?  Anas seperti orang yang sedang dikuya-kuya (selalu dipersalahkan, teraniaya). Keteraniayaan beliau seolah memberi "stempel" laku diri, bahwa kehidupan Anas itu seperti keramba yang memerangkap udang galah yang besar-besar berada di dalamnya. Udang galah yang besar-besar itu mulai meronta, namun Anaslah yang mungkin kena capitnya, dan mungkin capit itu juga amat sakit. Saya tak tahu (heran ya....nggak tahu kok nulis). Ada dan tidak adanya peran Anas dalam setiap perkembangan partai, dan permasalahan di dalamnya; cuma Anas dan tuturan para sohibnya yang tahu. Bisa jadi pengetahuan tentang perannya bisa menjadi penge-tabu-an tentangnya juga.

Lalu, hidup itu pilihan!

Jauh lebih mulia, saya melihat beliau secara manusiawi saja, bahwa hidup itu sebuah pilihan. Pilihan etis praksis secara manusiawi, siapa yang mau dipersalahkan. Tidak ada. Siapa yang mau berjalan dalam gelap,  sementara dalam perjalanan itu kaki telanjang? Tidak ada 'kan? Tidak ada orang yang mau disalahkan, tidak ada orang yang mau berjalan dalam gelap. Pastilah orang ingin  kebenaran, ingin terang. Kebenaran yang sungguh - nyata - benar (bukan 'akal-akalan' benar). Benar secara hukum (kepastian), benar secara etis (mos-mores, moral) dan benar secara tata laku hidup.

Saat ini saya cuma menjadi penonton, "pendelok" kendel alok - berkata; bahkan saya sebagai warga Indonesia raya  yang bisanya cuma menjadi penggembira saja, tak lebih.  Menonton  episode apa yang akan terjadi berikutnya, itulah saya nantikan. Apa lacur, jika ada sekelompok oknum manusia terdidik yang suka bermain mata. Bermain mata dengan pedang keadilan, bermain kata dengan kedamaian hati.  Ngompori sekadar manasi, sembur nggak wuwur (gembar-gembor untuk menyulut api kedengkian, bertutur tapi nggak ngeh duduk soal yang pasti) bukanlah episode yang pas mantab di Indonesia raya ini.

Mungkin orang lupa pepatah Latin, labor est etiam ipse voluptas: kerja itu sendiri juga merupakan sebuah kenikmatan. Apa salahnya sih, kalau  kita bisa bekerja dengan 'lurus' untuk menegakkan yang benar dan melibas yang batil?  Saya pikir, bangsa ini lebih membutuhkan manusia yang mau bekerja, daripada manusia yang hanya bersilat kata.  Apakah begitu? Kata Jusup Kalla, Gusti Allah ora sare. Saya yakin juga  begitu!! Allah nggak pernah tidur.

-------------------------------

Inspirasi tulisan:

Bertens, K. 2003. Perspektif Etika. Yogyakarta: Kanisius (hal. 162-164) Huijbers, Theo. 2007. Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah. Yogyakarta: Kanisius Leahy, Louis. 2002. Horizon Manusia: Dari Pengetahuan Ke Kebijaksanaan. Yogyakarta: Kanisius. ----------------. 2008. Human Being. Yogyakarta: Kanisius. Valles, Carlos G. 1998. The Art of Choosing (Seni Memilih). Yogyakarta: Kanisius

"Angelina dan Koster Dicegah Selama Setahun" dalam http://nasional.kompas.com/read/2012/02/03/14463866/Angelina.dan.Koster.Dicegah.Selama.Setahun# "KPK:Wayan Koster Baru Dicekal" dalam http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/12/02/03/lyt7ev-kpkwayan-koster-baru-dicekal

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun