Ubi pertama:
Di ngarai (lembah) sungai Musi, hiduplah petani ubi karet, Sudarso namanya. Ia mempunyai tiga orang anak laki-laki. Yang sulung bernama Yanto, si tengah bernama Gandrik, dan si bungsu bernama Kendang.
Ldang ubi karet pak Darso cukup luas, lebih dari tiga hektar. Suatu hari,
“Aduh nak Marsudi..., cilaka mencit[1]”. Keluh pak Sudarso.
“Ada apa to Pak?” Tanyaku.
“Gara-gara anak-anakku lupa cabut ubi, kali ini saya gagal panen....Lihatlah, ubi sekian hektar semua nggambas.[2]”
“Yah...mau apa lagi, paling ya cuma sabar saja, Pak”. Jawabku datar.
“Beginilah nak Marsudi, namanya saja “petani ubi”, sudah ngampet ani-ani, urusan digawe bingung….”[3]
Ubi kedua:
Keluarga Jogal Baut tinggal di desa Sosor Tolong.Keluarga ini mempunyai tiga belas anak. Ketika kutanya, mengapa anaknya banyak sekali, bapak Jogal Baut menjawab,
“Udaranya dingin, dan lupa cabut ‘ubi’…..”
Ubi Sudarso dan ubi Jogal Baut, sama-sama ubi; tetapi pasti lain “cita rasanya”.
[1] cilaka mencit: jika disejajarkan dengan bahasa , searti dengan “celaka dua belas”, celaka yang sungguh membawa duka mendalam…Celaka karena kelalaian.
[2] nggambas: membusuk, berserat seperti gambas-oyong.
[3] ngampet ani-ani, urusan digawe bingung: menahan memanen (ani-ani=istilah untuk memanen padi), jika ada urusan dibuat bingung (oleh oknum, kita ingat permainan harga pupuk, bahkan sempat ada pupuk yang langka)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H