Halo, selamat pagi.
Di depan rumahku ada beberapa ember warna hijau. Dulu, ember itu untuk mengangkut semen yang telah diaduk. Semen yang telah diaduk campur pasir, yang akan digunakan oleh tukang, pemasang batu bata. Dulu ember itu mulus....lus. Tetapi setelah digunakan untuk angkut - mengangkut semen, hm... sangat kotor.
Saya telah berusaha membersihkannya. Diketok-ketok, dicuci...masih saja semen itu menempel.
Kira-kira seperti itulah hati "bapak tua" yang kuhormati. Seperti ember hijau yang saya miliki. Mulus...lus, ketika ember itu belum tergunakan. Nah...begitu hati itu "tergunakan", mulai menjabat, mengambil keputusan, 'ketok palu' .... Mulai ada iming-iming, sedikit semen menempel..... Tercemarlah. Yang lain malah berkomentar,
"Olala..... la wong Gusti Allah saja nggak ingat (nggak diingat). Apalagi manusia kesrakat (menderita-sekarat)...."
Aku terdiam.
Lalu,
"Mengapa begitu, kok bisa?"Â Â Tanyaku.
"Muda foya-foya, harta-wanita-dunia, itu surga. Begitu tua, sekarat, ....segera tobat. Menetap di liang lahat".
Di liang lahat,
"Sudah pas mas Marsudi. Tolong miringkan dikit...."
Berjingkat aku keluar dari liang lahat. Sayup-tajam-mendalam, dengar orang berdoa. Dan kini, kulihat ember di depan rumahku, masih menganga menadah angkasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H